Hukuman Mati bagi Koruptor; Contohlah Latvia dan China
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar di Jakarta, Senin (5/4), menyetujui penerapan hukuman mati bagi terpidana korupsi dan penyuapan. Hakim harus berani menerapkan hukuman itu karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
UU No 31/1999, yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain pada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan tertentu. Yang kini belum ada adalah keberanian majelis hakim untuk menerapkan hukuman mati.
Patrialis di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, menyatakan, ”Undang-Undang Korupsi sudah mengatur soal itu dan membolehkan. Saya setuju penerapannya itu. Masa kita harus berdebat terus mengenai itu. Sekarang tergantung bagaimana majelis hakim menafsirkan dan berani memutuskannya.”
Perlunya sanksi yang keras pada pelaku korupsi muncul kembali karena meski sudah banyak pejabat dihukum terkait kasus korupsi, sanksi tidak membuat pejabat atau orang lain jera untuk korupsi. Korupsi, khususnya suap, bahkan kini dinilai sebagai budaya (Kompas, 5/4).
Menurut Patrialis, untuk mengikis korupsi dan penyuapan, pemerintah sebenarnya menerapkan aturan yang keras agar membuat kapok pelakunya. ”Jika sekarang masih terjadi, mungkin harus lebih keras lagi cara penerapan sanksinya,” ujarnya.
Patrialis mengatakan, selain hukuman berat, kesejahteraan pegawai juga harus lebih baik dan memadai lagi. ”Kalau ada orang yang seperti Gayus HP Tambunan lagi, tentu harus dihajar dengan hukuman yang lebih berat dan keras lagi,” paparnya.
Latvia dan China
Di Surabaya, Jawa Timur, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengakui, korupsi di negeri ini sudah parah dan merajalela. Karena itu, Indonesia perlu belajar dari Latvia dan China yang berani melakukan perombakan besar untuk menumpas korupsi di negaranya.
Menurut Mahfud, sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang korup. Untuk memberantas korupsi yang parah, negara itu menerapkan UU lustrasi nasional atau UU pemotongan generasi. Melalui UU itu, semua pejabat eselon II diberhentikan dan semua pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 dilarang aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari korupsi.
Di China dilakukan pemutihan semua koruptor yang melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tetapi begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan, pejabat itu langsung dijatuhi hukuman mati.
”Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di China dijatuhi hukuman mati. Sekarang China menjadi negara bersih. Indonesia seharusnya berkaca dari dua negara ini,” tambahnya.
Saat menjabat Menteri Kehakiman pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Mahfud pernah mengusulkan rancangan UU lustrasi dan UU pemutihan. Namun, usulan itu kandas karena Gus Dur lengser.
Mahfud menilai korupsi di Indonesia sedemikian merajalela dan menjadi penyakit kronis, bahkan negara ini sudah rusak. ”Korupsi terjadi di mana-mana, mulai polisi, jaksa, hakim, hingga kantor sepak bola. Ironisnya, korupsi justru merajalela dan menjadi penyakit setelah kita mengamandemen UUD 1945 selama empat kali sejak tahun 1999 hingga 2002,” ujarnya.
Menurut Mahfud, sistem pemberantasan korupsi di Indonesia sudah bagus. Namun, mentalitas dan moralitas masyarakat Indonesia telah rusak.
Mahfud juga menyatakan, dia baru mendapat laporan dugaan kasus korupsi dari anggota DPR. Dugaan kasus korupsi yang nilainya lebih besar dibandingkan dengan korupsi pegawai pajak Gayus Halomoan P Tambunan itu akan dibukanya.
Kejahatan pajak melebar
Secara terpisah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai praktik mafia hukum yang berkaitan dengan pajak saat ini melebar dan masuk wilayah fundamental. Karena itu, Presiden meminta institusi penegak hukum bekerja untuk mengurai penyimpangan hingga tuntas.
”Saya terus terang terusik dengan kejadian ini. Meskipun yang dilaporkan kepada saya belum utuh, baru laporan sementara, tetapi saatnyalah kita tata secara sangat serius,” ujar Presiden saat membuka sidang kabinet paripurna di Jakarta, Senin.
Presiden mengidentifikasi ada tiga jenis kejahatan di bidang pajak. Jenis kejahatan pajak pertama ialah wajib pajak yang tak memenuhi kewajibannya karena tidak membayar atau membayar tak sesuai ketentuan. Kedua, petugas pajak yang melakukan korupsi. Ketiga, dilakukan bersama oleh kedua pihak atau ”kongkalikong”.
”Ini yang sering saya sebut kongkalikong, ’damai’ yang jahat. Wajib pajak yang harusnya membayar 100 persen dari kewajiban pajaknya mungkin hanya membayar 60 persen. Yang 60 persen itu dikongkalikong lagi, disiasati oleh oknum di lingkungan pajak. Mungkin diambil lagi di situ, yang masuk ke negara tinggal 20-30 persen,” ujar Presiden.
Presiden menilai kasus kejahatan pajak yang sedang mengemuka saat ini tergolong kongkalikong. ”SMS yang masuk ke saya banyak sekali, seolah-olah ini kejahatan tunggal yang dilakukan oleh petugas pajak. Ini berbeda. Ini jenis ketiga, semuanya kejahatan,” kata Presiden.
Terkait hal itu, Presiden meminta institusi penegak hukum bersama Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bekerja serius untuk menangani persoalan itu dan melaporkan perkembangannya. Dengan begitu, bisa dilakukan tindakan korektif yang efektif. Selain itu, dapat disusun pula langkah pencegahan untuk memastikan kejahatan seperti itu tak terulang.
”Ternyata pengadilan pajak bisa sarat dengan praktik mafia yang harus kita berantas,” papar Presiden lagi.
Dana ke Edmond Ilyas
Secara terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang di Jakarta, Senin, mengatakan, penyidik menemukan aliran dana ke Brigadir Jenderal (Pol) Edmond Ilyas, mantan Direktur II Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, dalam penyidikan kasus Gayus Tambunan. ”Uang itu berasal dari sumbangan orang lain bagi bantuan gempa bumi di Sumatera Barat. Selain itu belum ditemukan lagi adanya aliran dana,” kata Aritonang.
Saat ditanyakan apakah Edmond mengakui itu, Aritonang menyatakan, itu baru keterangan. Penyelidikan secara simultan masih berjalan.
Aritonang belum menjelaskan tindakan bagi Direktur II Bareksrim Brigjen (Pol) Raja Erizman yang diduga terlibat kasus Gayus. Sanksi itu tergantung keputusan pimpinan. (ABK/ONG/HAR/DAY/DWA)
Sumber: Kompas, 6 April 2010