Irawady Bongkar Kasus di KY; Menguat, Penolakan terhadap Jaksa dan Polisi

Tersangka kasus penyuapan, Irawady Joenoes, mengaku tidak bersedia menjadi korban seorang diri. Ia berniat akan membongkar penyimpangan yang terjadi di tubuh Komisi Yudisial atau KY, di antaranya menyangkut uang sewa gedung KY dan kendaraan dinas.

Pernyataan itu dilontarkan Irawady ketika akan menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (2/10). Irawady pekan lalu tertangkap tangan tengah menerima suap dari Direktur PT Persada Sembada Freddy Santoso senilai Rp 600 juta dan 30.000 dollar AS.

Namun, pernyataan itu langsung dibantah Sekretaris Jenderal KY Muzayyin Mahbub yang mengatakan, semua penggunaan uang di KY sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Muzayyin juga membantah keras tudingan Irawady mengenai ketidakberesan dalam penyewaan gedung KY dan kendaraan dinas.

Transaksi tidak melalui KY. Pembayaran uang sewa gedung langsung dari Departemen Keuangan, dipindahbukukan dari slot KY ke PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, ujar Muzayyin di kantornya.

Menurut Irawady, penyewaan kendaraan dinas dilakukan tanpa tender dan dengan harga yang berlebihan. Ia menduga ada keterlibatan dari pegawai kesekjenan dan unsur komisioner dalam kasus tersebut. Atas latar belakang kesemrawutan itulah Ketua KY mengeluarkan surat tugas, ujar Irawady.

Bantah memo
Irawady juga membantah adanya memo tentang permintaan kenaikan harga tanah. Menurut dia, bunyi memo tersebut telah diubah atau ada bagian yang ditambahkan. Menurut dia, memo yang dikirimkan oleh dia hanya menyatakan persetujuan tentang hasil rapat pleno penentuan lokasi tanah yang akan dibeli KY.

Berdasarkan penelusuran Kompas, Irawady tercatat tiga kali mengirimkan memo terkait pengadaan tanah untuk gedung baru KY. Memo pertama dikirimkan 23 Agustus 2007 yang menyebutkan Irawady menyerahkan kepada sekjen mengenai lokasi yang akan dipilih. Memo kedua dikirim 28 Agustus 2007 karena Irawady tidak mengikuti rapat pleno penentuan lokasi. Disebutkan, istrinya sedang sakit. Dalam memo ini, Irawady menuliskan tentang keinginannya agar harga lebih sedikit. Ia juga meminta agar KY cepat menangani proses pembelian tanah. KY harus cepat, nanti hangus KY keburu bubar, tulis Irawady.

Pascapenangkapan Irawady, berbagai kalangan menolak masuknya jaksa dan polisi ke komisi-komisi independen. Penolakan kali ini diungkapkan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP).

KPP menyarankan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencermati calon komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari unsur kepolisian dan kejaksaan. Selain UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang KPK tidak mengamanatkan itu, mereka juga menilai unsur kepolisian dan kejaksaan belum terbebas dari kultur koruptif.

Menurut Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch, Selasa, selama ini KPK belum tampak mengungkap kasus korupsi dalam tubuh kepolisian dan kejaksaan, padahal ada pimpinan KPK yang berasal dari dua institusi itu.

Kami sudah mengirim surat kepada Presiden untuk menyeleksi lagi calon-calon yang telah diajukan panitia seleksi, kata Adnan. (ANA/VIN/JOS)

Sumber: Kompas, 3 Oktober 2007
--------------
ICW Tolak Unsur Jaksa-Polisi di KPK
Belajar dari Kasus Irawady Joenoes

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus steril dari konflik kepentingan. Kehadiran mantan polisi dan jaksa sebagai kandidat pimpinan KPK dinilai mencederai integritas lembaga itu. Apalagi, rekam jejak mereka tidak putih bersih dan kinerja mereka memberantas korupsi saat menjabat juga tidak mencolok.

Penilaian itu datang dari Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) di Jakarta kemarin. KPP terdiri atas beberapa unsur, antara lain, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan LBH Jakarta. Kami menolak kehadiran unsur polisi dan jaksa dalam proses pemilihan pimpinan KPK. Apalagi tiga nama (dari unsur polisi-jaksa) itu juga paling banyak disorot masyarakat. Presiden harus berani menolak mereka, kata Adnan Topo Husodo dari ICW.

Dari 10 nama yang diserahkan Panitia Seleksi KPK kepada Presiden SBY saat ini memang terdapat tiga nama dari unsur mantan polisi dan jaksa. Mereka adalah Bibit Samad Rianto (kepolisian) serta Antasari Azhar dan Marwan Effendy (unsur kejaksaan). Kini masih ada tahap selanjutnya, yaitu presiden menyerahkan 10 nama tersebut ke Komisi III DPR untuk melakukan fit and proper test untuk dipilih jadi lima nama.

Kita harus belajar dari kasus Irawady Joenoes (anggota Komisi Yudisial) yang ditangkap KPK, lanjut Danang Widoyoko dari ICW. Irawady yang kini mendekam di tahanan Bareskrim Polri itu sebelumnya menjabat sebagai kepala Kejaksaan Negeri Pandeglang, Bandung, Bojonegoro, dan kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah. Polisi dan jaksa itu hidup di kultur yang koruptif, lanjut Adnan.

