Harus Jujur Diakui Kejaksaan Agung Sedang Alami Krisis Kredibilitas
Para jaksa harus secara jujur mengakui bahwa Kejaksaan Agung mengalami krisis kredibilitas. Pengakuan itu penting untuk memotivasi jajaran Kejagung melakukan perbaikan institusi secara mendasar. Perbaikan mendasar itu terkait dengan tertib moral bagi aparat kejaksaan.
Hal itu dikatakan Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam sambutan peringatan Hari Bhakti Adhyaksa Ke-48 di Jakarta, Selasa (22/7). ”Yang pertama harus kita lakukan adalah mengakui dengan jujur bahwa institusi ini sedang mengalami krisis kredibilitas,” kata Hendarman.
Menurut dia, akhir-akhir ini sorotan dan kecaman masyarakat terhadap kejaksaan terus-menerus terjadi, seolah menghapus segala upaya dan keberhasilan yang telah diraih. Hal itu terjadi karena ada ulah oknum-oknum kejaksaan yang melakukan perbuatan menyimpang.
Pengakuan krisis kredibilitas itu diharapkan mampu memotivasi para jaksa untuk melakukan perbaikan mendasar. ”Jika kita tidak mengakui, kita hanya akan berusaha menutup-nutupi, tetapi tidak berupaya sungguh-sungguh memperbaiki,” kata Hendarman.
Jaksa Agung menegaskan, ada satu kelemahan yang perlu diperbaiki secara mendasar dalam kaitan dengan peristiwa yang menimpa oknum jaksa. Perbaikan mendasar itu adalah tertib moral bagi aparat kejaksaan yang terimplikasi dalam tertib lain, seperti administrasi, anggaran, dan tertib kerja.
Terhadap jaksa yang tak dapat menjaga integritas Kejagung, lanjut Hendarman, ia tidak segan-segan mengambil tindakan tegas. Ia mencontohkan, ada 25 kepala kejaksaan negeri di beberapa daerah yang diganti beberapa waktu lalu.
Masalah kesejahteraan
Terkait dengan maraknya kasus korupsi, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung BD Nainggolan, masalah kesejahteraan bagi pegawai negeri sipil (PNS) perlu diperhatikan. Peningkatan kesejahteraan pegawai merupakan salah satu faktor untuk mencegah pegawai melakukan korupsi.
Sebagai gambaran, lanjut Nainggolan, gaji PNS eselon II di institusi pemerintah—setingkat kepala kejaksaan tinggi di institusi kejaksaan—sekitar Rp 6 juta per bulan. ”Itu sudah termasuk tunjangan jabatan dan tunjangan lain. Gaji pokok Rp 2 juta lebih,” katanya. Gaji yang diterima PNS eselon III sekitar Rp 3,8 juta per bulan.
Nainggolan mengakui, gaji yang besar bukan jaminan orang tidak melakukan praktik korupsi. Oleh karena itu, pengawasan harus diperketat. ”Jika gaji sudah tinggi dan tetap korupsi, diambil tindakan tegas,” katanya.
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Institute for Democracy dan Peace Hendardi mengatakan, gaji dan kesejahteraan pegawai negeri sipil bisa saja ditingkatkan sebagai salah satu upaya mencegah praktik korupsi. ”Namun, hal itu memang bukan jaminan,” katanya.
Menurut Hendardi, persoalan korupsi di Indonesia sudah menyangkut sistem yang lemah dan kesempatan untuk korupsi yang besar. Oleh karena itu, diperlukan kemauan dan kebijakan politik dari pemerintah untuk membongkar sistem yang korup. (FER)
Sumber: Kompas, 23 Juli 2008