Harta Boediono Naik Rp 5 M

Aset kekayaan sejumlah penyelenggara negara mengalami kenaikan. Dalam tempo dua tahun, pundi-pundi harta Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono naik Rp 5 miliar. Pada pelaporan 24 Februari 2006, harta mantan menteri koordinator perekonomian itu "hanya" Rp 13,6 miliar. Sedangkan laporan per 31 Mei 2008, jumlahnya naik menjadi Rp 18,66 miliar dan USD 10 ribu (selengkapnya lihat grafis, Red).

''Kenaikan paling banyak ada pada harta tidak bergerak, terutama dari kenaikan NJOP (nilai jual objek pajak),'' ujar Boediono di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemarin (23/7).

Nilai NJOP enam bidang tanah miliknya naik dari Rp 2,28 miliar menjadi Rp 5,88 miliar. Lima di antaranya sudah lama dimiliki. Di antaranya, sebidang tanah di Sleman sejak 1973. Lalu, sebidang tanah di Jakarta Selatan baru dibeli pada 2006 untuk anaknya yang sudah berkeluarga senilai Rp 705 juta.

Kenaikan signifikan lain ada pada sisi giro dan setara kas lain yang sebelumnya bernilai Rp 10,59 miliar menjadi Rp 11,57 miliar. Menurut dia, kenaikan itu diperoleh dari bunga bank. "Kalau taruh uang di bank Rp 10 miliar, delapan persennya saja, kami bisa dapat Rp 800 juta per tahun," ujarnya.

Boediono lantas membeber penghasilannya sebagai menteri yang Rp 28 juta per bulan. ''Gaji menteri Rp 19 juta, ditambah tunjangan total Rp 28 juta. Ada juga honorarium kalau memimpin tim tertentu,'' tambah pria kelahiran Blitar itu.

Bukan hanya Boediono yang hartanya naik. Aset mantan anggota DPR yang kini menjadi hakim konstitusi, Mahfud M.D., juga meningkat. Per 1 Juli 2006, hartanya Rp 4,55 miliar dan USD 72.854. Pada pelaporan 9 Mei 2008 hartanya naik menjadi Rp 6,2 miliar dan USD 72.133.

Mahfud membawa setumpuk dokumen bukti artikel yang pernah ditulisnya. Maklum, selain sebagai penyelenggara negara, Mahfud dikenal sebagai kolumnis di sejumlah media.

Menurut Mahfud, kenaikan asetnya dipengaruhi kenaikan NJOP aset tanah miliknya yang berjumlah 14 bidang.

Pria kelahiran Sampang itu mengakui punya hobi membeli tanah. Hobi tersebut juga dimiliki istrinya. Bahkan, dia merasa perlu berutang Rp 24,1 juta. ''Utangnya untuk cicilan ke bank, beli tanah," ujar guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) itu.

Penambahan signifikan juga ada pada simpanan berbentuk giro dan kas lain yang sebelumnya Rp 1,59 miliar menjadi Rp 2,33 miliar.

Mahfud pun membeber berbagai penghasilannya sebelum menjadi hakim konstitusi. Saat menjadi anggota DPR, per bulan dia menerima Rp 48,6 juta. Dia juga mendapat Rp 27,5 juta saat menjabat anggota MPR. Itu belum termasuk pendapatan insidental seperti uang kunker dan pendapatan lain-lain yang nilainya lumayan. "Saya yang pasti menerima Rp 86,6 juta per bulan," ujarnya.

Mahfud mengaku juga memperoleh pendapatan di luar jabatannya sebagai wakil rakyat. Di antaranya sebagai dosen, mengisi seminar, dan menulis artikel yang memberi kontribusi pendapatan rata-rata Rp 45 juta. "Sebulan lebih dari Rp 100 juta," ujarnya.

Mahfud menambahkan, uang belanja dan kebutuhan sehari-hari sudah berlebih dari luar penghasilan menjadi anggota dewan. Karena itu, penghasilannya sebagai anggota DPR disimpan di bank.

Harta Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution juga melonjak. Dalam laporan per 17 April 2001, kekayaannya Rp 7,3 miliar dan USD 501.960. Per 1 April 2007, jumlahnya meningkat menjadi Rp 18,6 miliar dan USD 745.565. ''Kenaikan dari NJOP. Tanah sama luasnya juga sama," ujar Anwar. Dia juga mengakui, saat ini tak memiliki mobil pribadi.

Soal simpanan valasnya yang banyak, Anwar mengaku lama tinggal di luar negeri. Selain menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), Anwar mengaku mengembalikan dua jam tangan. Masing-masing seharga USD 100 dengan merek Jacques Lemans berlogo BPK Austria dan jam tangan berlogo The Accounts Chamber of the Russian Federation.

Dalam Surat Keputusan Ketua KPK Antasari Azhar tertanggal 22 Mei 2008, dua barang itu menjadi milik negara. (ein/agm)

Sumber: Jawa Pos, 24 Juli 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan