Infantilisme dan Etika Jabatan Publik
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak menjamin kejujuran dan kedewasaan politik. Kisruh di DPR pada momentum lalu menunjukkan kebuntuan konsensus sekaligus kedangkalan berpikir anggota. Seperti anak kecil yang baru disapih, tingkah laku dan keinginan kebanyakan anggota DPR pun masih kekanak-kanakan.
Bayangkan saja, aspirasi dan problem masyarakat tak digodok dengan diskursus komunikatif yang bermanfaat dalam ruang-ruang sidang maupun dalam realitas keseharian. Alih-alih mereka menggunakan fasilitas negara untuk keperluan privat.
Faktanya, banyak anggota dewan yang berkunjung ke luar negeri dengan dalih studi banding atau menghadiri konferensi internasional, tapi ternyata tidak serius, hanya ekskursi dan jalan-jalan.
Berapa biaya yang dikeluarkan negara untuk keperluan itu? Tak secuil, bahkan sampai miliaran rupiah. Sungguh mubazir menyia-nyiakan uang rakyat. Pengeluaran yang boros dan tidak perlu itu sebetulnya menunjukkan ketidakdewasaan anggota DPR. Dengan kata lain, mereka belum akil balig dalam mengelola profesionalisme kerja seorang anggota DPR.
Terakhir, kita sangat kaget dengan dikeluarkan gaji ke-13 serta kenaikan tunjangan anggota dan pimpinan DPR hingga 80 persen lebih. Kenyataan yang terakhir itu menambah deretan irasionalitas berpikir anggota dewan. Hal tersebut menandakan bahwa jabatan anggota DPR hanya simbolik.
Mengapa irasional? Pertama, komposisi anggota dan pimpinan DPR ialah orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi. Hampir semua mendapat gelar sarjana hingga doktor, hanya sedikit anggota DPR yang berijazah SMU atau sederajat.
Logikanya, semakin tinggi pendidikan, mereka semakin berpikir panjang dan matang dalam mengambil keputusan yang dewasa dan strategis. Namun, realitas menunjukkan sebaliknya.
Hal itu perlu ditanyakan ulang, apakah gelar kesarjanaan sekadar gelar akademis yang tak profesional atau malah hanya gelar artifisial yang jauh dari pengorbanan menempuh pendidikan (baca: gelar komersial)?
Kedua, hampir sebagian anggaran APBN yang notabene sebagai sumber penghasilan DPR selain dari rakyat, juga berasal dari pinjaman luar negeri. Kenaikan gaji maupun bonus tunjangan yang besar itu hakikatnya merupakan pengeluaran yang tidak biasa.
Dalam arti, pemborosan biaya pengeluaran. Secara ekonomis, beban negara untuk membayar utang luar negeri semakin berat dan akhirnya dikembalikan juga kepada pundak rakyat. Semestinya, mereka sadar bahwa alokasi yang benar seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan pribadi.
Ketiga, masalah transparansi dan akuntabilitas publik. Setiap pengeluaran untuk keperluan anggota DPR seharusnya diaudit secara terang-terangan sebagai bukti penunaian tugas kenegaraan dengan baik.
Rakyat pun mengerti bahwa tugas DPR dengan memakai fasilitas dan biaya negara ternyata digunakan sesuai sasaran dan tujuan negara. Kenyataannya, pergi ke luar negeri yang biasa dilakukan banyak anggota DPR ialah faktor kebocoran anggaran yang tak terdeteksi publik. Masalah kredibilitas personal yang pergi ke luar negeri pun tak dikalkulasi dengan layak.
Keempat, gaji ke-13 dan kenaikan tunjangan ialah sebuah ironi yang paradoks. Wajar jika profesionalitas kerja dan disiplin serta pencapaian yang tinggi mendapat kenaikan gaji yang pantas.
Namun, tidak demikian dengan rata-rata kinerja anggota DPR. Yang didahulukan hanya hak sekunder, bukan kewajiban primer yang bersifat publik dan kenegaraan.
Yang lebih paradoks ialah kenaikan tunjangan itu terjadi di tengah krisis kebangsaan yang kritis. Mulai kasus polio, busung lapar, hingga berbilang model kemiskinan kaum papa yang butuh santunan dan pengurusan negara.
Anjangsana ke pusat krisis itu pun hanya berbilang jam, yang dilihat media seolah sebagai kepedulian, padahal tidak. Pasal 34 UUD 1945 yang memerintah mengurusi kemiskinan seolah dilupakan begitu saja.
Tampak ketiadaan philanthropy dan kewelasasihan anggota DPR pada nasib bangsa. Suara rakyat yang memilih tak berguna lagi. Mereka hakikatnya menunjukkan pengkhianatan justru dengan memamerkan pornografi kekuasaan yang vulgar.
Infantilisme tingkah laku kebanyakan anggota DPR itu seolah menggantungkan kapak guillotine ke leher rakyat kecil yang miskin. Di tengah keprihatinan bangsa, anggota dewan secara vulgar menunjukkan keglamoran yang melenakan.
Kedewasaan menyikapi permasalahan bangsa pun tak dibuktikan dengan komunikasi-komunikasi politik yang liberatif. Harusnya, diskursus lebih banyak melingkupi ruang pikiran anggota dewan untuk menyelenggarakan demokrasi deliberatif (ala Habermas) yang tidak membelenggu rakyat.
Menjadi pejabat publik yang terpilih semestinya memperjuangkan etika kekuasaan. Yakni, kekuasaan diselenggarakan untuk kemaslahatan umum. Perihal pengayaan pribadi harus disadari betul sebagai fatsun yang apatis terhadap konteks kebangsaan.
Pejabat publik seperti anggota DPR mestinya mengerti betul kewajiban dan keharusan memahami dan memperbaiki nasib rakyat kecil sebelum menerima hak. Etika pejabat publik ialah relasi kuasa yang demokratis sekaligus menggunakan kepekaan empati dan emansipatoris. Terakhir, penting merenungi filsafat Martin Buber berikut, I require a You, becoming I, I say You (Aku berkata Engkau, sambil menjadi Aku, Aku berkata Engkau)!
* Zacky Khairul Umam, ketua umum KSM Eka Prasetya UI Jakarta
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 14 Juli 2005