Hentikan Revisi UU KPK, Waspadai Siasat Pengkerdilan KPK
Rilis Media
Saat negeri ini dikepung oleh berbagai masalah sosial, hukum dan bencana alam yang akut, sebuah proses politik yang mencurigakan sedang terjadi di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). “Diam-diam” revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dilakukan oleh DPR dengan menugaskan Sekretariat Jenderal DPR untuk menyusun draft Naskah Akademis dan RUU KPK. Secara normatif mungkin tidak ada yang berarti dari proses revisi UU KPK tersebut. Karena pada prinsipnya, sebuah aturan hukum dapat diubah dan diperbaharui jika tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, atau demi peningkatan upaya-upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Namun, persoalannya, revisi UU KPK terjadi saat korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara semakin masuk pada lapisan yang paling busuk. Dan, sebaliknya tujuan revisi diduga bukanlah untuk memberantas korupsi tersebut, akan tetapi lebih sebagai respon dari pihak yang terganggu dengan kerja. Sehingga, proses revisi ini sangat potensial digunakan untuk menyerang balik upaya-upaya pemberantasan korupsi. Kekhawatiran ini bukanlah cerita baru, sebelumnya, Indonesia pernah memiliki setidaknya tujuh lembaga pemberantasan korupsi. Sebagian dari institusi tersebut bernasib malang dan dibubarkan saat hampir menyentuh kekuasaan yang besar.
Pertama, Tim Pemberantasan Korupsi yang dibentuk melalui Keppres No 228/1967; Kedua, Tim Komisi Empat yang dibentuk pada tanggal 31 januari 1970 dengan Keppres 12/1970 ; Ketiga, Komisi Anti-Korupsi (KAK); Keempat, Tim OPSTIB di tahun 1977 melalui Inpres 9/1977; Kelima, tahun 1982 Tim Pemberantas Korupsi diaktifkan kembali meski keppres yang mengatur tugas dan kewenangan tim ini tidak pernah diterbitkan; Keenam, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang dibentuk melalui Keppres No 127/1999; dan, Ketujuh, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) yang dibentuk berdasarkan PP No 19/2000.
Lembaga yang terakhir, TGTPK bernasib buruk ketika akhirnya dibubarkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan MA No. 03P/HUM/2000, tertanggal 23 Maret 2001 . Putusan tersebut membatalkan PP No. 19/2000 yang menjadi dasar hukum kebradaan TGTPK. Padahal, institusi ini sedang mengusut dugaan suap yang diterima oleh tiga Hakim Agung berdasarkan pengakuan seorang whistleblower bernama Endin Wahyudin.
Menyerang Jantung KPK
Cerita yang sama bukan tidak mungkin juga akan dialami KPK. Perhatikan eskalasi pengajuan Judicial Review terhadap UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Menurut catatan ICW, UU KPK telah di Judicial Review sebanyak 13 kali, dimana 11 diantaranya mengancam keberadaan KPK, dan bahkan potensial membubarkan lembaga ini. Sebagian besar, ingin membatalkan kewenangan strategis KPK melalui sarana Judicial Review tersebut.
Jika dalam perannya, MK sebagai negative legislative dijadikan alat untuk mematikan KPK, di sisi sebaliknya, DPR dan Pemerintah pun bisa menjadi sarana untuk membunuh KPK. Karena kewenangan pembentukan Undang-undang memang berada di tangan DPR bersama Presiden. Percobaan amputasi terhadap kewenangan utama KPK, seperti Penuntutan dan Penyadapan tercatat telah terjadi berulang kali. Baik di sisi eksekutif ataupun legislatif. Di Eksekutif misalnya: pernah disusun sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyadapan yang dinilai sangat rentan melemahkan kewenangan penyadapan KPK. Saat itu, diketahui banyak politisi, birokrasi dan pelaku mafia bisnis tertangkap tangan karena bantuan kewenangan penyadapan tersebut. Pemerintahpun pernah menyusun sebuah RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terkesan mensiasati atau minimal membuat tidak jelas pencantuman kewenangan penuntutan KPK.
Di legislatif, upaya ini dilakukan lebih terbuka, baik melalui pernyataan politik yang sangat resisten dengan KPK, ataupun melalui proses pembentukan UU. Saat RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pada bulan September 2009 dibahas di DPR, sempat terselip pembicaraan di Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang mengarah pada dilucutinya kewenangan Penuntutan KPK. Jadi, jika kali ini dilakukan revisi UU KPK, alih-alih memperkuat pemberantasan korupsi, rencana perubahan ini memang sungguh mengkhawatirkan dijadikan alat untuk mengkerdilkan KPK. Kami menilai, revisi ini rentan dijadikan sarana bagi kekuatan koruptor untuk menyerang jantung KPK.
Sepuluh Poin
Sampai saat ini, berdasarkan informasi yang kami dapatkan, sedang dilakukan penyusunan draft Naskah Akademik dan RUU KPK oleh Sekretariat Jenderal DPR atas permintaan Komisi III DPR. Sebelumnya ditemukan sebuah surat Nomor: PW01/0054/DPR-RI/1/2001 tanggal 24 Januari 2011, dari Wakil Ketua DPR-RI, Priyo Budi Santoso kepada Komisi III DPR-RI. Isinya meminta Komisi III DPR-RI untuk menyusun Draft NA dan RUU KPK. Tidak cukup jelas, siapa pengusung RUU yang diklaim sebagai inisiatif DPR tersebut, dan apa landasan filosofis dan sosiologis rencana revisi UU KPK.
