ICW Usulkan Hakim Ad Hoc Mayoritas
Jaksa Agung meminta ada sinkronisasi dengan undang-undang lain.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengusulkan agar komposisi hakim ad hoc dan hakim karier diatur secara tegas dalam Undang-Undang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. "Hakim ad hoc harus mayoritas, tiga hakim ad hoc dan dua hakim karier atau dua hakim ad hoc dan satu hakim karier," kata Febri Diansyah, peneliti ICW, kemarin.
Menurut Febri, selama ini yang membuat Pengadilan Tipikor kuat adalah keberadaan hakim ad hoc. Dia mengatakan masyarakat belum percaya sepenuhnya kepada hakim karier karena sering kali pengadilan umum membebaskan terdakwa kasus korupsi. Pengadilan Tipikor, Febri melanjutkan, tidak pernah membuat putusan bebas.
Dia mengakui, bila Pengadilan Tipikor dibentuk di semua tingkat pengadilan, dibutuhkan ribuan hakim ad hoc. "Karena itu, kami usul agar hanya ada sekitar lima Pengadilan Tipikor," kata Febri. Pengadilan Tipikor itu berkedudukan di Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan satu pengadilan di Kalimantan. Pengadilan inilah yang kelak akan menangani perkara korupsi yang disidik kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sementara itu, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengaku tak mempermasalahkan keberadaan hakim ad hoc. "Sejauh tak bertentangan dengan Undang-Undang Peradilan Umum, mau tiga, lima, atau dua hakim ad hoc, silakan," kata Hendarman di Kejaksaan Agung, Jumat lalu. Persoalannya, kata Hendarman, dalam Undang-Undang Peradilan Umum tak dikenal istilah hakim ad hoc.
Menurut Hendarman, Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi perlu disinkronkan dengan Undang-Undang Peradilan Umum.
Febri mengaku heran atas pernyataan Hendarman tersebut. Dia menilai Hendarman ingin menghilangkan hakim ad hoc atau memperlemah posisi hakim ad hoc. "Kami mengecam upaya memperlemah Pengadilan Tipikor itu," kata Febri. Dia mengatakan keberadaan hakim ad hoc tidak melanggar konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Hingga 2009, kata hakim karier di Pengadilan Tipikor, Kresna Menon, pengadilan khusus tindak pidana korupsi ini telah memutus 103 kasus sejak 2004. Semuanya terbukti bersalah kecuali dua kasus, yang terhenti karena terdakwa meninggal dan pikun. Menurut dia, tidak ada perkara yang bebas karena penuntut mengajukan bukti yang cukup kuat.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata menampik tudingan bahwa pemerintah adalah penyebab lambatnya pembahasan rancangan itu. Ia yakin rancangan tersebut bisa selesai tahun ini (baca "Kalau Semua Serius, Bisa Selesai"). SUTARTO | ANTON SEPTIAN
Sumber: Koran Tempo, 6 Juli 2009
{mospagebreak title=ICW: Hakim Ad Hoc Mutlak}
ICW: Hakim Ad Hoc Mutlak
Komposisi hakim pengadilan tipikor saat ini dinilai sudah ideal.
KORUPSI sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime), sudah selayaknya membutuhkan perangkat spesial dalam pemberantasannya. Maka keberadaan hakim ad hoc dalam pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) adalah mutlak.
Majelis hakim yang terdiri atas tiga hakim ad hoc dan dua hakim karier merupakan komposisi ideal dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, seperti yang telah diaplikasikan selama hampir tiga tahun belakangan. Sayangnya, formasi unggul dalam mengadili penjahat korupsi ini terancam diacak-acak bahkan berpeluang dieliminasi.
Indonesian Corruption Watch (ICW) khawatir, wacana penggunaan UU/14/1970 jo 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU 8/2004 tentang Peradilan Umum dalam penggodokan UU Pengadilan Tipikor disalahgunakan untuk menghapus keberadaan hakim ad hoc. "Meskipun perlu sinkronisasi dengan dua undang-undang itu, komposisi dominan hakim ad hoc sah dan konstitusional diatur di UU Pengadilan Tipikor karena bersifat khusus," kata peneliti hukum dan Anggota Badan Pekerja ICW Febri Diansyah kepada Jurnal Nasional, Minggu (5/7).
Urgensi hakim ad hoc ini didasarkan atas rendahnya kepercayaan publik terhadap pengadilan umum. Hilangnya kredibilitas pengadilan umum disebabkan oleh sejumlah masalah seperti maraknya praktik mafia peradilan, penangangan perkara yang tidak transparan, serta putusan yang tidak berpihak kepada keadilan. Ikut sertanya hakim ad hoc dalam pengadilan Tipikor juga dimaksudkan sebagai representasi dari kepentingan masyarakat agar akuntabilitas pengadilan dapat semakin dipertanggungjawabkan.
Menurut Febri, meski batas waktu (limited constitution) pembentukan UU Pengadilan Tipikor yang baru semakin dekat. Namun, DPR dan pemerintah masih saja belum ada kata sepakat dan perdebatan terhadap substansi termasuk komposisi hakim ad hoc justru semakin alot.
Anggota Panitia Khusus RUU Pengadilan Tipikor, Patrialis Akbar mengakui bahwa komposisi hakim ad hoc masih jadi perdebatan, bahkan soal pembentukan pengadilan tipikor di tingkat regional atau provinsi juga belum ada kesepakatan.
Fondasi Kuat
Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, bahwa alotnya pembahasan RUU Pengdilan Tipikor bukan hanya persoalan komposisi hakim ad hoc, tetapi bagaimana agar UU Tipikor nantinya memiliki fondasi hukum yang kuat.
"Jangan sampai fondasinya lemah, karena resistensi terhadap peradilan tipikor banyak sekali. Jangan sampai, baru hadir, digoyang-goyang. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) diajukan judicial review (ke Mahkamah Konstitusi) itu berapa kali?," ujar Hendarman, akhir pekan lalu.
Menurut Hendarman, itu menjadi perhatiannya karena keberadaan peradilan tipikor adalah amanat Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. "Itu yang saya sampaikan. Bukan masalah jumlah hakim ad hoc-nya," kata dia.
Hendarman mengatakan, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan adanya empat peradilan di negeri ini. Yakni, umum, agama, militer, dan tata usaha negara. Peradilan khusus tipikor tidak disebutkan. Namun, karena menjadi amanat UU, peradilan tipikor ini harus tetap ada. Tentunya, dengan syarat masuk ke peradilan umum.
"Jangan sampai membuat peradilan tipikor yang khusus itu menyimpang dari empat peradilan itu. Kalau menyimpang, maka akan bertentangan dengan UUD 1945," kata Hendarman. n Melati Hasanah Elandis/Abdul Razak [by : Abdul Razak]
Sumber: Jurnal Nasional, 6 Juli 2009