Inkonsistensi MK Soal Angket KPK
Pada 8 Februari 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membacakan putusan permohonan uji materi yang dilakukan pegawai KPK yang mempersoalkan keabsahan hak angket pansus DPR. Dengan putusan nomor 36/PUU-XV/2017 ini, MK menyatakan hak angket KPK yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat adalah sah. MK menolak argumentasi pemohon bahwa pembentukan hak angket itu tak sesuai dengan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Publik terhenyak dengan putusan MK ini, bukan hanya karena diwarnai disentting opinion atau perbedaan pendapat empat dari sembilan hakim, juga karena putusan yang menempatkan KPK sebagai bagian dari eksekutif inkonsisten dengan putusan-putusan sebelumnya yang selalu menempatkan KPK sebagai bagian dari eksekutif.
Putusan yang dimaksud adalah putusan atas perkara nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011, yang intinya menegaskan, KPK merupakan lembaga independen yang bukan berada di dalam ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Di tengah krisis integritas yang saat ini melanda MK, tentu saja inkonsistensi putusan MK tersebut menimbulkan kecurigaan publik bahwa ada aroma barter kepentingan politik dalam putusan hak angket KPK. Seperti diketahui, Arief Hidayat baru saja mendapatkan sanksi kedua dari Dewan Etik Kehormatan MK karena dianggap melanggar Kode Etik Pedoman dan Perilaku Hakim (KEPPH), menemui pimpinan komisi hukum III DPR menjelang pencalonan kembali menjadi Ketua MK. Meskipun upaya lobby politik tidak terbukti, namun menghadiri undangan hanya berdasar telepon dianggap tidak lazim dalam institusi kenegaraan.
Saat ini gelombang tuntutan mundur semakin menguat, sebanyak 54 profesor dari sejumlah perguruan tinggi mendesak Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat untuk mundur dari jabatannya. Sebelumnya Ketua PP Muhammadiyah bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqodas, bersama akademisi hukum STHI Jentera, Bivitri Susanti, dan Direktur Madrasah Antikorupsi Pemuda Muhammadiyah juga menuntut hal serupa. Bahkan Almamater Arief Hidayat, Universitas Airlangga (UNAIR) sendiri telah menyusun petisi dan berencana mengirimkan desakan mundur karena kecewa terhadap Arief yang masih mengemban nama almamater UNAIR namun tidak bisa melaksanakan amanahnya dengan profesional.
Di tengah perlawanan balik koruptor terhadap pemberantasan korupsi, putusan MK ini tentu sangat merugikan KPK, karena setiap pelaksanaan tugas KPK bisa di angket oleh DPR, dan besar kemungkinan akan menghambat penanganan perkara hukum yang ditangani. Hal ini berkaca pada lahirnya pansus angket yang dilatarbelakangi permintaan bukti rekaman Miryam S Heryani kepada KPK dalam kasus KTP-Elektronik.
Namun demikian putusan MK soal hak angket DPR terhadap KPK merupakan fakta hukum, tentunya KPK harus siap menghadapi. Publik juga tidak boleh berdiam diri, mengawal setiap pelaksanaan hak angket untuk memastikan tidak mengganggu penegakan hukum kasus korupsi.
Selain itu, seluruh elemen masyarakat, organisasi masyarakat sipil, akademisi, ikatan profesi dan lainnya harus terus mendesak Ketua MK Arief Hidayat untuk mundur dari jabatannya sebagai bagian dari pertanggungjawaban etis menjaga marwah kehomatan MK. Kasus yang menimpa Ketua MK sebelumnya Akil Mochtar dan Patrialis Akbar telah membuat citra MK merosot hingga titik nadir, oleh karena itu, seharusnya Dewan Etik MK menerapkan standar tinggi bagi setiap hakimnya yang melanggar kehormatan institusi. (Snyt)