ICW: Vonis Bebas Agusrin Penuh Kejanggalan
Vonis bebas yang diberikan kepada mantan Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai janggal. Pasalnya, proses hukum terhadap pemimpin daerah yang berasal dari Partai Demokrat ini berliku sejak awal.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada 12 kejanggalan dalam proses pengadilan Agusrin sejak kasus ini mencuat pada penghujung 2006. Selama proses pengadilan kasus korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang merugikan negara hingga Rp 21,3 miliar itu, kejanggalan yang paling nyata adalah diabaikannya fakta-fakta persidangan yang disampaikan para saksi. "Hakim seringkali memotong kesaksian dari para saksi bahkan terkesan memojokkan saksi," ungkap peneliti Divisi Investigasi dan Publikasi ICW, Tama Satyra Langkun, dalam jumpa pers di sekretariat ICW, Minggu (5/6/2011).
Kejanggalan lain, majelis hakim tidak mempertimbangkan putusan PN Bengkulu yang menyatakan keterlibatan Gubernur yang saat itu dijabat Agusrin dalam membuka rekening untuk menyalurkan dana korupsi. Hakim juga mengabaikan keterangan ahli dari BPK dan BPKP pada 30 Juli 2007 yang menyatakan adanya kerugian negara senilai Rp 20,1 miliar.
ICW juga menilai majelis hakim PN Jakpus telah melakukan kelalaian karena mengabaikan bukti-bukti persidangan yang menunjukkan keterlibatan Agusrin dalam korupsi dana PBB dan BPHTB itu, seperti surat-surat, foto tumpukan uang yang diterima ajudannya, serta bukti dana penyertaan modal dari dana korupsi untuk kepentinagn pribadi terdakwa.
Fakta lain, ketua Majelis Hakim yang membebaskan Agusrin dari segala tuduhan adalah hakim "S" yang tertangkap tangan oleh KPK menerima uang suap pada Rabu malam (1/6/2011) lalu. "Hal ini menguatkan kecurigaan adanya praktik mafia hukum dalam kasus Agusrin," tukas Tama.
Menurut Tama, hakim "S" ini termasuk dalam 100 hakim yang dilaporkan ke Komisi Yudisial pada 2009 lalu karena memiliki track record buruk. Selama berkarir menjadi hakim di PN Makassar hingga ke PN Jakarta Pusat, hakim "S" telah menangani 8 kasus korupsi, dan membebaskan 39 terdakwa.
"Ini adalah momen yang tepat bagi Mahkamah Agung untuk menangani hakim-hakim nakal. MA harus proaktif," tegas Febri Diansyah, dalam kesempatan yang sama. Farodlilah