Istana Kebohongan DPD
Saat ini Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diam-diam masih melanjutkan pembangunan gedung mewah di 33 provinsi dengan anggaran yang cukup besar yaitu Rp.823 miliar. Sayangnya rencana pembagunan tersebut luput dari pengawasan publik.
Berbeda saat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana membangun gedung nan megah gelombang penolakan sangat gencar, sebaliknyaDPD agak sedikit beruntung belum mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena perpolitikan di tingkat nasional masih terfokus pada isu Nazaruddin dan juga karena pembangunan gedung DPD dilakukan menyebar di seluruh daerah. Jangkauan ini kemudian yang membuat pembangunan gedung DPD seakan-akan melenggang tanpa pengawasan.
Sebagai perbandingan, sama saat DPR akan membangun gedung aroma “tidak sedap” juga berhembus mengiringi rencana pembangunan gedung DPD. Dimana besaran anggaran untuk membangun gedung dinilai dapat memboroskan uang negara, disisi lain terdapat potensi mark up dalam pembangunan. Tetapi juga ada sedikit perbedaan, yaitu proses di DPR lebih transparan daripada DPD yang sangat tertutup.
Misalnya, untuk jumlah keterbutuhan dan alokasi anggaran sama sekali tidak disampaikan ke publik. Ataupun bentuk desain gedung masing-masing daerah sama sekali tidak kita ketahui oleh publik. Bahkan dalam proses tender kontraktor perenacana, siapa yang mendaftar, siapa pemenangnya tidak secara terbuka disampaikan di publik. Seharusnya sesuai KIP 14 tahun 2008 minimal harus disampaikan melalui website, seperti yang pernah DPR lakukan.
Lebih jauh dari itu, dugaan bahwa ada upaya mencari keuntungan dibalik proses pembangunan sangat kentara. Setidaknya ada tiga alasan yang dapat menguatkan. Walaupun agak teknis, tetepi ini penting disampaikan kepada publik. Pertama, bahwa dalam hasil kajian ICW seharusnya untuk membangun gedung DPD di daerah hanya butuh sekitar 9,5 miliar, tidak sampai 30 miliar per daerah seperti yang dianggarkan oleh DPD.
Selain itu gedung DPD tidak perlu berlantai empat, cukup satu lantai dengan kesederhanaan. Sehingga untuk membangun gedung di 33 provinsi hanya butuh sekitar Rp. 305, 757 miliar bukan Rp. 823 miliar seperti yang direncanakan. Bahkan temuan ICW ini juga mengkonfirmasi hasil kajian Kementrian Pekerjaan Umum tanggal 19 Oktober 2010 bahwa untuk membangun gedung DPD di daerah hanya butuh anggaran Rp. 398,8 miliar.
Kedua, dalam pagu definitif DPD RI tahun anggaran 2011, sama sekali tidak tertera angka mencapai 823 Miliar rupiah. Yang ada hanya Rp 298,8 miliar , itupun hanya untuk pembagunan 24 gedung saja, karena sembilan gedung yang lain hanya dianggarkan renovasi. Pertanyaanya dari mana 823 miliar ituitu ? Berdasarkan kebutuhan atau memang hasil “loby” elit DPD. Setelah di konfirmasi dalam websiteDPD, ternyata kekurangan dana dari Rp. 298,8 miliar ke Rp. 823 miliar tersebut akan diperjuangkan dalam APBN perubahan 2011.
Jadi, selain mark up, diduga juga terdapat mafia anggaran yang akan “memperjuangkan” Rp. 823 miliar dalam APBN-P kepada Badan Anggaran DPR. Padahal sebenarnya jika mengacu pada rekomendasi Kementrian PU kan tidak sampai angka dua kali lipat, hanya Rp. 398,8 miliar. Berarti DPD juga melanggar rekomendasi Kementrian PU. Dengan demikian juga terjawab bahwa sebenarnya angka Rp. 823 miliar tersebut atas rekomendasi kontraktor, bukan Kementrian PU.
Ketiga, pembangunan terkesan sangat dipaksakan. Ketua dan Sekjen DPD berargumentasi bahwa pembangunan gedung sesuai dengan pasal 227 ayat 4 undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD bahwa DPD harus memiliki kantor disetiap ibu kota provinsi. Argumentasi seperti itu sebenarnya keliru, penafsiran “penyediaan” disimpulkan oleh elit DPD menjadi pembangunan gedung. Padahal seharusnya tidak demikian, bisa dalam bentuk sewa atau pinjam pada pemerintah daerah. Seperti yang selama ini lakukan.
Lebih jauh lagi, sangat disayangkan dibeberapa daerah sudah dilakukan peletakan batu pertama. Misalnya di Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah peletakan batu pertama. Padahal proses tender dan anggaran pembangunan gedung belum final. Jadi, pembangunan gedung DPD di 33 provinsi tersebut sangat dipaksakan.
