Hukum yang Melayani Ekonomi
Wednesday, 28 September 2016 - 00:00
Presiden Joko Widodo baru saja mengumpulkan beberapa tokoh masyarakat di bidang hukum. Tujuannya untuk mendapatkan masukan dalam rangka menggulirkan agenda reformasi sektor hukum. Ini adalah milestone yang sangat dinanti banyak kalangan, terutama karena pemerintahan Jokowi dipandang lebih mengedepankan agenda reformasi ekonomi dan secara bersamaan meninggalkan gelanggang hukum.
Ada kesan, hukum ditempatkan pada situasi status quo, dengan menyisakan berbagai persoalan serius, terutama penyalahgunaan wewenang dalam penegakan hukum untuk kepentingan segelintir pihak yang benderang dipertontonkan.
Hukum dan aparaturnya juga banyak disalahgunakan untuk menyensor hak berekspresi masyarakat, kebebasan intelektual kampus dan mengebiri hak untuk mengkritik kekuasaan melalui kekerasan dan instrumen penegakan hukum yang dilumuri oleh motif yang kotor, sesuatu yang angkanya meningkat pada era Jokowi. Barangkali "pembiaran" itu karena berbagai macam atraksi demokrasi tersebut dipandang sebagai "kegaduhan" sehingga perlu ditekan melalui instrumen kursif bernama hukum.
Namun, pada saat yang bersamaan, hukum juga kadang dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengganggu agenda ekonomi sehingga Jokowi harus mengambil peran langsung untuk memberikan guideline bagi penegak hukum dalam menjalankan fungsi pokok mereka. Kita tentu masih ingat dengan kritik Jokowi atas praktik "kriminalisasi" yang dilakukan institusi penegakan hukum terhadap politisi yang menjadi kepala daerah.
Dalam pandangan Jokowi, "kriminalisasi" telah menyebabkan belanja daerah tidak efektif, daya serap anggaran yang minim, yang berujung pada stagnasi aktivitas ekonomi. Padahal, perbaikan sektor ekonomi menjadi agenda strategis pemerintah, terutama untuk menjaga kepercayaan publik dan investor atas kredibilitas dan kecakapan presiden dalam memimpin pembangunan ekonomi. Bagi presiden, segala hal yang mengganggu kinerja ekonomi harus diselesaikan dengan cepat.
Daya serap buruk
Anehnya, tak lama kemudian, pemerintah melalui menteri keuangan memotong anggaran, termasuk daerah, terutama pada pos-pos belanja yang tidak dipergunakan secara efektif alias menganggur. Artinya, ada faktor lain yang selama ini menyebabkan daya serap anggaran (pusat dan daerah) dikatakan buruk, bukan semata karena isu "kriminalisasi" sebagaimana pandangan umum pejabat daerah.
Meskipun demikian, harus diakui beberapa keluhan yang disampaikan pemerintah daerah kepada presiden terkait proses hukum yang serampangan juga merupakan sebuah fakta. Sayang, presiden merespons itu dengan jawaban yang agak keliru. Jika persoalannya pada profesionalitas penegak hukum, tentu menerbitkan peraturan untuk melindungi pejabat publik di daerah dari proses hukum bukanlah kebijakan yang tepat.
Apakah uraian itu semua berujung pada hukum dan pemberantasan korupsi dalam sekapan kepentingan ekonomi?
Kebijakan untuk memperbaiki bidang hukum tentu harus direspons dengan positif karena karut-marut sektor ini telah memberikan kontribusi pada tingginya angka korupsi. Tidak hanya itu, penegak hukum juga banyak yang terlibat korupsi, menggunakan wewenang penegakan hukumnya untuk memeras tersangka, atau saksi yang potensial jadi tersangka, membantu tersangka mendapatkan keringanan hukuman atau lolos dari jerat hukum, menjadi backingkejahatan terorganisasi, memperdagangkan barang bukti, ataupun praktik penyunatan anggaran untuk kerja-kerja penegakan hukum.
Jika pemerintah berharap upaya pemberantasan korupsi lebih efektif, tidak ada jalan lain kecuali membenahi institusi penegak hukum dari korupsi internal yang akut.
Hanya saja, yang perlu dikritik adalah apakah rencana pemerintah untuk merestorasi sektor hukum berangkat dari sebuah perspektif yang melihat bahwa hukum merupakan pilar penting bagi berjalannya sistem demokrasi, yang pada gilirannya akan menjaga prinsip rule of law, ataukah melihatnya dalam kepentingan ekonomi. Mengingat bobot orientasi pemerintah pada sektor ekonomi sangat besar, yang pada gilirannya menggunakan berbagai cara untuk mencapai target-target jangka pendek, seperti kebijakan tax amnesty, maka ada kekhawatiran jika agenda reformasi sektor hukum ditujukan untuk melayani kepentingan ekonomi semata.
Sebab, ada indikasi lain yang memperkuat kekhawatiran itu. Sebagai contoh, dalam mendorong agenda pemberantasan korupsi, pemerintah fokus pada sektor yang mengganggu kinerja ekonomi, yakni perizinan yang menghambat investasi, termasuk isudwelling time di sejumlah pelabuhan dan agenda lain yang diarahkan untuk memperlancar gerak birokrasi sebagai penopang kerja sektor ekonomi.
Demi ekonomi
Sebaliknya, sektor yang melayani hajat hidup orang banyak, seperti perikanan yang sudah mulai steril dari modal asing karena gencarnya Menteri Susi berperang melawan illegal fishing justru akan dibuka kembali untuk siapa pun demi meningkatkan pendapatan negara. Sepertinya, berbagai agenda pemerintah untuk memperbaiki situasi yang buruk ditujukan untuk mendorong sektor ekonomi bekerja dengan efektif.
Para ekonom dan ahli politik menyebutnya sebagai (neo) liberalisme. Ideologi ini bisa bersemayam di berbagai sistem politik. Pada era Soeharto, konsentrasi pembangunan adalah pada sektor ekonomi, dengan tujuan utama mencapai pertumbuhan tinggi, meskipun harus represif-otoriter.
Dalam konteks kekinian, Tiongkok mengombinasikan sistem komunisme dalam politik dan liberal dalam bidang ekonomi. Pada era Jokowi, liberalisasi ekonomi dijalankan dalam sistem demokrasi (prosedural). Karena itu, ada yang kemudian menyebut, pemerintahan sekarang bercita rasa Orde Baru dengan sistem yang lebih demokratis.
Banyak yang lupa bahwa dalam sejarahnya, keberhasilan sejumlah bangsa yang lebih dulu mengalami kemajuan pesat dalam bidang ekonomi, hingga memiliki struktur dan fondasi ekonomi yang kokoh, adalah hasil dari perbaikan pada sistem negara, termasuk tata kelola pemerintahan yang akuntabel dan transparan, demokratisasi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Mereka tidak mulai dari ekonomi, apalagi menjadikan seluruh cita-cita perbaikan sistem negara mengabdi pada kepentingan (jangka pendek) ekonomi belaka.
Adnan Topan Husodo, koordinator ICW
------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Hukum yang Melayani Ekonomi".