Inisiatif Penguatan atau Pelemahan KPK?
Monday, 15 February 2016 - 00:00
Terkait political corruption, penegakan hukum atas masalah suap dan korupsi akan selalu menjadi bahasan dan ukuran untuk menentukan serius tidaknya suatu lembaga negara maupun lembaga penegak hukum dalam menangani korupsi. Korupsi sebagai penyakit sosial dapat dipastikan menjadi parameter ke depan terkait kebij akan negara dalam mengambil langkah perbaikan negara. Kadangkala, langkah kebijakan negara menimbulkan gerak kontroversi hukum, karena itu kontroversi penegakan hukum di Indonesia menjadi unik dan menarik, apalagi kalau berkaitan dengan KPK.
Sistem demokrasi dan penegakan hukum perlu memperhatikan orientasi balanced of interest di antara tiga pilarnya, yaitu masyarakat, negara, dan penegak hukum yang eksistensi pilar itu memiliki fungsi checks and balances untuk memperoleh hasil akhir berupa penegakan hukum yang adil dan sejati.
Tujuan penegakan hukum bukan menimbulkan disintegrasi di antara lembaga penegak hukum dengan kelembagaan negara, tetapi bagaimana memaksimalkan penegakan hukum yang non diskriminatif. Selain itu independensi, gangguan, serangan dan intervensi terhadap institusi penegak hukum hadir begitu kuat. Pola intervensi pun dikemas dalam bentuk independensi semu, seperti penempatan lembaga penegak hukum yang menjadi sub-ordinasi kekuasaan, yang semua ini memberi arah, seolah ada justifikasi yang berlindung dibalik prinsip legalitas subordinasi. Bahkan lebih ekstremnya, dengan basis kewenangan pengawasannya, kadang legislatif memberikan tekanan terhadap pelaksanaan teknis penegakan hukum.
Dalam mensikapi proses dan pola intervensi hukum tersebut, baik berbentuk gangguan, serangan maupun persentuhan regulasi sebagai polemik menjadi kewajaran apabila masyarakat memiliki harapan berkelebihan searah dengan kewenangan progresif dari KPK tersebut, sehingga segala bentuk, cara dan aplikasi intervensi dapat dijadikan suatu bagian tatanan pelemahan pemberantasan korupsi.
Metode Pelemahan
Perlu diperhatikan beberapa pendekatan dan metode pelemahan kelembagaan dengan berlindung dibalik penguatan KPK, antara lain insiatif DPR bagi Revisi UU KPK.
Pertama, Revisi UU KPK atas inisiatif DPR yang non-transparantif dan tidak disclose akan mempengaruhi eksistensi KPK sebagai penegak hukum. Perlu dipahami bahwa keberadaan KPK adalah sebagai lembaga pemicu terhadap kondisi koruptif negara yang sudah sangat mengkhawatirkan, karena itu dibentuk KPK sebagai lembaga khusus dengan regulasi dan kewenangan yang bersifat khusus.
Kedua, UU KPK masih sangat validitas dan tetap dapat dipertahankan, dalam pengertian demikian, tidaklah diperlukan perubahan maupun revisi terhadap UU ini. Kewenangan khusus memang menjadi basis kelembagaan KPK, antara lain terkait Pasal 44 UU KPK, yang menempatkan KPK dalam tahap penyelidikan berwenang memperoleh bukti permulaan yang cukup dengan minimum 2 alat bukti, dan proses penyelidikan sebagai “front gate” inilah KPK dengan kewenangan penyadapan dapat mengembangkan 2 alat bukti tersebut yang ditindaklanjuti dengan operasi tangkap tangan (OTT). Kewenangan pada Pasal 44 UU KPK ini merupakan marwah dan roh kelembagan KPK.
Ketiga, penolakan revisi UU KPK dengan pemahaman bahwa perlu adanya harmonisasi dan konsistensi regulisasi perundangundangan terkait UU KPK terlebih dahulu. Suatu revisi atas UU KPK memerlukan pembahasan dengan pola sinkronisasi dan harmonisasi dengan Rancangan UU yang terkait, seperti Rancangan KUHP, KUHAP, Tipikor, perampasan aset (implementasi UU No.7 Thn 2006 tentang Ratifikasi UNCAC), pencucian uang dan lain-lain, karena itu usulan revisi UU KPK secara parsial ini justru menimbulkan stigma kelembagaan regulasi dari penginisiatif, yang tentunya justru terkesan adanya negative goal terhadap dampak eksistensi kelembagaan penegak hukum, termasuk KPK.