Lebih jauh dari itu, jika dinilai dari keterbutuhan dan funsgional, gedung tersebut belum dibutuhkan. Misalnya, kantor tersebut sebenarnya tidak akan secara permanen ditempati oleh anggota DPD. Anggota DPD hanya akan berkantor di provinsi dalam sesi kunjungan kerja ke daerah, yang jumlah kedatangannya bisa dihitung dengan jari. Belum lagi penambahan staf dan biaya perawatan gedung yang akan sangat membengkak. Lebih baik anggaran digunakan untuk program-program yang prioritas seperti pengentasan kemiskinan, pembangunan desa dan infrastuktur.
Salah Prioritas
Sebenarnya prioritas agenda kegiatan DPD bukan pada pembangunan kantor di daerah. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diseelesaikan. Fungsi dan kewenangan DPD masih lemah sebenanrnya. Harus diperjuangkan dalam rencana amandemen kelima UUD 1945, dimana kesetaraan kewenangan DPD dengan DPR seharusnya sama. Sehingga ada proses check and balances antara legislatif dan parlemen.
Disisi lain, masyarakat di daerah juga masih belum merasakan keberadaan DPD. Lepas dari keterbatasan fungsi dan wewenang, sebenarnya jika mengacu pada sistem ketatanegaraan kita maka setidaknya DPD mempunyai empat peran ; pertama, DPD sebagai “penyambung lidah rakyat yang berada di daerah. Kedua, sebagai penyeimbang DPR agar fungsi check and balances di parlemen juga berjalan. Ketiga, membantu meringankan beban dan tugas yang juga diemban DPR. Misalnya juga ikut dalam membahas RUU. Keempat, mengambil inisiatif dalam masalah kebangsaan, baik lokal maupun nasional.
Lebih jauh lagi, DPD juga diharapkan oleh masyarakat dapat menyuarakan kepentingan daerah secara independen. Tidak seperti DPR yang lebih menyuarakan kepentingan partai politik. Sehingga bias dalam menyarakan rakyat. Nah, dalam fungsi ini sebenarnya DPD bisa lebih “bersuara keras” untuk mengawal RUU yang berhubungan dengan pembangunan daerah. Ataupun lantang terhadap kebijakan pemerintah yang tidak adil bagi daerah.
Berkaca dari peran-peran tersebut, prestasi DPD masih jauh dari harapan. Dalam catatan ICW saja misalnya, dalam fungsi pengawasan hanya dua UU yang diawasi DPD. Dalam legislasi belum satupun yang masuk prolegnas, hanya dua usulan ke DPR. Selain itu hanya 8 pandangan dan pendapat yang selama ini sudah dijalankan. Dalam hal anggaran juga lemah, dimana belum satupun pertimbangan yang dapat disampaikan. Misalnya dalam alokasi Dana Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPID), peran DPD nihil sehingga tidak mampu mengawasi adanya dugaan mafia anggaran di dalamnya. Padahal alokasi tersebut langsung bersentuhan dengan daerah.
Jadi, saat ini, dengan rencana ngotot membangunan gedung DPD, citra anggota DPD dikhawatirkan akan semakin menurun dan akibatnya sama dengan DPR. Penolakan pembangunan gedung tersebut harusnya dianggap ultimatum pertama dan koreksi fungsi DPD. DPDseharusnyalebih peka, sensitif, dan tidak lupa akan nasib konstituennya dan lebih mengutamakan kepentingan daerah.
Selain dari itu, masih ada harapan baru untuk tetap menjaga citra dan integritas DPD. Harapan itu sebenarnya ada ditangan anggota sendiri. Dalam rencana pembagunan gedung ini sebenanrnya beberapa anggota yang masih idealis tidak hanya menolak tetapi juga memberikan masukan kepada pimpinan DPD. Dalam saranya, kelompok ini merekomendasikan pimpinan DPD untuk membatalkan pembangunan gedung di daerah dan lebih mengutamakan perjuangan amandemen kelima UUD 1945 untuk penguatan DPD. Kelompok ini khawatir, dengan membangun gedung yang mewah akan berdampak pada kurangnya dukungan publik dalam memperjuangkan hak dan kewenangan DPD.
Akhirnya, selain DPD harus peka terhadap publik dan prioritas kerja masyarakat juga harus mengawasi rencana pembangunan gedung secara masif. Masyarakat dituntut “adil” dalam arti kenapa saat dulu gelombang penolakan sangat gencar saat pembangunan DPR, kenapa saat pembangunan DPD justru melemah? Padahal potensi korupsinya juga cukup tinggi. Oleh karena itu masyarakat harus bersatu kembali menolak dan membatalkan dengan merobohkan “istana” DPD yang penuh kebohongan itu.
Apung Widadi, Anggota Badan Pekerja ICW, Divisi Korupsi Politik
Tulisan ini disalin dari Kompas, 29 Juli 2011