Hura, David Sudah Tertangkap!
Kesediaan Pemerintah Amerika Serikat mengekstradisi David Nusa Wijaya (David) tentu sangat menggembirakan. David sudah dijatuhi hukuman secara bertahap yang semakin lama semakin berat. Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis satu tahun penjara. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memvonis empat tahun penjara, dan ketika naik ke Mahkamah Agung hukuman dinaikkan menjadi delapan tahun penjara.
Akhirnya semua terkesan mubazir karena David bisa kabur ke luar negeri. Justru aparat AS yang menangkapnya dan mengembalikan ke Indonesia. Namun, kita juga bukannya tanpa jasa. Pembunuh dua warga AS di Papua, yang konon ikut diburu FBI, akhirnya ditangkap. Mungkin sebagai imbalan, atau malah terkesan seperti barter, David diekstradisi.
Dasar sial nasibnya atau lebih bodoh dibandingkan dengan para koruptor lainnya yang juga kabur. Lebih sial lagi kalau dibandingkan dengan kawan-kawan seperbuatannya yang mendapat release and discharge (R & D). Jumlah uang negara yang hilang jauh lebih besar dari Rp 1,29 triliun yang ditilep David.
Terkesan sedikit
Bagaimanapun uang yang dicuri oleh David sebesar Rp 1,29 triliun itu sangat banyak. Karena kita setiap harinya disodori jumlah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang Rp 144 triliun, jumlah obligasi rekap yang Rp 430 triliun beserta kewajiban pembayaran bunga yang minimum Rp 600 triliun, yang dikorup David terkesan sedikit.
Satu triliun rupiah itu 1.000 miliar rupiah, dan satu miliar rupiah itu 1.000 juta rupiah. Kalau Rp 1 triliun didepositokan dengan bunga neto setelah pajak sebesar 8 persen setahun, hasil bunganya Rp 80 miliar setahun atau Rp 6,7 miliar sebulan. Kalau dijadikan per harinya dibagi 30, hasil bunganya Rp 223 juta per hari, termasuk hari Sabtu, Minggu, dan hari libur.
Maka, yang menjadi tantangan buat pemerintah, berapa uang yang dapat ditarik kembali untuk kas negara? Masuknya kembali ke kas negara ini lebih penting daripada perbuatan kriminalnya. Itulah sebabnya kita mengenal R & D yang tercantum dalam perjanjian perdata dengan nama Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).
UU Perbankan dikalahkan
Teman-teman seperbuatan David banyak yang mencuri lebih besar, tetapi mendapat release and discharge yang tercantum dalam MSAA karena mereka kooperatif dan bersedia membayar kembali dengan aset yang mereka serahkan, walaupun nilainya hanya sekitar 15 persen dari utangnya. Dana Moneter Internasional (IMF) dan pemerintah membela bahwa recovery rate 15 persen normal di negara mana saja yang terkena krisis ekonomi.
Intinya MSAA ialah kalau bankir nakal mau disidik dan mau berunding dengan pemerintah tentang berapa yang sanggup dibayarnya, pemerintah memberikan pernyataan pelunasan dan pembebasan yang istilahnya dalam MSAA release and discharge itu tadi. Semuanya dalam bahasa Inggris yang ruwet.
Mengapa? Yang membuat ahli hukum Amerika berusia muda belia. Ketika diingatkan oleh ahli hukum sangat senior, sangat kapabel, dan sangat terkenal berbangsa Indonesia bahwa yang dirancangnya ialah perjanjian perdata yang menentang undang-undang yang lebih tinggi derajatnya, sang ahli hukum Amerika ini mengatakan: Then you change your law. UU Perbankan tetap utuh, tetapi dalam praktik memang dikalahkan oleh MSAA. Yang bersikap mengalahkan ketentuan pelanggaran terhadap legal lending limit dalam UU Perbankan (kecuali satu orang), semua menteri dalam kabinet pemerintah yang lalu yang didukung oleh DPR, MPR, dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Edan memang, tetapi kekuasaan IMF memang sangat besar.
Dalam debat yang berkali-kali di sidang- sidang kabinet, sebagai orang yang mati-matian mempertahankan UU Perbankan, saya ditanya maunya apa? Mau menghukum, menyakiti orang, atau mau memperoleh uang kembali? Dalam kesempatan lain di BI saya juga disebut sebagai orang yang blood thirsty (haus darah).
Karena beberapa menteri sangat penting yang pro uang kembali ketimbang law enforcement saat ini duduk lagi dalam kabinet pemerintah sekarang, maka menjadi krusial mendapatkan uang kembali dari David. Mari kita saksikan bersama bagaimana jadinya!
Menurut logika para menteri kabinet pemerintah sebelum ini, di antaranya ada beberapa yang sekarang duduk dalam Kabinet Indonesia Bersatu, kalau uangnya memang sudah habis, daripada menyiksa David, apakah tidak lebih baik dia dilepas saja!?
Pedagang kelontong
Bagaimana ceritanya kok David sampai bisa mencuri uang sebanyak itu? Dalam bulan Oktober 1988 pemerintah memberlakukan kebijakan liberalisasi perbankan yang terkenal dengan Paket Oktober atau disingkat menjadi Pakto. Barang siapa mempunyai uang Rp 10 miliar yang dijadikan modal disetor bisa mendirikan bank. Yang punya uang Rp 10 miliar banyak, tetapi bukan bankir. Yang latar belakangnya bankir ya sudah lama punya bank. Karena itu, para saudagar dan pedagang kelontong tanpa latar belakang pengetahuan dan pengalaman perbankan itulah yang ramai-ramai mendirikan bank.
