Harta Dari Korupsi; Indonesia Sudah Ratifikasi Penyitaan
Pemerintah perlu segera menerapkan konsep illicit enrichment sebagai terobosan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Konsep ini mampu mengatasi kebuntuan proses hukum melalui pembuktian terbalik terhadap kekayaan pejabat publik yang mencurigakan.
Illicit enrichment atau pengayaan diri dengan cara yang tidak wajar tercantum dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menolak Korupsi yang diratifikasi Indonesia tahun 2006. Saat ini ada 43 negara yang menerapkan illicit enrichment, termasuk Australia dan Perancis yang memiliki statutory declaration dan mareva injunction.
Jika pejabat negara yang kekayaannya luar biasa dan setelah diperiksa lembaga yang berwenang, di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pejabat itu tak bisa menjelaskan asal-usulnya, harta itu disita menjadi milik negara.
Desakan segera menerapkan illicit enrichment ini mengemuka dalam seminar bertema ”Perolehan Harta Kekayaan Pejabat Publik yang Tidak Wajar” di Jakarta Media Center, Sabtu (27/11). Seminar diadakan Yayasan Jurist Makara, dengan pembicara Wakil Ketua KPK M Jasin, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein, anggota Komisi III (bidang hukum) DPR Martin Hutabarat, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Wicipto Setiadi, dan Country Manager United Nations Office on Drugs and Crime Ajit Joy.
”Kita belum mempunyai undang-undang tentang illicit enrichment. UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tidak memungkinkan untuk itu,” jelas Yunus Husein.
Menurut Yunus, UU No 28/1999 harus segera diubah untuk memasukkan pasal tentang illicit enrichment. Atau, melalui UU yang mengatur perampasan aset tanpa tindak pidana.
Jasin sepakat UU No 28/1999 harus diubah, termasuk sanksi harus lebih dari sekadar administratif. Ia juga berharap illicit enrichment dimasukkan dalam Rancangan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditargetkan selesai pada 2010.
Saat ini, lanjut Jasin, lembaga penegak hukum di Indonesia belum bisa menyita kekayaan luar biasa dari pejabat publik, yang sumbernya dari luar gaji dan asal-usulnya tidak jelas. Di sisi lain, pegawai strategis seperti pemeriksa pajak belum diwajibkan melaporkan hartanya. (ang)
Sumber: Kompas, 29 November 2010