ICW Sesalkan Keputusan BK DPR
KOORDINATOR Bidang Hukum dan Pemantau Peradilan Indonesia Coruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengaku menyesalkan atas keputusan Badan Kehomatan (BK) DPR menganggap Ketua DPR Agung Laksono tidak melanggar kode etik dan tata tertib DPR saat memimpin rapat paripurna DPR dengan agenda pengesahan RUU Mahkamah Agung (MA).
"Keputusan BK akan menjadi preseden buruk dalam menindak pelanggaran kode etik dan tata tertib oleh anggota DPR," kata Emerson Yuntho di Jakarta, Minggu (3/5). Dia berjanji, ICW akan mengajukan judicial review UU Mahkamah Agung ke Makkamah Konstitusi karena sejak awal proses pembahasan RUU MA mengabaikan aspirasi publik dan lebih pada mengakomodasi kepentingan elite saja.
Seperti diberitakan, Sabtu (2/5), Badan Kehormatan (BK) DPR RI telah memutuskan bahwa Ketua DPR Agung Laksono dianggap tidak melanggar kode etik dan tata tertib DPR saat memimpin Rapat Paripurna DPR saat pengambilan keputusan atas RUU tentang Mahkamah Agung (MA). BK juga memutuskan untuk merehabilitasi nama Agung Laksono dari tuduhan melanggar kode etik dan tata tata tertib DPR.
Keputusan BK DPR tersebut terkait pengaduan Indonesian Corruption Watch (ICW) ke BK DPR dengan tuduhan Ketua DPR melanggar kode etik dan tata tertib DPR saat memutuskan RUU tentang MA pada 18 Desember 2008.
Demikian disampaikan Ketua BK DPR (Fraksi Partai Golkar), Irsyad Sudiro didampingi Wakil Ketua DPR Gayus Lumbuun (Fraksi PDIP) dan Tiurlan Hutagaol (Fraksi PDS) di Pressroom DPR, Jakarta, Sabtu (2/5).
Kasus ini berawal saat Agung Laksono memimpin sidang paripurna pengesahan RUU Mahkamah Agung, 18 Desember 2008. Saat itu, PDI Perjuangan dan beberapa fraksi mengajukan interupsi. ICW menilai, pimpinan DPR seharusnya mengambil opsi membuka forum lobi dan pemungutan suara.
"Namun justru pimpinan sidang tidak menggubris," kata peneliti ICW Febri Diansyah. Agung malah mengetuk palu sidang meski satu fraksi menolak pengesahan. Agung dinilai melanggar Pasal 206 Tata Tertib DPR mengenai kewajiban dan syarat pemenuhan kuorum minimal satu per dua dari jumlah anggota DPR, atau sekitar 275 anggota, hadir.
Agung juga dinilai melanggar soal pengambilan keputusan secara musyawarah, atau suara terbanyak. "Jika dilanggar, berarti pelanggaran kode etik," katanya.[by : Friederich Batari]
Sumber: Jurnal Nasional, 4 Mei 2009