Hakim Konstitusi Juga Hakim
Di luar perkiraan banyak kalangan yang concern terhadap reformasi peradilan, melalui Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi mengabulkan hampir semua permohonan hak menguji materi yang diajukan oleh Mahkamah Agung. Dengan putusan tersebut, Komisi Yudisial kehilangan kekuatan untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Kekuatan strategis Komisi Yudisial (KY) yang dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi (MK), di antaranya mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung (MA) dan/atau MK dan membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada MA dan/atau MK serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR. Di samping itu, KY tidak dapat lagi memaksa badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta.
Yang tidak kalah strategisnya, KY tidak bisa lagi mengajukan usul penjatuhan sanksi terkait dengan laporan masyarakat tentang perilaku hakim. Tidak hanya itu, KY pun tidak dapat lagi mengajukan usul pemberhentian hakim kepada presiden (paling lambat 14 hari) sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim.
Mencermati pembatalan kewenangan strategis KY dalam melakukan pengawasan, putusan MK tidak saja menjadi lonceng kematian dalam agenda pemberantasan praktik mafia peradilan. Tetapi sekaligus menjadi bukti resistensi korps hakim terhadap pengawasan eksternal.
Menerima pengawasan KY
Kalau ditelusuri pandangan di lingkungan MK, sebagian hakim MK menyambut positif pengawasan KY. Misalnya, Jimly Asshiddiqie dalam bukunya