Ironi Skor Terbaik Uji Kelayakan

Tertangkapnya Irawady Joenoes (anggota Komisi Yudisial) oleh KPK ketika menerima suap dalam pembelian tanah untuk kantor Komisi Yudisial (KY) adalah hal yang sangat tragis.

Bukankah KY adalah lembaga yang dibentuk untuk mengawasi kinerja para hakim? Kalau yang mengawasi saja melakukan tindakan senista itu, bagaimana mereka yang diawasi?

Bukankah Irawady Joenoes termasuk anggota KY yang paling vokal menyuarakan pembersihan Mahkamah Agung dari para mafia peradilan? Kalau yang paling berteriak saja melakukan tindakan senista itu, lantas bagaimana yang dengan mereka yang membisu?

Bukankah nilai skor Irawady Joenoes adalah terbaik kedua saat uji kelayakan di DPR? Satu tingkat di bawah Busro Muqoddas, ketua KY yang sekarang. Pertanyaannya, yang terbaik saja melakukan tindakan senista itu, bagaimana dengan mereka yang nilai skornya di bawah Irawady Joenoes?

Karena itu, kita semua harus curiga. Jangan-jangan KY dibentuk sekadar untuk menunjukkan bahwa Indonesia sedang melakukan reformasi atau perbaikan hukum. Padahal, senyatanya tidak demikian.

Kalau kecurigaan ini benar (mudahan-mudahan salah), lantas kepada siapa rakyat berharap atas tegaknya hukum di negeri ini? Kepada presiden atau partai politik jelas sulit? Sebab, anggota KY dipilih oleh partai politik lewat anggotanya yang duduk di DPR dan dipilih serta dilantik oleh presiden juga.

Kalau pilihan anggota presiden dan DPR benar dan berdasarkan pertimbangan demi tegaknya hukum, orang seperti Irawady Joenoes jelas tidak akan terpilih menjadi anggota KY.

Bahkan, kepada KPK yang hari ini menangkap anggota KY pun kita harus ragu. Sebab, kata sebagian orang, KPK telah melakukan tebang pilih dalam penegakan hukum. Artinya, siapa yang pro penguasa berarti aman. Siapa yang tidak pro pemerintah berarti penjarah. Tujuannya, untuk dijadikan korban dalam membangun citra positif pemerintah yang berkuasa.

Pertanyaan berikutnya, mengapa DPR dan presiden tidak memilih orang yang tepat? Bukankah di negeri ini orang yang memiliki pandangan brilian dalam bidang hukum dan integritas moral sangat banyak dan sangat kasat mata. Sangat kecil kemungkinan terpilihnya orang seperti Irawady Joenoes ini karena faktor kesalahan yang tidak disengaja.

Saya yakin ini dilakukan secara sadar dan disengaja. Sebab, ketika hukum di sebuah negara tidak tegak, yang diuntungkan adalah pemerintah dan partai yang korup saat ini. Mengapa? Hanya dalam kondisi hukum yang lembeklah mereka bisa mencuri banyak kekayaan negara. Lewat jalan apa pun.

Hal ini cukup beralasan karena pemerintah dan partai politik butuh biaya politik tinggi untuk mendanai aktivitas politiknya, sementara mereka tidak memiliki sumber dana legal yang cukup besar.

Kondisi itu harus segera diakhiri sekarang juga. Sebab, hanya dalam situasi hukum yang tegak, keadilan dan kemakmuran masyarakat Indonesia tercapai dengan sempurna. Tidak usah menunggu momentum pergantian pemimpin di negeri ini. Sebab, pemilu terbukti bukan jaminan melahirkan pemimpin bersih dan berkarakter kuat dan berkomitmen tinggi dalam menegakkan hukum.

Hal yang perlu dilakukan berbagai elemen masyarakat, termasuk media masa dan LSM, ialah menekan pemerintah agar segera memperbaiki hukum di Indonesia. Meski, kondisi hati mereka tidak percaya. Tapi, apa boleh buat. Itulah salah satu jalan, karena di tangan pemerintahlah hukum dan eksekutor dibuat, dipilih, dan dijalankan.

Salah satu hal mendesak saat ini adalah meminta pemerintah segera membubarkan KY. Setelah itu dibentuk KY baru dengan sistem rekrutmen baru.

Sistem yang dipakai untuk memilih anggota KY yang kemarin sangat lemah dan membuka peluang KKN. Dalam proses seleksi, misalnya, pansel punya potensi bermain mata dengan calon anggota. Mereka yang punya uang atau memiliki kedekatan ideologis atau kedekatan yang lain dengan pansel berpeluang lolos.

Dalam proses ini pemerintah juga berpeluang mengintervensi lewat tangan gaib untuk meloloskan orang yang bisa atau mau menjadi operatornya di kemudian hari.

Tahap uji kelayakan di DPR pun berpotensi memunculkan adanya KKN. Siapa yang punya uang, kedekatan ideologis atau kedekatan lain, dan bersedia menjadi operator partai politik akan dipilih. Maka logika siapa punya siapa, siapa pegang siapalah yang berlaku.

Sistem rekrutmen baru yang penulis maksud adalah pemerintah (presiden) menunjuk atau memilih orang yang hari ini memiliki integritas moral, kapabilitas, dan prestasi hukum yang luar biasa. Misalnya, Teten Masduki, Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung Nasution, dan yang lain. Presiden cukup memilih calon anggota KY sesuai kebutuhan. Presiden tidak memberi kesempatan anggota DPR untuk memiliki pilihan, melainkan mengujinya saja. Ini untuk menghindari KKN di DPR.

Dengan sistem pemilihan model sebelumnya, terbuka lebar peluang saling menyalahkan antara pemerintah, pansel, dan DPR ketika muncul keburukan di kemudian hari. DPR bisa menyalakan pemerintah karena hanya mengajukan orang-orang seperti Irawady Joenoes.

Pemerintah pun bisa menyalahkan DPR karena memilih orang yang paling lemah di antara pilihan yang ada. Garis tanggung jawab menjadi tidak jelas. Dengan sistem baru ini, garis tanggung jawab menjadi jelas. Yaitu, ada pada pemerintah secara tunggal.

Dengan begitu, pemerintah tidak bisa main-main dalam memilih orang. Jika pilihan presiden salah, citra buruk akan mendera presiden secara pribadi. Ini sangat berbahaya pada era politik market seperti sekarang ini. Citra buruk akan membuat presiden dan partainya jatuh.

Agus Subekti, mahasiswa Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya juga aktivis HMI.

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 3 Oktober 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan