Hasrat Politik Mengebiri KPK
Hasrat politik DPR untuk menggembosi Komisi Pemberantasan Korupsi tak kunjung habis. Energi politik yang seharusnya digunakan untuk mendesain kebijakan publik yang penting justru dipakai sebagai atraksi politik yang muaranya adalah kepentingan kelompok. Praktek oligarki yang membonceng sistem demokrasi elektoral telah menyandera proses kebijakan publik yang transparan dan akuntabel. Karena itu, sulit bagi publik untuk menagih tanggung jawab politikus, seperti dalam kasus pembangunan gedung DPR yang secara diam-diam telah memakai anggaran negara sebesar Rp 118 miliar tanpa bisa dipertanggungjawabkan capaiannya. Ketua DPR hanya mengatakan dengan ringan, uang tersebut hangus karena pembatalan rencana pembangunan gedung DPR.
Kembali ke isu KPK, wacana pembubaran KPK yang sempat dilontarkan Fahri Hamzah (PKS, Komisi III DPR RI) memang tak bersambut. Justru sebaliknya, publik meradang karena usulan itu dianggap melawan kehendak umum akan pemberantasan korupsi yang lebih baik. Tetapi upaya menyiasati supaya politik dapat mengendalikan KPK tetap dicoba melalui rencana mengamendemen Undang-Undang KPK. Barangkali, usul merevisi UU KPK akan lebih bisa diterima publik daripada gagasan untuk membubarkannya.
Masalahnya, ide merevisi UU KPK didorong bertepatan dengan posisi di mana DPR sedang tersudut karena berbagai problem korupsi yang menjerat para anggotanya. Demikian pula, kepercayaan publik yang sangat merosot terhadap lembaga wakil rakyat berada pada titik terendah, sebagaimana survei terakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyebutkan ada penurunan 21 persen tingkat kepercayaan publik terhadap DPR dibanding 6 tahun lalu.
Pelajaran yang bisa dipetik dari survei itu, DPR belum berhasil mengelola kekuasaan yang dimilikinya dengan baik sehingga sepak terjang, sikap politik, dan gaya anggota DPR sebagai penguasa lebih menonjol daripada "kodrat"-nya sebagai wakil rakyat. Akibatnya, DPR dinilai sebagai lembaga yang arogan, sombong, dan dipandang gampang menyalahgunakan kekuasaannya. Pendek kata, DPR masih dilihat sebagai lembaga yang banyak tingkah tapi tak banyak bekerja untuk publik luas.
Ide menarik
Jika mengacu pada 10 poin ide merombak KPK melalui amendemen undang-undangnya (Koran Tempo, 27 Oktober 2011), barangkali ada beberapa gagasan yang reformis. Sebagai contoh, KPK di masa mendatang dimungkinkan untuk merekrut penyidik dan penuntut sendiri. Usulan ini tentu saja sangat baik karena salah satu faktor yang ikut melemahkan KPK dalam agenda penindakan adalah keterbatasan dalam melakukan rekrutmen secara mandiri terhadap pos-pos penyidik dan penuntut. Selama ini KPK hanya menerima usulan penyidik dan penuntut dari kepolisian dan kejaksaan, meskipun KPK juga melakukan screening terhadap mereka yang menjadi kandidat.
Apabila di masa mendatang KPK diberi otoritas merekrut penyidik sendiri, warna penegakan hukum di KPK akan jauh lebih variatif. Maksudnya, berbagai macam pengetahuan akan dapat dipadukan untuk bisa mengelola fungsi penindakan supaya lebih efektif, mengingat kejahatan korupsi selalu mengalami proses perkembangan, yang akan jauh lebih rumit dan kompleks. Kapasitas aparat penegak hukum yang berlatar belakang jaksa dan polisi tentu tak bisa mengikuti ritme kejahatan korupsi yang kian maju. Karena itu, penyidik KPK haruslah memiliki keragaman pengetahuan, sehingga akan lebih mudah melakukan penindakan kasus-kasus korupsi.
Perihal rendahnya kapasitas penyidik berasal dari jaksa dan polisi, kita bisa merujuk pada data penindakan yang mereka lakukan. Sebagaimana diketahui, UU Tindak Pidana Korupsi Nomor 31/1999 juncto No. 20/2001 mengatur 22 pasal yang bisa digunakan untuk menindak kejahatan korupsi. Tapi coba periksa, hanya ada dua pasal yang selalu digunakan oleh penyidik, yakni Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor yang menyangkut kerugian negara. Sisanya menganggur alias tidak pernah diterapkan. Dibandingkan dengan KPK yang lebih variatif dalam menggunakan pasal, kita bisa menyimpulkan bahwa ada persoalan kapasitas aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi meskipun undang-undang yang disediakan sudah sangat memadai.