Lagi pula, Adnan menambahkan, fakta menunjukkan jika selama ini KPK gagal mengungkap kasus-kasus kolusi di tubuh kepolisian dan kejaksaan. Ini antara lain karena KPK yang sekarang juga terdapat unsur polisi dan jaksa. Semangat korps mereka kuat, imbuhnya. Kini sudah waktunya meniadakan unsur polisi dan jaksa dalam. (naz)

Sumber: Jawa Pos, 3 Oktober 2007
------------
Entengkan Jurus Irawady
Busyro Siap Diperiksa, Merasa Tak Terbeban

Menanggapi ancaman serangan balik Irawady Joenoes, Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas menanggapi dengan tenang. Dia siap menghadapi laporan anggota KY yang dinonaktifkan karena menjadi tersangka kasus suap itu.

Silakan saja. Saya tidak punya beban hukum, ujar Busyro di sela-sela acara buka puasa bersama di gedung KY kemarin. Mantan dekan Fakultas Hukum UII tersebut mengatakan, mestinya Irawady punya bukti awal kuat untuk memerkarakan balik KY.

Busyro yang berpeci hitam itu mengakui surat tugas nomor 37/GAS/P.KY/IX/2007 tertanggal 12 September tersebut otentik. Namun, dokumen yang menjadi amunisi bagi Irawady untuk membela diri itu, kata dia, tak ada hubungannya dengan pengadaan tanah.

Bukan hanya dokumen itu. Ahli hukum asal Jogja itu menegaskan, memo yang disampaikan Irawady kepada Sekjen KY Muzayyin Mahbub juga otentik. Memo itu kabarnya berisi persetujuannya atas tanah Kramat dan permintaan menaikkan harga tanah milik Direktur PT Persada Sembada Freddy Santoso.

Kalau memang diragukan otentifikasinya, tentu KPK akan melakukan proses pembuktian. Semua pihak tinggal menunggu saja, ujar Busyro.

Secara terpisah, Irawady terus mengeluarkan jurus bantahan. Dia menyangkal telah mengirimkan nota berisi permintaan menaikkan harga (mark up) tanah gedung baru KY di Jalan Kramat Raya No 57 Jakarta.

Saya tidak ikut rapat hari itu, Pak Mustafa juga. Semua putusan pleno saya setuju saja, ujar Irawady sebelum diperiksa di gedung KPK Kuningan kemarin.

Bukan kali ini saja dia membantah. Ketika masih di Mabes Polri saat hendak diperiksa di KPK, Irawady juga membantah mengenal Freddy. Saya tidak kenal sama sekali. Baru bertemu sekali dua kali. Salah kalau ada yang bilang dia (Freddy, Red) orangnya Irawady, kata mantan Kajari Bojonegoro itu. Bahkan, dia melanjutkan, Demi Allah saya tidak kenal dia.

Saat menggeledahnya pada Jumat (28/9) lalu, KPK juga menyita memo yang ditulis tangan Irawady di selembar kertas block note berlogo KY. Memo yang disita dari ruang Sekjen KY itu dikabarkan berisi permintaan Irawady agar harga tanah milik Freddy Santoso dinaikkan dari harga yang disepakati, yakni Rp 46,991 miliar. Tulisan tangan tersebut berukuran kecil-kecil.

Soal surat tugas nomor 37, Irawady punya versi tersendiri. Menurut dia, banyak penyimpangan di KY, seperti pengadaan kendaraan, pengadaan barang dengan harga berlebihan, sewa kantor dengan harga berlebihan. (ein/naz)

Sumber: Jawa Pos, 3 Oktober 2007
------------

Seleksi Calon Pimpinan KPK, Jaksa & Polisi Harus Diperhatikan

Presiden SBY telah menerima 10 nama calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari 10 nama itu, 3 orang dinilai tidak layak.

Penilaian itu disampaikan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) yang terdiri dari beberapa LSM seperti ICW, KRHN, dan LBH Jakarta.

Calon yang dimaksud adalah Marwan Effendi (Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejagung), Antasari Azhar (Direktur Penuntutan Umum Kejagung), dan Bibit Samad Rianto (Rektor Universitas Bhayangkara Jaya). Pada ketiganya terdapat unsur jaksa dan polisi.

Belajar dari kasus Irawady Joenoes, anggota Komisi Yudisial yang ditangkap KPK karena isu suap. Ini bisa saja terjadi pada KPK kalau unsur jasa dan polisi tidak diperhatikan, ujar Adnan Topan Husodo dari ICW.

Hal itu disampaikan dia dalam diskusi di Rumah Makan Pulau Dua, Senayan, Jakarta, Selasa (2/10/2007).

KPP mencium, Pansel KPK menetapkan kuota untuk unsur jaksa dan polisi. Bila ada kuota, maka sejelek apapun track record-nya seseorang bisa saja lolos.

UU 30/2002 tentang KPK tidak pernah mewajibkan adanya unsur jaksa dan polisi sebagai pimpinan KPK. UU hanya menyebutkan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut. Apapun latar belakangnya, bila telah menjadi pimpinan KPK, maka penyidik dan penuntut menjadi kewenangan atributif.

Ditambahkan Adnan, Antasari Azhar dipertanyakan kredibilitas dan integritasnya karena pernah menawarkan sejumlah dollar kepada jurnalis.

KPP pun pada 28 September mengirim surat kepada SBY agar melakukan seleksi ulang atas kandidat pimpinan KPK (jaksa dan polisi) yang bermasalah. Apalagi kandidat dari jaksa dan polisi banyak disorot masyarakat, baik terkait dugaan pemerasan, menerima suap, penyuapan pada jurnalis, plagiatisme, hingga menerima sesuatu dari para pihak terkait jabatannya.

SBY harus proaktif guna menyelamatkan KPK dari usaha-usaha pembusukan, tegas Adnan. (nvt/ndr-Nurvita Indarini - detikcom)

Sumber: Detik.com, 02/10/2007 23:27 WIB

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan