ICW Bidik Korupsi Kehutanan di Kalimantan
Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Anti Mafia Hutan, Senin (26/9/2011), melaporkan dugaan korupsi sektor kehutanan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kerugian negara akibat praktik korupsi di dua provinsi tersebut diperkirakan mencapai Rp 9,146 triliun rupiah.
Dari hasil riset Koalisi di Kalimantan Barat, ditemukan setidaknya 7 perusahaan yang diduga melakukan penyerobotan kawasan hutan untuk kepentingan bisnis perkebunan kelapa sawit. Ketujuh perusahaan itu beroperasi di Kabupaten Sambas, Ketapang dan Bengkayang. PT ISK, PT UAI, PT KMP, PT WHS, PT WHBP (Sambas), PT WHDP (Bengkayang) dan PT LL, diduga telah melanggar SK Menteri Kehutanan no 259 tahun 2000 tentang Penunjukan Kuasa Hutan.
Modus yang digunakan, ketujuh perusahaan tersebut menerabas aturan mengenai alih fungsi hutan. Mereka beroperasi di kawasan hutan tanpa ijin. Modus lainnya, menyalahgunakan ijin pembukaan lahan untuk perkebunan hanya untuk mendapatkan kayu hutan tanpa diikuti oleh penanaman kelapa sawit. "Estimasi kerugian negara akibat praktik illegal logging di kawasan ini mencapai Rp 1,15 triliun," ungkap M Lutharif dari LSM Kontak Rakyat Borneo yang berbasis di Kalimantan Barat.
Sementara itu, di Kalimantan Tengah, modus korupsi yang menyebabkan deforestasi justru berakar pada Kepala Daerah setempat. Di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, oknum pejabat daerah berinisial DA diduga menyalahgunakan wewenangnya untuk memberikan ijin operasi usaha perkebunan kepada sejumlah kerabat dan orang dekatnya. Ijin usaha perkebunan itu kemudian dijual kepada perusahaan besar yang mau membayar dengan sejumlah uang dengan besaran yang ditentukan. "Modusnya jelas, karena ijin diberikan kepada kerabat yang tidak memiliki kompetensi mengurus bisnis perkebunan," cetus Arie Rompas dari WALHI Kalteng.
Dari penelusuran Koalisi, setidaknya ada 15 perusahaan boneka yang dibentuk untuk "mengelola" 211.580 hektar wilayah hutan di Seruyan secara ilegal. Potensi kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp 7,99 triliun.
Koalisi mendesak KPK memanfaatkan perangkat Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) untuk menjerat pelaku kejahatan di sektor kehutanan. "Karena UU Kehutanan masih cukup lemah untuk menangani para mafia hutan," tukas Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW kepada tim Pengaduan Masyarakat KPK.
Menurut Febri, UU Tipikor merupakan peluang hukum yang dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan kasus kejahatan di sektor kehutanan. Dari kajian ICW, ada sejumlah lahan korupsi dalam kasus ilegal loging yang bermuara pada jual beli perizinan pembukaan kawasan hutan untuk bisnis perkebunan. Modus yang lain, tidak dibayarkannya Dana Reboisasi (DR) dan penerimaan negara dari segi Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
Yuli Kristiyono yang memimpin tim penerima laporan dari KPK mengatakan, laporan dari Koalisi akan digunakan sebagai bahan untuk menangani kasus dugaan korupsi di wilayah hutan Kalimantan. Sebelumnya, menurut Yuli, tim dari KPK telah tiga kali melakukan kajian di Kabupaten Seruyan. "Melihat adanya praktik bagi-bagi perijinan kepada kerabat dekat, bisa diarahkan ke dugaan tindak pidana korupsi karena ada konflik kepentingan. Namun KPK harus melakukan pembuktian yang lebih konkret," pungkasnya. Farodlilah