Lahirlah sekitar 200 bank. Mereka tahu persis bagaimana caranya menarik pemilik uang supaya mereka menyimpan di banknya dalam bentuk apa pun, tabungan, deposito, dan giro. Maka, caranya beriklan dan berpromosi juga seperti menjual barang kelontong, lengkap dengan hadiah- hadiah.
Mereka juga mengetahui bahwa gedung yang mentereng yang letaknya di jalan raya yang strategis juga sangat penting. Maka, mereka membidik gedung-gedung seperti itu. Tentu harganya sangat mahal. Pedagang kelontong tidak kehabisan akal. Para pemilik gedung itu dirayu hanya memakai bagian depan saja dari gedungnya untuk kantor cabang banknya.
Pemiliknya ada ibu yang jualan kue basah. Tidak masalah. Dia masih tetap bisa menjual onde-onde dan getuk lindrinya di pojok ruangan. Kepadanya diajari bagaimana caranya menjadi teller. Supaya si nyonya mau menerima, imbalannya sebagian dari jumlah deposito. Jadi seperti franchise. Bank di-franchise. Maka, bukan hanya para pedagang kelontong, encim-encim juga menjadi bankir.
Ketika berhasil menarik uang dalam jumlah besar, mereka menjadi kaget. Uang masyarakat yang dipercayakan di bank mereka dipakai sendiri untuk mendirikan konglomerasi, sambil me-mark up. Jadi punya banyak pabrik, sekaligus punya banyak uang tunai. Tetapi banknya jelas rusak. Beberapa kalah kliring. Kalahnya kliring karena melanggar ketentuan legal lending limit dalam UU Perbankan yang jelas merupakan tindak kriminal.
Oleh Bank Indonesia (BI) bukannya dilaporkan kepada Kejaksaan Agung dan diskors, tetapi diberi bantuan likuiditas yang bernama fasilitas diskonto. Kalah kliring lagi, dibantu lagi dengan fasilitas diskonto untuk kedua kalinya. Maka, dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkenal dengan istilah Fasdis I dan Fasdis II. Akhirnya kita kena krisis tahun 1997. IMF datang sebagai juru selamat. Dalam waktu singkat para pejabat IMF yang masih ingusan itu memaksa menutup 16 bank yang paling rusak tanpa kejelasan bagaimana nasib penyimpan uangnya. Yang punya uang tentu marah-marah.
Sementara yang punya uang di bank- bank yang belum ditutup buru-buru mengambil uangnya sebelum banknya ditutup. Mengapa? Karena bank-bank yang ditutup itu dalam laporan keuangan terakhir masih sangat sehat. Maka, terjadilah rush besar-besaran. Untuk menghentikan rush ini, IMF dan BI terpaksa menggerojok likuiditas berapa saja sambil menantang para penyimpan uang itu. Sangat manjur. Rush berhenti dalam tiga hari. Namun, uang yang dikeluarkan BI sebesar Rp 144 triliun.
Harus dihukum
Dari jumlah sebesar inilah David berhasil mencuri Rp 1,29 triliun. Jelas David harus dihukum. Bagaimana dengan pengambil kebijakan yang merugikan negara minimal Rp 1.000 triliun? Ada yang masih menjalani hukuman di penjara, tetapi ada yang duduk dalam kabinet. Adapun sesama pencuri seperti David, ada yang mencurinya jauh lebih besar dan mendapatkan R & D.
Oh David, seandainya dikau dahulu itu rajin datang kalau dipanggil, lantas perilakumu sopan dan tutur bahasanya santun serta mau membayar dalam bentuk beberapa perusahaan yang nilainya sekitar 15 persen, dan yang terpenting mau melayani para pejabat habis-habisan, engkau sekarang bebas, mengantongi sertifikat release and discharge, dan dipuji sebagai bankir yang kooperatif sesuai dengan ketentuan dalam GBHN.
Ada contoh yang paling berhasil karena negara merugi sekitar Rp 27 triliun. Tetapi dia pandai melayani. Tidak perlu sendiri. Cukup menyuruh keponakannya! Dia bebas dan sekarang punya banyak perusahaan dengan merek dunia, dan para investor dunia antre kepingin kongsi dengan dia.
BPK memang melakukan audit BLBI dengan kesimpulan sekitar 90 persen dari BLBI yang Rp 144 triliun itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. BI harus bertanggung jawab. Kalau dibayar, BI bangkrut. Mana ada bank sentral yang bangkrut? Maka, dokumen-dokumen pun dibakar di Gedung BI yang baru. Buat Paul Volcker yang diminta menyelesaikan hanya membalikkan tangan, yaitu dengan secarik kertas yang dinamakan capital maintenance note.
Oh David, mbok dulu engkau minta dituntun oleh penggede IMF, misalnya Hubert Neiss. Engkau kan pasti bebas. Kalau ada yang mencela, engkau bisa mengatakan: So what gitu lho, sambil mesem-mesem mesum dan bersikap kalem-kalem dewata seperti sikap kebanyakan para teknokrat arsitek pembangunan ekonomi Indonesia!
Kwik Kian Gie Mantan Menteri Negara PPN/ Kepala Bappenas
Tulisan ini disalin dari Kompas, 23 Januari 2006