IPM, Sistem, dan Perubahan Paradigma
Tentu kita semua sudah maklum bahwa Jawa Barat memiliki visi ingin menjadi provinsi termaju di Indonesia pada tahun 2010. Untuk mengukur tercapai tidaknya visi tersebut dipergunakan ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 80. IPM diturunkan dari konsep pembangunan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari proses pembangunan, terdiri dari 3 komponen, yaitu kualitas pendidikan, kesehatan, dan daya beli.
Evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa pencapaian target tahunan selama ini masih kurang menggembirakan. Di antara penyebabnya disebutkan kondisi makro, perencanaan kurang terpadu, dan inefisiensi anggaran (lihat Renstra Jawa Barat 2003-2008). Itulah sebabnya kemudian diperlukan upaya-upaya akselerasi. Tulisan ini merupakan urun saran dalam rangka mengoptimalkan upaya tersebut dengan menggunakan pendekatan sistemik. Karena, daripada membuang energi untuk mencari kambing hitam, lebih baik kita mengarahkan energi tersebut secara lebih konstruktif. Sebagaimana dikatakan Peter Senge dalam bukunya yang terkenal The Fifth Discipline (1990), Visi tanpa pemikiran sistemik hanya akan berakhir sebagai lukisan indah tentang masa depan, tanpa gambaran konkret mengenai langkah-langkah apa yang harus ditempuh untuk menuju ke sana.
Tentunya pencapaian visi Jawa Barat tidak menjadi beban pemerintah saja, tapi seluruh komponen masyarakat. Minimal ada 3 sektor yang terlibat dalam sistem ini, yaitu pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat umum. Tulisan ini lebih difokuskan pada sektor pemerintahan, karena sebagai pihak yang menentukan arah ke mana Jawa Barat akan dibawa, pemerintah jugalah yang seharusnya menjadi lokomotif untuk menghela gerbong ke arah itu. Kenyataannya kita semua mafhum bahwa sektor pemerintahan adalah yang paling tidak efisien. Ditinjau dari sudut pandang sistemik, adagium bahwa tujuan besar itu membutuhkan dana yang besar bukan saja tidak berdasar, tapi juga menyesatkan. Sebab, untuk memperbaiki suatu sistem yang telah mengalami malfungsi secara kronis, yang dibutuhkan bukanlah dana yang besar melainkan kemauan yang besar.
Cara mengintervensi sistem
Dewasa ini semakin disadari bahwa untuk mengatasi permasalahan yang kompleks atau kronis, pendekatan parsial saja tidak cukup. Diperlukan pendekatan menyeluruh dengan memandang masalah sebagai satu sistem yang saling berkaitan. Pendekatan semacam ini disebut pemikiran sistemik (terjemahan bebas dari systems thinking), pendekatan holistik, atau pemikiran komprehensif. Pendekatan ini berbeda dengan bentuk analisis tradisional, yang berfokus pada memisahkan apa yang dipelajari menjadi bagian-bagian kecil (kata analisis memiliki arti dasar memecahkan menjadi bagian pembentuknya). Sedangkan pemikiran sistemik berfokus pada hubungan saling terkait antara unsur-unsur pembentuk sistem, yang menghasilkan perilaku sistem. Karakter inilah yang membuatnya efektif dalam memecahkan masalah yang menyangkut sistem kompleks, masalah yang terus berulang, dan masalah yang terjadi akibat tidak efektifnya koordinasi antara unsur-unsur terkait.
Dalam kerangka pemikiran sistem, dikenali bahwa tindakan kecil yang betul-betul terfokus dapat menghasilkan peningkatan yang signifikan jika diterapkan pada tempat yang tepat. Prinsip ini disebut leverage (tuas atau pengungkit, bahasa Indonesia). Meadows (Leverage: Places To Intervene in A System, 1999) menguraikan minimal ada 12 titik di mana kita bisa mengintervensi sistem agar berfungsi secara lebih baik. Berikut kita akan membicarakan titik-titik tersebut menurut urutan efektivitas yang semakin meningkat. Beberapa penjelasan teknis yang menyangkut pengubahan sistem fisik tidak diuraikan di sini. Selain karena keterbatasan ruang, dapat dilihat bahwa perubahan pada aspek fisik sistem ternyata efektivitasnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan perubahan pada tataran ide atau cara pandang.
