Hukum Progresif untuk Terobosan

Asas progresivitas hukum harus terus didalami dalam sistem hukum Indonesia. Salah satu pengaruh penting dari almarhum Prof Dr Satjipto Rahardjo, yang memperjuangkan gerakan hukum progresif, adalah pada terobosan-terobosan putusan Mahkamah Konstitusi.

Hal itu disampaikan Achmad Sodiki, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dalam seminar ”Hukum Progresif dan Pembaruan Hukum di Indonesia”, Selasa (19/1) di Jakarta. Ia menambahkan, putusan di MK mementingkan keadilan substantif daripada keadilan yang bersifat formalistik.

Beberapa contoh disebutkan Achmad, seperti sistem ”noken” untuk pemilu di Kabupaten Yahukimo, Papua, dan penggunaan kartu tanda penduduk (KTP) serta paspor untuk pemilih yang tak terdaftar pada Pemilu 2009. ”MK tak sudi dikungkung hukum yang doktriner. Ada saat-saat di mana kita harus lepas,” kata Achmad.

Menurut Achmad, hukum progresif harus terus didalami dan dikobarkan dalam dunia hukum di Indonesia. Dengan demikian, pemikiran ini bisa menjadi pelengkap dari pendekatan yang bersifat doktriner.

Suteki, dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, mengatakan, putusan MK progresif itu berlaku dalam upaya mendukung tegaknya konstitusi, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ia menyebutkan beberapa contoh, seperti putusan 24 Februari 2004 tentang rehabilitasi hak mantan anggota dan keturunan anggota Partai Komunis Indonesia serta pada 23 Desember 2008 tentang perubahan penghitungan calon anggota legislatif (caleg) terpilih dari nomor urut menjadi suara terbanyak.

Dalam perkembangannya, hakim juga menerapkan prinsip progresivitas, seperti di Pengadilan Negeri Tangerang yang memvonis bebas Prita Mulyasari walau memenuhi unsur delik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Suteki ingat, salah satu kalimat yang sering meluncur dari Satjipto Rahardjo adalah, ”Berhukum dengan hati nurani”. Hukum di Indonesia saat ini seperti sebilah pisau dapur yang tajam terhadap orang kecil (bawah), tetapi tumpul di atas. Untuk itu, penegak hukum tidak bisa terpaku pada teks UU tanpa menggali lebih dalam keadilan di masyarakat.

Salah satu strategi untuk menembus legalitas formal adalah dengan rule breaking, terobosan hukum. Diakui Suteki, tak semua orang sepakat dengan pemikiran Satjipto.

Wisnubroto, pengajar Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, mengatakan, proses hukum sering tidak bisa memberikan keadilan substantif. Dibutuhkan pola pikir yang inovatif. Hukum adalah untuk manusia.(edn)

Sumber: Kompas, 20 Januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan