Hukuman Pengucilan bagi Koruptor
Penjara pada hakikatnya diperuntukkan bagi orang-orang yang melakukan kejahatan disebabkan faktor-faktor yang tidak mungkin dihindarinya. Pelaku kejahatan dipandang sebagai orang-orang yang malang dan oleh karena itu perlu dilakukan pembinaan oleh negara. Mereka melakukan kejahatan bukan karena ketamakan atau keserakahan, melainkan karena dihadapkan pada satu pilihan yang tidak mungkin dapat dielakkannya.
Semenjak diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 1915, pidana penjara mulai dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena saat itu belum tersedia rumah penjara, maka Wetboek van Strafrecht harus menunggu tiga tahun agar berlaku efektif sampai disahkannya reglement kepenjaraan tahun 1918.
Sejak itu, nomenklatur penjara mulai dikenal luas sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pidana penjara dapat dikatakan efektif, apalagi semenjak berubahnya sistem penjara menjadi sistem pemasyarakatan pada 1995.
Seiring meningkatnya angka kriminalitas dan makin canggihnya modus operandi kejahatan, pidana penjara masih menampilkan sosoknya yang konvensional, yakni sebagai alat bagi negara untuk merampas kemerdekaan bagi mereka yang melakukan kejahatan.
Akibatnya rumah-rumah penjara menjadi penuh sesak, berdampingan dengan laju peningkatan kejahatan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Akibat lebih lanjut, penjara tidak dapat lagi menjalankan fungi primernya sebagai wadah pembinaan narapidana. Alih-alih narapidana menjadi lebih baik, penjara justru dipandang sebagai tempat belajar kejahatan. Penjara telah menjelma menjadi sekolah tinggi tempat belajar ilmu kejahatan.
Alhasil, penjara telah menjadi semacam ”pabrik kejahatan” (factory of crime) yang memproduksi berbagai kejahatan. Ketimpangan antara ideal dan kenyataan sangat mencolok. Jumlah residivis meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah narapidana yang dipenjarakan.
Bahkan, fenomena akhir-akhir ini menunjukkan penjara justru sebagai tempat yang aman untuk melakukan kejahatan. Kasus terbongkarnya pembuatan sabu di penjara merupakan bukti kebenaran ungkapan ini. Berbagai bentuk penyimpangan lainnya pun terjadi di lembaga pemasyarakatan.
Bukan penjara
Ketika Edwin H Sutherland menggelontorkan konsep tentang kejahatan kerah putih (white collar crime), semestinya semenjak saat itu paradigma pemidanaan dirombak total. Kejahatan kerah putih dikonsepsikannya sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang terhormat dalam kedudukan ataupun pekerjaannya.
Jenis kejahatan ini berbanding terbalik dengan kejahatan konvensional yang dikenal dengan blue collar crime. Salah satu karakteristik yang menonjol adalah penggunaan kekerasan yang minimalis diganti dengan penggunaan teknologi dan taktik yang tersamar dan sering terorganisasi serta menimbulkan kerugian secara finansial yang amat besar.
Mereka—pelaku kejahatan—itu memiliki tingkat pendidikan relatif tinggi, tetapi justru digunakan untuk melakukan kejahatan. Di samping itu, korupsi selalu berkelindan dengan penggunaan kekuasaan (power). Perjumpaan antara tingkat pendidikan yang tinggi dan penyalahgunaan kekuasaan itulah menjadikan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa.
Keluarbiasaan delik korupsi selain berkaitan dengan subyek dan obyek serta akibat yang ditimbulkan juga berupa luka sosial yang sangat parah. Korupsi laksana parasit yang menggerogoti tubuh bangsa sehingga bangsa menjadi ringkih akibat beban sosial yang ditanggung masyarakat semakin berat.
Pengucilan
Berdasarkan anatomi di atas, penghukuman terhadap pelaku korupsi tidak cukup dengan hukuman penjara saja. Kebijakan pemenjaraan terhadap pelaku korupsi semakin minimalis, artinya pelaku korupsi dihukum penjara ringan.
Masihkah pidana penjara dianggap obat mujarab untuk membuatterpidana menjadi jera? Lalu apa arti extraordinary crime kalau pelaku korupsi masih menikmati pelbagai fasilitas selama dalam penjara. Ingat kasus Gayus Tambunan atau Artalyta Suryani. Penjara tidak menyebabkan mereka sadar telah melakukan kejahatan yang melukai bangsanya. Perlu direkonstruksi bentuk sanksi sosial berupa pengucilan dari masyarakatnya guna menggantikan pidana penjara yang tidak efektif lagi.
Hukuman pada hakikatnya merupakan pemakluman terhadap penjahat. Apabila ia melakukan perbuatan, jenis hukuman seperti itulah yang akan dipikulnya. Dengan demikian, jika hukuman penjara dijatuhkan secara minimalis, sistem sosial dalam masyarakat seharusnya diperkuat untuk mengimbanginya. Masyarakat hendaknyadididik agar tidak berlaku permisif terhadap koruptor. Masyarakat perlu disadarkan bahwa perilaku koruptif tidak mendapat tempat dalam sistem sosial mana pun.
Jika masyarakat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang melembaga berdasarkan nilai-nilai kepercayaan (trust), maka koruptor adalah orang-orang yang dinilai telah mengkhianati nilai-nilai kepercayaan yang menjadi fundamen keberlangsungan sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu, penghukuman berupa pengucilan, yakni dibuang dari pergaulan sosial—setidak-tidaknya untuk sementara waktu—patut dipertimbangkan sebagai hukuman yang pantas bagi mereka.
Hukuman pada hakikatnya adalah membatasi, dan pembatasan itu tidak saja terhadap kemerdekaan bergerak, tetapi terhadap kenikmatan lain yang hanya dapat diberikan kepada orang yang patuh pada hukum. Hukuman (pidana) selalu mengakibatkan penderitaan dan pasti dirasakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Koruptormemiliki kekuasaan untuk memanfaatkan kelemahan hukum dan sistem peradilan yang mendukungnya. Akibatnya mereka sering lolos dari jerat sarang laba-laba yang memang tidak diperuntukkan buat mereka.
Hukuman pengucilan pada prinsipnya merupakan penjara juga meskipun mereka tetap bebas di lingkungan masyarakatnya. Pidana pengucilan itu telah dikenal sebelum kedatangan penjajah di bumi Ibu Pertiwi ini, lalu mengapa sekarang kita tidak mencobanya?
M ALI ZAIDAN, DOSEN ILMU HUKUM UPN VETERAN JAKARTA
------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Januari 2017, di halaman 7 dengan judul "Hukuman Pengucilan bagi Koruptor".