Ingat, Kejahatan Pajak
Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan polisi menegakkan hukum terhadap segala macam kejahatan, termasuk kejahatan pajak, korupsi, dan mengemplang utang yang ditanggung rakyat. ”Karena itu menyangkut rasa keadilan rakyat,” kata Presiden.
Demikian disampaikan Presiden Yudhoyono pada pembukaan Rapat Pimpinan Polri 2010 di Gedung Markas Besar Polri, Jakarta, Senin (8/2). Dalam acara itu, selain Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, juga hadir sejumlah menteri kabinet yang akan ikut memberikan pembekalan dalam Rapat Pimpinan Polri tersebut.
Presiden memerintahkan seluruh jajaran Polri untuk terus melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan transnasional, narkotika, terorisme, penyelundupan manusia, ataupun kejahatan lain.
”Jangan lupa pula yang namanya korupsi, kejahatan pajak, dan mengemplang utang yang ditanggung rakyat juga harus dituntaskan karena itu menyangkut rasa keadilan rakyat,” kata Presiden lagi.
Selain memerintahkan Polri agar melakukan konsolidasi dan meningkatkan kinerja, Presiden meminta Polri menjaga ketertiban dan keamanan di masyarakat. ”Cobalah datang ke seluruh Indonesia dan ketemu dengan rakyat, dengarkan apa yang mereka sukai dan inginkan. Mereka menginginkan situasi aman, tertib,” ujarnya.
”Mata hati kita harus peka untuk melihat setiap kasus yang ada. Bukan hanya jumlah yang dibedakan, tetapi juga latar belakang terjadinya kasus. Inilah yang membedakan antara penegakan hukum dan penegakan keadilan. Oleh sebab itu, cara penanganannya pun harus berbeda-beda,” kata Presiden.
Presiden kemudian mengambil contoh seorang pegawai negeri sipil golongan kecil yang karena khilaf mengaku mengambil uang negara sebesar Rp 1 juta. ”Setelah ditangani kepolisian ternyata uang tersebut diambil karena istrinya tengah sakit, dan dua anaknya juga sedang sakit, sehingga pegawai tersebut mengaku khilaf dan akhirnya mengambil uang tersebut,” ujarnya.
Akan tetapi, Presiden menambahkan, ketika Polri menangani kasus di mana ada seorang pejabat mengambil dana senilai Rp 10 miliar yang berasal dari APBN atau APBD, dan anggaran itu digunakan untuk pembangunan, tentu penanganannya pun harus berbeda.
Tumpul ke atas
Sementara itu, guru besar ilmu hukum Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Agnes Widanti, di Kota Semarang, Sabtu, mengungkapkan, saat ini semua orang yang memiliki kekuasaan dengan leluasa menerapkan kekuasaannya melalui jalur hukum. Karena itu, orang yang tidak memiliki kuasa apa pun, seperti orang miskin, dengan mudah dijerat.
Hal serupa dikemukakan oleh Direktur YLBHI-LBH Semarang Siti Rakhma Mary Herwati yang mengatakan bahwa hukum saat ini cenderung tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan mereka yang tidak memiliki uang.
Menurut Rakhma, harus ada unsur-unsur keadilan yang dirasakan masyarakat ketika berhadapan dengan hukum. Namun, pada kenyataannya, hukum dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin.
Dalam hukum progresif, seharusnya penegakan hukum tidak hanya berlaku normatif. (uti/har)
Sumber: Kompas, 9 Februari 2010