Hakim Agung; Ongkos Seleksi Dinilai Terlampau Mahal
Ongkos yang harus dibayar masyarakat untuk memperoleh seorang hakim agung ternyata sangat mahal. Untuk mendapat enam hakim agung, Komisi Yudisial dan DPR menghabiskan sekitar Rp 4,1 miliar. Artinya, biaya untuk memilih seorang hakim agung sekitar Rp 683,33 juta.
Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan dan juru bicara Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko, Kamis (5/7), pun mengakui mahalnya biaya memperoleh seorang hakim agung itu. Di sisi lain integritas calon yang diajukan masih patut dipersoalkan.
Biayanya mahal sekali, tetapi hasilnya mengecewakan. Dari 16 calon yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), hasilnya tidak jauh beda dengan proses yang dahulu, ujar Trimedya.
Biaya Rp 4,1 miliar itu terdiri dari Rp 3,9 miliar untuk perekrutan di Komisi Yudisial (KY) dan sekitar Rp 200 juta di Komisi III DPR. Dalam laporan KY ke Komisi III DPR pada rapat kerja, pekan lalu, disebutkan ongkos tersebut digunakan untuk seleksi tahap pertama pada 2006, sebesar Rp 2,7 miliar. KY hanya menemukan enam calon yang dinilai layak mengikuti uji kelayakan dan kepatutan. Seleksi tahap kedua tahun 2007 menghasilkan 12 calon, menelan biaya Rp 1,2 miliar.
Menurut Trimedya, dana Rp 200 juta dari Komisi III DPR dipergunakan untuk menyelenggarakan uji kelayakan dan kepatutan dan pemasangan iklan. Komponen terbesar adalah untuk memasang iklan di tiga media cetak nasional sebesar Rp 84 juta.
Anggota KY, Soekotjo Soeparto, mengingatkan, semestinya biaya seleksi calon hakim agung tidak dilihat sesederhana itu. Menurutnya, itu karena proses yang dilakukan KY relatif panjang.
Tak bisa dilihat seperti Rp 3,9 miliar itu dibagi enam orang. Proses seleksi sejak awal juga harus dilihat. Lagi pula proses ini proses standar yang dilakukan panitia seleksi lain, ujarnya.
Tak yakin enam orang
Jumat ini Komisi III DPR akan memilih enam hakim agung, dari 18 calon yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan, untuk disampaikan kepada Presiden. Namun, sebagian anggota Komisi III DPR, Kamis, tak dapat menjamin mereka menghasilkan enam orang karena kualitas calon yang mengecewakan itu.
Anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa, Nursjahbani Katjasungkana, mengaku hingga Kamis sore, saat 16 calon sudah diuji, ia hanya menemukan kurang dari empat calon yang layak dipilih menjadi hakim agung. Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Topane Gayus Lumbuun juga mengakui belum menemukan enam calon yang layak menjadi hakim agung.
Gayus mengaku mendapat masukan dari masyarakat agar tidak memaksakan diri memilih enam orang. Ini benar-benar tidak sesuai harapan. Ekspektasi kami terhadap calon yang diajukan KY sangat tinggi, tetapi hasilnya mengecewakan. Tak hanya untuk 12 orang, tetapi juga untuk enam orang yang diusulkan tahun lalu, kata dia.
Trimedya pun belum bisa memastikan anggota Komisi III DPR memilih enam hakim agung, sesuai kuota yang diharapkan MA. Itu tergantung penilaian masing-masing anggota, ujarnya.
Mengenai kualitas calon yang mengecewakan, Soekotjo mengatakan, KY hanya menerima input dari MA. Output kan tergantung dari input. Jika input-nya seperti itu, mau diapakan lagi, ujarnya.
Trimedya menyayangkan pernyataan KY, yang seperti ingin cuci tangan. Menurut dia, KY seharusnya menjaring lebih banyak lagi calon karena memiliki waktu yang relatif panjang.
Tentang kebutuhan MA, Djoko Sarwoko mengatakan, saat ini memang dibutuhkan enam hakim agung baru. Enam orang itu terdiri dari empat hakim umum, satu hakim agama, dan seorang hakim tata usaha negara. (ana)
Sumber: Kompas, 6 Juni 2007