ICW Minta Korupsi di BPPN Dibongkar
Penyelidikan kejaksaan harus canggih.
Indonesia Corruption Watch meminta kejaksaan membongkar semua kasus dugaan tindak pidana korupsi di Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Wakil Koordinator ICW Luky Djani kepada Tempo mengatakan, kasus bekas Kepala BPPN Syafruddin A. Temenggung bisa dijadikan pintu masuk untuk membongkar korupsi yang lebih besar. Ada ratusan kasus aset negara dijual murah oleh BPPN, katanya kemarin.
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada Jumat lalu menetapkan Syafruddin sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penjualan pabrik gula Rajawali III di Gorontalo. Hasil pemeriksaan kejaksaan menduga ada unsur tindak pidana korupsi dalam pelelangan pabrik dan penilaian aset oleh BPPN pada 2003. Aset pabrik senilai Rp 600 miliar hanya dijual Rp 84 miliar (14 persen).
Luky mengatakan, saat menjual ratusan aset milik negara, BPPN tidak pernah menjelaskan secara terbuka apakah hal itu sudah sesuai dengan prosedur. Lembaga yang didirikan pada 27 Februari 1998 itu pun tak pernah menyampaikan kepada masyarakat apakah nilai jual aset itu merugikan negara atau tidak.
Selama tujuh tahun bekerja, setiap tahun BPPN selalu diberi target menyetor ke negara sebagai setoran nonpajak. Kita tidak tahu apakah untuk memenuhi setoran itu aset-aset negara diobral atau tidak, ujar Luky.
Untuk itu, ICW meminta pemerintah melakukan audit khusus dan menyeluruh terhadap seluruh penjualan aset BPPN, termasuk audit bujet operasional. Badan Pemeriksa Keuangan bisa melakukan audit khusus itu, tutur Luky.
Selain Syafruddin, kata dia, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara dan pejabat di bawah Kepala BPPN saat itu patut diperiksa.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance, Iman Sugema, menambahkan bahwa kejaksaan juga harus canggih dalam menyelidiki kasus dugaan korupsi di BPPN. Sebab, tidak akan ada bukti transaksi jual-beli yang bisa langsung memastikan bahwa pejabat BPPN mengambil uang negara.
Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Dradjad H. Wibowo, sependapat. Menurut dia, jika alasan kerugian negara versi jaksa hanya nilai jual aset jauh di bawah harga buku, posisi kejaksaan lemah sekali. Seperti meninju angin, kata anggota Fraksi Partai Amanat Nasional ini.
Dradjad menuturkan, nilai jual aset BPPN yang rendah itu hasil dari banyak proses, variabel, dan pembuat keputusan. Secara proses, BPPN berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 diizinkan menjual aset dengan harga di bawah nilai buku dengan syarat aset itu sudah dinilai oleh penilai independen.
Secara variabel, jika nilai aset itu rendah, harus diketahui apakah karena memang macet atau sengaja dimacetkan oleh pemiliknya.
Terakhir, kata Dradjad, ada banyak pembuat keputusan, seperti Komite Kebijakan Sektor Keuangan, yang terdiri atas menteri-menteri ekonomi, serta Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, yang menyetujui penjualan aset. Artinya, mereka semua harus diperiksa juga, ujar Dradjad.
Tapi sebaliknya, ujar dia, kejaksaan pasti bisa membongkar korupsi di BPPN jika punya bukti adanya aliran dana dari pembeli aset atau perusahaan penilai ke pejabat BPPN.
Menurut Iman, penjualan aset oleh BPPN dengan harga murah adalah sesuatu yang disengaja. Sebab, penjualan aset besar selalu melibatkan investor yang tidak jelas.
Menurut saya, itu investor kongkalikong, ucapnya. Sebab, semuanya bisa diatur, termasuk harga. Sebenarnya, modus ini sudah lama disuarakan. SAM CAHYADI
Sumber: Koran Tempo, 6 Februari 2006