Mengubah nilai konstanta atau parameter
Menambah ruas jalan, menaikkan subsidi, meningkatkan daya tampung sekolah, adalah contoh-contoh tindakan untuk mengubah parameter sistem. Berlawanan dengan pendapat umum, pengubahan parameter merupakan titik leverage yang memiliki efektivitas terkecil. Walaupun paling mudah dikenali, sesungguhnya secara jangka panjang dampaknya paling kecil dan jarang sekali terjadi perubahan perilaku akibat pengubahan parameter. Suatu sistem yang selalu berubah tidak akan menjadi stabil, sistem yang lamban juga tidak akan menjadi dinamis. Sayangnya, kebanyakan projek pemerintah berkisar di seputar pengubahan parameter ini.
Namun, efektivitas tindakan pengubahan parameter ini masih bisa ditingkatkan. Di antaranya dengan selalu mengingat bahwa sebab dan akibat tidak terjadi secara linier, dalam arti satu sebab dapat mengakibatkan berbagai hal yang bahkan dapat memengaruhi kembali sebab awal secara sirkuler (dikenal dengan istilah umpan balik atau feedback). Contohnya, sebuah model yang sudah diterapkan di beberapa negara memperlihatkan jika kita membatasi akses pendidikan pada kaum wanita, maka angka harapan hidup akan menurun. Hal itu terjadi ternyata karena kaum wanitalah yang paling banyak terjun di pelayanan kesehatan, nutrisi keluarga, dan higiene lingkungan. Membatasi akses wanita terhadap pendidikan akan mengurangi kemampuan mereka menangani masalah-masalah tersebut, yang akhirnya membawa kepada menurunnya kondisi kesehatan secara umum.
Perlu diingat pula bahwa dunia nyata juga sering memiliki perilaku yang berlawanan dengan intuisi (counter-intuitive). Misalnya dalam sektor pendidikan, sebuah model lain (Mashayekhi, 2000) menunjukkan bahwa penambahan daya tampung sekolah ternyata dampaknya kecil terhadap peningkatan rata-rata lama sekolah dibandingkan faktor daya beli masyarakat terhadap pendidikan dan rata-rata pendidikan orang tua. Daya beli masyarakat terhadap pendidikan adalah dua sisi mata uang, dapat ditingkatkan dengan cara peningkatan pendapatan, atau dengan cara membuat pendidikan menjadi murah. Rata-rata pendidikan orang tua berpengaruh secara signifikan kaerna secara logika maupun kenyataan, setiap orang tua akan berharap anak-anaknya mengenyam pendidikan lebih daripada mereka sendiri. Meningkatkan taraf pendidikan orang tua, misalnya dengan cara menggratiskan sekolah-sekolah persamaan, akan berdampak pada rata-rata pendidikan masyarakat secara keseluruhan.
Sedikit catatan, sebaiknya kita bersikap lebih kritis terhadap parameter ini. Sebab, sering angka-angka itu diusung ke sana kemari tanpa mempertanyakan kesahihan dan keterandalan data, asumsi-asumsi yang mendasari, bahkan metode analisisnya pun sering lemah. Padahal sebagaimana dinyatakan dalam laporan UNDP 2001, kualitas penghitungan IPM hanya akan sebagus kualitas data yang dimasukkan ke dalam penghitungannya. Yang lebih penting lagi adalah pemahaman mengenai apa yang diwakili oleh angka-angka itu, dan apa tindakan kita sesuai dengan pemahaman tersebut.
Menciptakan aliran informasi
Untuk menggambarkan efektifnya aliran informasi, ilustrasi yang sering digunakan adalah dua rumah yang menempatkan meteran listrik di tempat berbeda. Yang pertama menempatkannya di belakang rumah, sedangkan rumah kedua di tempat di mana semua penghuni setiap saat bisa melihat berapa jumlah pemakaian listrik dan berapa jumlah yang harus dibayar. Tanpa menambah alat apa pun, pemakaian listrik di rumah kedua berkurang 40%. Penyebabnya adalah kaerna ada suatu lingkaran sebab akibat baru ke mana informasi sebelumnya tidak mengalir. Adanya informasi menimbulkan umpan balik yang menyebabkan orang mengkaji kembali tindakannya. Jadi, ini adalah titik yang berdaya ubah tinggi, lebih mudah dan lebih murah daripada perubahan infrastruktur. Mengumumkan secara berkala perusahaan-perusahaan pencemar lingkungan, atau instansi berkinerja terbaik, atau desa paling bersih, berarti menciptakan aliran informasi yang akan mengakibatkan perubahan perilaku pada orang-orang di dalam sistem.