Poin lain yang konstruktif adalah pemberian sanksi bagi pejabat negara yang tidak melaporkan kekayaan mereka kepada KPK. Hanya, poin ini perlu ditambah dengan klausul berupa sanksi yang sama untuk pejabat negara yang melaporkan dengan tidak benar harta kekayaannya. Selama ini KPK cenderung kepayahan dalam menertibkan perilaku pejabat negara yang abai terhadap kewajiban pelaporan harta kekayaan. KPK tidak dapat melakukan langkah hukum apa pun untuk mendorong pemenuhan kewajiban pelaporan harta kekayaan, karena tidak diberi pengaturan yang memadai. Dengan adanya sanksi, baik pidana maupun administrasi, ada peluang bagi KPK untuk mendorong fungsi LHKPN sebagai instrumen pencegahan korupsi.
Jika DPR memang serius mendorong agenda pemberantasan korupsi, pemberian sanksi atas alpanya pejabat publik dalam melaporkan harta kekayaan harus diikuti dengan lahirnya ketentuan lain, seperti Undang-Undang Perampasan Aset. Pasalnya, dengan UU Perampasan Aset, negara diberi wewenang menyita dan menguasai harta kekayaan yang tidak bisa dibuktikan dari mana asal=muasalnya tanpa melalui jalur pidana.
Tetap waspada
Tetapi, di luar poin dua di atas, beberapa gagasan lainnya yang telah diwacanakan DPR semuanya bisa membuat usulan di atas menjadi berantakan. Terutama jika KPK hanya diberi porsi pencegahan, karena fungsi penindakan telah ada pada polisi dan jaksa. Secara umum, ide ini bukan hanya tidak becermin pada realitas penegakan hukum Indonesia, tapi juga menyiratkan kepentingan politik DPR untuk menjinakkan KPK.
Jika mengacu pada data penindakan polisi dan jaksa, tentu publik hanya bisa mengurut dada. Buruknya integritas aparat penegak hukum telah membuat fungsi penindakan mereka menjadi mandul. Justru lahirnya KPK sebagai lembaga penegak hukum disebabkan oleh tidak berfungsinya penegakan hukum yang dilakukan polisi dan jaksa. Lantas, jika peran itu hendak dikembalikan kepada Trunojoyo dan Gedung Bundar, apakah DPR sudah memiliki data yang memadai mengenai kinerja penegakan hukum dua lembaga ini?
Dari banyak survei yang dilakukan, publik masih sangat tidak percaya kepada kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi. Seharusnya, untuk menyelesaikan masalah ini, solusinya bukan dengan merombak UU KPK. DPR dapat menggunakan fungsi pengawasannya untuk mendorong reformasi internal di tubuh kepolisian dan kejaksaan. Masalahnya, sudah hampir 12 tahun reformasi hukum dilakukan, tetapi capaiannya sangatlah minim.
Namun, jika konstruksi idenya untuk �membunuh� KPK secara pelan-pelan, ide untuk menghapus wewenang penindakan KPK merupakan titik temu berbagai kepentingan yang ingin membubarkan KPK. Jika pun KPK tetap diberi wewenang melakukan penindakan terhadap kasus-kasus besar senilai Rp 10 miliar ke atas, demand publik terhadap KPK juga tidak akan surut. Idealnya, KPK memang hanya menangani kasus-kasus besar yang secara politik, kejaksaan, dan kepolisian tidak mampu menanganinya. Tetapi loyonya kinerja kejaksaan dan kepolisian dalam menangani perkara korupsi membuat KPK selalu kebanjiran laporan kasus, baik yang kecil maupun yang besar. Di sinilah titik awal mengapa KPK juga harus turun tangan menangani kasus korupsi yang bernilai kecil, meskipun tetap berada pada kisaran yang diperbolehkan oleh UU KPK sendiri.
Keadaan bisa lebih gawat jika 10 poin yang dilontarkan DPR hanya merupakan muslihat belaka. Pasalnya, sampai saat ini draf resmi RUU KPK yang diusulkan DPR belum bisa dilacak keberadaannya. Akses publik terhadap dokumen ini juga sangat tertutup. Bagaimana kemudian kita lantas percaya jika 10 poin itu yang memang hendak didorong oleh DPR? Jangan-jangan, selain mengedarkan gagasan di atas, DPR diam-diam telah menyiapkan draf lain yang sifat dan isinya jauh lebih berbahaya. Di sinilah DPR ditantang untuk terbuka kepada publik. Jika memang ide untuk membenahi KPK dimaksudkan sebagai upaya politik mendorong pemberantasan korupsi yang efektif, DPR perlu melakukan konsultasi publik yang serius dalam menyusun RUU KPK.*
Seharusnya, untuk menyelesaikan masalah ini, solusinya bukan dengan merombak Undang-Undang KPK. DPR dapat menggunakan fungsi pengawasannya untuk mendorong reformasi internal di tubuh kepolisian dan kejaksaan. Masalahnya, sudah hampir 12 tahun reformasi hukum dilakukan, tetapi capaiannya sangatlah minim.
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 3 November 2011