Berdasarkan surat itulah, Setjen DPR melakukan proses pembahasan RUU. Bahkan, ICW pernah diundang untuk memberikan masukan terhadap RUU KPK (13/4/2011). Sebelumnya, didapatkan informasi, Setjen juga telah mengundang mantan Pimpinan KPK, Amien Sunaryadi dan bahkan juga sudah bertemu dengan KPK. Dalam kesempatan tersebut, ICW menyampaikan pernyataan tegas bahwa kami menolak dilakukannya revisi UU KPK. Terutama karena kondisi politik hari ini semangat pembubaran KPK lebih menonjol. Revisi ini dinilai hanya akan jadi alat untuk melemahkan KPK. Kami tidak percaya ada itikad baik dari DPR untuk memperkuat KPK melalui revisi. Apalagi, saat ini dinilai tidak ada masalah normatif yang signifikan dalam UU KPK. Jika pun KPK belum maksimal, yang harus dilakukan adalah memaksimalkan kewenangan yang sudah ada di UU No. 30 tahun 2002, tanpa harus melakukan revisi UU KPK.
Selain itu, ICW menyadari, kehadiran tersebut dapat saja digunakan sebagai legitimasi oleh DPR bahwa mereka sudah melibatkan publik. Melalui pernyataan terbuka ini, kami menegaskan sikap ICW yang menolak RUU KPK. Dalam Term of Reference yang kami terima, DPR mempertanyakan 10 poin yang rencananya akan dimasukan dalam draft Naskah Akademik dan RUU KPK, yaitu: tumpang tindih dan “rebutan” perkara korupsi antar institusi penegak hukum; prosedur KPK melakukan penyadapan; kemungkinan KPK mempunyai penyidik sendiri; perwakilan KPK di daerah; kewenangan menerbitkan SP3; efektifitas pelaksanaan tugas KPK dan kemungkinan peninjauan ulang kewenangan KPK; peningkatan fungsi pencegahan KPK; pelaksanaan koordinasi dan monitoring KPK terhadap penyelenggaraan pemerintahan; mekanisme pergantian antar waktu pimpinan KPK; dan, efektifitas atau rencana peninjauan konsep kolektif dalam pengambilan keputusan KPK.
Menurut ICW, ada sejumlah jebakan dalam sepuluh poin DPR tersebut. Memang, disebutkan beberapa poin yang menarik dan seolah-olah ingin memperkuat KPK, seperti: kemungkinan KPK jadi penyidik tunggal korupsi dan rekruitmen penyidik sendiri. Akan tetapi delapan poin lainnya, bisa melemahkan KPK dengan sangat telak. Kami menilai, poin-poin tersebut adalah upaya untuk menyerang jantung KPK dengan cara melakukan revisi UU No. 30 tahun 2002. Jika pun ada yang positif dalam draft yang disusun oleh Setjen DPR, dalam kondisi politik dan rencahnya kepercayaan publik terhadap lembaga DPR, kami sangat khawatir poin-poin yang positif tersebut akan hilang dalam pembahasan, atau hanyalah poin “gula-gula” dan siasat politik.
Serangan Balik
Sampai hari ini, ICW mencatat KPK sudah memproses 42 anggota DPR yang tersebar dalam delapan kasus korupsi. Dan jika semua kasus diproses secara tuntas oleh KPK, bukan tidak mungkin ada lebih dari 100 anggota DPR yang akan dijerat korupsi. Hal ini tentu saja menjadi ancaman serius bagi kekuatan politik, dan ke depan kebedaan KPK akan sangat mengancam dan merugikan kekuatan politik yang sebagiannya masih dibangun berdasarkan politik transaksional yang korup. Motivasi tersebut bisa saja menjadi lebih kuat, karena para mafia bisnis yang diproses bersama kasus-kasus korupsi DPR tersebut adalah pihak yang memberikan dana/uang ke politisi, bukan tidak mungkin juga mendukung pendanaan politik partai-partai tersebut. Sehingga, jika KPK mati dan lemah, maka tidak hanya kelompok politisi korup yang diuntungkan, akan tetapi juga pelaku bisnis yang mendukung pendanaan politik transaksional di negeri ini. Berdasarkan hal ini, wajar masyarakat mengkhawatirkan revisi UU KPK ini sebagai salah satu cara menyerang balik jantung KPK.
Kalaupun masih ada kekurangan dalam pelaksanaan kewenangan, tugas dan fungsi KPK, kami menilai hal itu bukanlah persoalan aturan atau norma di UU KPK, akan tetapi akibat serangan balik yang bertubi-tubi terhadap KPK, baik dari politisi, pelaku bisnis ataupun pihak lain. Sehingga, yang dibutuhkan adalah penguatan KPK dan pemaksimalan kewenangan KPK. Kita tidak membutuhkan revisi UU KPK, apalagi yang rentan akan mematikan KPK seperti 7 lembaga antikorupsi yang pernah ada sebelumnya.
Oleh karena itu, Kami:
- Menolak revisi Undang-undang KPK dan meminta DPR menghentikan revisi UU KPK;
- Menagih komtimen dan tanggungjawab Presiden SBY untuk tidak terlibat dalam siasat politik mengkerdilkan atau membubarkan KPK, dan mendukung secara politik upaya pemberantasan korupsi;
- Mengajak tokoh-tokoh politik atau anggota DPR yang masih belum terkontaminasi virus korupsi untuk menolak revisi UU KPK; dan,
- Mengajak masyarakat Indonesia untuk memantau, mencatat dan melawan upaya para politisi dan anggota DPR yang pro-koruptor yang ingin melemahkan KPK.
Jakarta, 24 April 2011
Indonesia Corruption Watch (ICW) – Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) – Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia-Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI) – Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)