Dalam konteks pencapaian IPM, apakah pernah dicek seberapa jauh informasi yang dipahami masyarakat mengenai hal ini? Mengapa targetnya harus 80, mengapa tidak 90 atau 78,3 misalnya? Bahkan, mengapa digunakan IPM, bukan ukuran lain misalnya IKM atau IPJ? Bagi masyarakat awam, mungkin pertanyaannya lebih mendasar, apa sih IPM itu?
Agar efektif, penyampaian informasi harus memperhatikan sedikitnya dua hal yaitu frekuensi cukup sering dan bahasa yang digunakan cukup sederhana dan mudah dipahami. Kurang lebih seperti Mat Solar menyampaikan mengenai subsidi BBM di iklan televisi. Rasanya tidak akan ada pihak yang berkeberatan, baik masyarakat desa atau kota, pengusaha ataupun kuli, jika Jawa Barat menjadi provisi termaju di Indonesia. Asal jelas dan realistis saja kontribusi yang diharapkan dari masing-masing kelompok. Dan tentunya pesan mengenai kejelasan peran ini harus sampai kepada mereka. Peran media dalam hal ini dapat sangat membantu.
Aturan-aturan dalam sistem
Aturan-aturan yang berlaku dalam suatu sistem mendefinisikan ruang lingkup, menentukan batas-batas dan derajat kebebasan sistem. Aturan ini bisa tertulis seperti undang-undang atau kebijakan, bisa juga tidak tertulis misalnya konsensus atau kesepakatan. Misalnya dilarang merokok di tempat umum, laporan harus tepat waktu, urusan-urusan publik jangan diselesaikan secara bisik-bisik. Jika diterapkan secara konsistem, penerapan aturan ini sangat efektif dan merupakan titik leverage yang lebih tinggi. Banyak yang bisa digali dari sisi ini untuk memperbaiki kinerja, karena banyak ketidakefisienan pemerintah berasal dari tidak konsistenannya aturan dengan pelaksanaan.
Sebagaimana informasi, agar efektif aturan-aturan ini harus membumi dan mudah dipahami sehingga pengawasan pelaksanaannya bisa dilakukan oleh semua orang di dalam sistem. Misalnya pembatasan koefisien dasar bangunan (KDB) untuk melindungi daerah konservasi Bandung Utara, adalah aturan yang tidak membumi dan hanya dipahami segelintir orang. Tidak heran hasilnya pun kontra-produktif dan malah menjadi pembenaran untuk terus membangun di kawasan ini. Jika ingin memahami malfungsi yang terjadi dalam suatu sistem, perhatikan saja siapa yang membuat peraturan dan siapa yang berkuasa terhadapnya.
Kemampuan sistem untuk beradaptasi
Sistem yang memiliki kapasitas untuk mengorganisasikan diri, berubah, dan menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan, akan berfungsi secara lebih efektif. Termasuk kapasitas ini adalah sikap kreatif dan inovatif dalam memecahkan masalah, yang merupakan keahlian penting dalam menghadapi zaman yang selalu berubah seperti sekarang. Agar kapasitas ini berkembang, diperlukan derajat kebebasan tertentu. Suasana tertekan ketika kita harus tersenyum dengan cara yang sama, atau jika kita begitu takut untuk melakukan kesalahan sehingga lebih baik tidak melakukan apapun, bukan atmosfer yang kondusif bagi tumbuhnya kemampuan ini. Sebetulnya dalam melakukan kesalahan itu terkandung proses pembelajaran, sama halnya dengan anak kecil yang belajar berjalan pasti pernah jatuh.
Hal di atas perlu menjadi pertimbangan terutama pada kegiatan-kegiatan yang terkait proses pemberdayaan, misalnya bantuan infrastruktur atau bantuan modal untuk masyarakat. Para pakar pemberdayaan masyarakat (Korten, 1984; Chambers, 1987; Cernea, 1988) menyimpulkan bahwa pada program pemberdayaan masyarakat yang berhasil, konsep awal dengan pelaksanaannya sangat jauh berbeda. Ini artinya masyarakat diberi kesempatan untuk melakukan kesalahan dalam mendefinisikan kebutuhan mereka, mencari cara untuk memenuhinya, untuk kemudian terus menerus dilakukan perbaikan. Jadi kesalahan itu bukan kelemahan melainkan sumber informasi yang penting bagi kemajuan. Pada proses iteratif inilah terletak inti dari proses pemberdayaan.