Keempat, adanya basis terkait empat permasalahan yang telah bergulir dari DPR, yaitu (a) Terkait penyadapan dan merekam pembicaraan (yang memerlukan izin pengadilan dan dewan pengawas) sangat reduksif normanya. Penyadaapan KPK berdasarkan suatu Legal by Regulated khusus yang tetap adanya suatu kewajiban evaluasi atas tindakan ini, dan tentunya berlainan dengan penyadapan yang didasarkan Legal by Court Order terhadap kondisi umum dengan kewajiban memerlukan izin pengadilan. Dibenarkan perbedaan sebagai lembaga khusus dan kewenangan khusus sebagai perluasan dan justifikasi dari asas “the clear and present danger” terhadap korupsi yang sangat mengkhawatirkan dan menjadi genggaman wewenang KPK. Dengan demikian, KPK sebagai lembaga yang memiliki karakter kekhususan, baik penanganan khusus maupun aturan kewenangan khusus, doktrin membenarkan bahwa penyadapan dan merekam pembicaraan didasarkan Legal by Regulated sebagai justifikasi dari pelaksanaan asas “the clear and present danger” yang tentunya tidak terikat pada izin pengadilan yang berlaku pada tindakan dan kondusi yang bersifat umum.
(b) Terkait SP3 hanyalah bersifat eksepsional dan limitatif, yaitu dalam hal tersangka/terdakwa saat proses pra-ajudikasi meninggal dunia atau adanya kondisi “brain damage permanent” yang telah dinyatakan oleh lembaga medis yang formal dan kredibel sebagai “unfit to stand trial”, sehingga tidak perlu dilimpahkan yang memerlukan penetapan pengadilan untuk tidak berlanjutnya kasus tersebut. Walaupun tetap menimbulkan polemik, memang sebaiknya dalam hal terjadi kondisi yang demikian, tidak diperlukan produk SP3, tetapi cukup keterangan administratif kelembagaan KPK untuk menutup kasus tersebut. Produk SP3 ataupun keterangan administratif ini pun tidak boleh dicampuri oleh Dewan Pengawas KPK yang sama sekali kewenangannya tidak bersifat teknis yuridis.
(c) Terkait dewan pengawas merupakan lembaga nonstruktural di luar KPK memang sebaiknya melakukan pengawasan terhadap perilaku, disiplin, dan etika Pimpinan KPK, dan sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap soal teknis yuridis kewenangan pimpinan KPK.
(d) Terkait kewenangan KPK untuk pengangkatan penyelidik, penyidik, sedangkan penuntut umum adalah tetap jaksa yang diangkat berasal dari kejaksaan agung. Namun demikian, sebagiamana dua kali polemik terdahulu (sekitar Juni dan Oktober 2015), sikap diferensiel DPR yang kemungkinan justru akan melemahkan kewenangankewenangan khusus kelembagaan KPK sangat tegas bermakna pada antara lain pada soal penyadapan yang harus seizin pengadilan dan atau dewan pengawas, penerbitan SP3 terkait alat bukti, pengangkatan/penghentian penyelidik KPK yang harus berasal dari institusi penegak hukum, penggeledahan dan penyitaan dengan bukti permulaan yang cukup pada tahap penyidikan yang sebenarnya berbasis KUHAP, kewajiban KPK membuat laporan kepada Polri dan Kejaksaan, apabila KPK menangani penyidikan terlebih dahulu, penuntutan diserahkan kepada Jaksa di Kejaksaan, asumsi durasi kelembagaan KPK hanya 12 tahun dan lain-lain, yang kesemua insiatif DPR akan menempatkan KPK sebagai Ordinary Commission saja, ekstremnya memangkas kewenangan extra ordinary KPK.
Kalau kelak yang terjadi sedemikian, ketentuan-ketentuan tersebut hanya di antara yang langsung maupun tidak langsung akan mereduksi atau tegasnya bukti “pelemahan” kewenangan KPK. Dalam hal “bola liar” DPR ini tetap bergulir, sebaiknya secara tegas Presiden sebagai pemegang konsistensi komando pemberantasan korupsi, menyatakan menarik pemerintah dari pembahasan revisi UU KPK tersebut.
Komitmen combat to corruption sebagai suatu basis yang sangat diperlukan negara dengan prinsip Due Process of Law, tetapi kendala dan hambatan potensial pemberantasan korupsi berupa eratnya intervensi kekuasaan dan political interest dalam proses penegakan hukum melalui re-regulasi berbentuk kemasan revisi UU KPK yang melemahkan KPK adalah sesuatu yang harus diabaikan, dan kesemua ini bertujuan menjaga kredibiltas pemerintah sebagai pemegang kebijakan negara dalam memberantas korupsi.
Penulis adalah Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Hukum Pidana/ Pengajar Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum
Tulisan ini disalin dari Suara Pembaruan, Jumat, 12 Februari 2016