Ikhtiar Hadirkan Nazaruddin
Pasca-penetapan Nazaruddin sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Presiden telah meminta Kepala Kepolisian RI (Kapolri) untuk melakukan penangkapan.
Berbagai ikhtiar pun dilakukan sementara Nazaruddin menunjukkan resistensinya dengan menguak berbagai tuduhan KPK dan rekan di Partai Demokrat.
Upaya Paksa
Polri dalam merespons permintaan Presiden sudah dipastikan mengalami sejumlah kendala. Di antaranya, Polri tidak mungkin melakukan penangkapan di Singapura, mengingat Polri tidak memiliki yurisdiksi dan kewenangan.Kalaupun Polri ingin berperan dalam penangkapan Nazaruddin maka izin dari otoritas dan kepolisian Singapura harus diperoleh.
Peran itu pun sangat terbatas. Polri, misalnya, tidak bisa melakukan pengintaian atas Nazaruddin sehingga diperoleh alamat yang akurat.Demikian pula penangkapan tidak bisa dilakukan oleh Polri secara langsung. Penangkapan dan penahanan harus dilakukan oleh kepolisian setempat.
Ini semua karena Singapura merupakan negara yang berdaulat. Sebagai negara berdaulat, tentu tidak akan membebaskan aparat penegak hukum dari negara lain untuk melakukan fungsi dan peran hukum. Tidak mungkinnya Polri melakukan penangkapan terhadap Nazaruddin di negeri jiran itu bukan berarti tidak ada upaya lain untuk menghadirkan Nazaruddin.
Ada dua upaya hukum yang tersedia, melalui mekanisme ekstradisi dan mekanisme deportasi.Dua upaya hukum ini berbeda karena ekstradisi harus didahului tindakan aktif dari Indonesia kepada Singapura.Sementara, deportasi merupakan tindakan aktif berupa pemulangan ke negara asal yang dilakukan oleh Singapura atas warga asing yang ilegal.
Ekstradisi
Ada dua hal yang harus dilakukan untuk mengekstradisi. Pertama,atas permintaan KPK, Polri melakukan red notice ke Interpol.Atas dasar red noticeini Polri meminta kerja sama dengan kepolisian Singapura. Kedua, Menteri Hukum dan HAM, atas permintaan KPK, menerbitkan surat permohonan kepada pemerintah dan otoritas Singapura untuk melakukan ekstradisi atas Nazaruddin.
Untuk diketahui, berdasarkan Pasal44Undang-undangNomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, permintaan untuk melakukan ekstradisi berada di tangan Menteri Hukum dan HAM. Surat permohonan akan difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri dan perwakilan Indonesia di Singapura.
Proses ekstradisi diharapkan tidak akan menemui hambatan, mengingat Presiden kemungkinan telah mengadakan pembicaraan dengan petinggi Singapura. Meski demikian,ada hal-hal yang harus menjadi perhatian pemerintah. Proses ekstradisi sulit dilakukan bila alamat jelas dari Nazaruddin tidak diketahui.
Proses ekstradisi umumnya terjadi ketika seseorang yang diminta oleh suatu negara telah berada di tangan negara yang diminta. Padahal, Nazaruddin belum berada di tangan otoritas Singapura. Untuk mengetahui keberadaan Nazaruddin,pemerintah dapat meminta bantuan hukum (legal assistance) pada pemerintah dan otoritas Singapura.
Dasar permintaan ini adalah ASEAN Mutual Legal Assistance (MLA) atau Bantuan Hukum Timbal Balik ASEAN di mana Indonesia dan Singapura adalah negara anggota.Permintaan untuk bantuan hukum ini dilakukan atas surat dari Menteri Hukum dan HAM sebagai otoritas sentral (central authority) dari pihak Indonesia.
Namun, halangan terbesar pemanfaatan MLA adalah polisi Singapura bisa jadi enggan untuk membuang banyak energi dan uang atas permintaan ini, mengingat Nazaruddin bukanlah pelaku kejahatan yang dibutuhkan oleh otoritas Singapura. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dapat menyewa detektif swasta yang tidak terikat dengan yurisdiksi dan birokrasi.
Detektif ini tentu yang harus sudah akrab dengan kondisi Singapura. Tugas detektif swasta hanyalah mendapatkan informasi di mana Nazaruddin bertempat tinggal. Setelah informasi diperoleh dan disampaikan ke Pemerintah Indonesia maka informasi diteruskan ke Pemerintah dan otoritas Singapura.
Deportasi
Sementara, upaya menghadirkan Nazaruddin dengan deportasi dilakukan dengan cara penarikan atas paspor yang dimiliki. Direktorat Jenderal Imigrasi, atas permintaan KPK, dapat menarik paspor Nazaruddin dan menjadikan paspor tersebut tidak sah sebagai dokumen perjalanan ke luar negeri.
Berdasarkan Pasal 31 ayat (3) huruf (a) UU Keimigrasian 2011, seseorang yang disangka atas suatu kejahatan yang diancam dengan minimal lima tahun penjara dapat ditarik paspornya. Bila paspor Nazaruddin ditarik, berarti Nazaruddin tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah.
Atas dasar ini otoritas keimigrasian Singapura dapat menentukan Nazaruddin melanggar ketentuan keimigrasian setempat.Konsekuensinya adalah Nazaruddin akan dideportasi (dipulangkan) ke Indonesia sebagai negara asalnya. Bila ini dilakukan,pemerintah tidak perlu melalui birokrasi ekstradisi.
Perlawanan
Perlawanan bukannya tidak mungkin dilakukan oleh Nazaruddin atas ikhtiar pemerintah untuk menghadirkan dirinya di Indonesia. Nazaruddin telah mengancam akan mempermasalahkan sistem hukum di Indonesia yang tidak transparan, diskriminatif, dan penuh rekayasa di forum peradilan Singapura.
Ancaman ini tidak memiliki dasar yang kuat.Terlebih lagi Pemerintah Indonesia bisa menolak untuk hadir di pengadilan Singapura atas dasar kekebalan dan kedaulatan yang dimilikinya. Pemerintah juga bisa mengargumentasikan bahwa pengadilan Singapura tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa kebijakan pemerintah.
Namun, Nazaruddin dapat melakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum ketika dia telah ditangkap oleh otoritas Singapura dan hendak diserahkan ke Indonesia.Upaya hukum tersebut adalah mempermasalahkan tindakan otoritas Singapura yang hendak menyerahkan dirinya ke pengadilan Singapura.
Di sini yang menjadi pihak tergugat adalah pemerintah atau otoritas Singapura, bukan Pemerintah Indonesia. Tindakan serupa dilakukan oleh almarhum Hendra Rahardja ketika Pemerintah Australia hendak memenuhi permintaan Pemerintah Indonesia untuk melakukan ekstradisi.
Putusan pengadilan Australia ketika itu melarang Pemerintah Australia mengekstradisi Hendra Rahardja ke Indonesia. Belajar dari pengalaman Hendra Rahardja, pemerintah perlu mempersiapkan diri bila Nazaruddin melakukan upaya hukum di pengadilan Singapura.
Pemerintah harus dapat memberi amunisi dan argumentasi kepada otoritas Singapura yang menghadapi gugatan Nazaruddin di pengadilan Singapura.
HIKMAHANTO JUWANA Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 4 Juli 2011