Adanya tujuan bersama
Adanya tujuan bersama merupakan titik dengan efektivitas lebih tinggi daripada seluruh bagian sistem yang disebutkan terdahulu. Jika kita semua sepakat dengan target pencapaian IPM, maka tujuan bersama ini seharusnya dapat menghilangkan ego-ego sektoral yang seringkali ditandai oleh sikap defensif. Kita belum bisa bersikap konstruktif sebelum mundur selangkah dan mulai memandang kepada tujuan bersama ini. Dari sana barulah kita bisa bicara mengenai sinergitas.
Sinergitas adalah ketika tindakan kita sebagai suatu kesatuan lebih jauh lebih efektif dibandingkan ketika sendiri-sendiri. Jadi bukan sekadar bekerja bersama-sama, karena tanpa kejelasan peran, bekerja bersama-sama malah bisa menjadi ricuh. Karena unsur yang terlibat dalam sistem Jawa Barat ini cukup banyak, maka perlu ada grand design yang mengatur peran masing-masing dalam pencapaian tujuan. Dengan demikian, kontribusi tidak diberikan secara serampangan, namun semua pihak berusaha memberikan yang terbaik.
Paradigma yang dianut oleh sistem
Paradigma adalah suatu kerangka berpikir, asumsi-asumsi yang dianut dalam sistem. Sejumlah asumsi membentuk suatu paradigma, karenanya mempertanyakan atau menguji kembali asumsi-asumsi yang fundamental dapat membawa kepada perubahan paradigma. Misalnya pandangan bahwa pembangunan itu selalu menyangkut hal-hal fisik. Jadi, membangun mal atau bandara itu pembangunan, sedangkan mendidik masyarakat soal sampah itu bukan pembangunan. Atau, bahwa pemerintah itu bapak dan rakyat itu anak. Jadi kalau masyarakat butuh sesuatu atau ingin perlindungan, tinggal meminta kepada sang bapak (kadang-kadang sang bapak ini juga punya bos, yaitu para pemodal). Untuk menciptakan masyarakat yang mandiri, mungkin ketergantungan seperti ini perlu dipertanyakan kembali.
Paradigma memang cukup sulit untuk diubah, tapi jika terjadi sangat efektif dan dapat mengubah sistem secara mendasar. Ketika buku Limits to Growth (Meadows et al, 1972) menyatakan bahwa kelangkaan sumberdaya alam akan terjadi bila dunia terus memacu pertumbuhan ekonomi, sedikit sekali orang yang percaya. Dengan munculnya bukti-bukti bahwa kondisi lingkungan memang terus menurun (lubang ozon, efek rumah kaca, kepunahan spesies, dan lain-lain), barulah orang berpikir secara berbeda. Sekarang, kita semua mengenal apa yang disebut paradigma pembangunan berkelanjutan. Dengan perubahan paradigma, jangankan target pencapaian IPM, penyelesaian masalah-masalah kronis seperti korupsi atau isu lingkungan misalnya, dapat tercapai secara lebih realistis. Yang dibutuhkan hanyalah memandang segala sesuatu dengan cara yang berbeda.
Kemampuan untuk mengubah paradigma
Yang merupakan titik leverage dengan efektivitas tertinggi adalah adanya orang-orang yang memiliki kapasitas untuk mengubah paradigma masyarakat. Ini adalah orang-orang yang, setelah mengalami proses transendentalisasi diri, mampu tidak terhanyut dalam paradigma dominan yang dianut masyarakat, bahkan mampu mengubahnya menjadi lebih baik. Jika hal ini terjadi pada para pejabat publik, wakil rakyat, akademisi, tokoh masyarakat, dan siapapun yang berada pada posisi untuk mempengaruhi persepsi orang banyak, kombinasi yang dihasilkan bisa sangat konstruktif. Menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi termaju adalah tujuan besar yang membutuhkan kontribusi orang-orang besar, yang tentunya banyak terdapat di Jawa Barat ini. Sesungguhnyalah, cara paling efektif dalam mengintervensi suatu sistem adalah jika terjadi perubahan paradigma pada mereka yang menentukan arah kebijakan.(Dewi Yuliani, Alumnus Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB)
Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 12 Maret 2005