Izin Presiden Jadi Kendala; Pemberantasan Korupsi Harus Luar Biasa

Keharusan izin dari presiden untuk memeriksa pejabat daerah merupakan kendala bagi Kejaksaan untuk memeriksa pejabat yang diduga terlibat kasus korupsi.

Izin itu juga mempersempit gerak Kejaksaan mengusut dugaan korupsi.

Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman mengemukakan hal itu, Selasa (19/6) dalam jumpa pers di sela-sela penyelenggaraan diskusi terbuka yang digelar Bank Dunia di Jakarta.

Kemas Yahya mengemukakan, ketentuan yang mengharuskan adanya izin dari presiden untuk memeriksa pejabat di daerah itu harus dipatuhi.

Menurut dia, Kejaksaan tidak dapat banyak berbuat karena batasan ketentuan itu, kecuali jika ketentuan tersebut diubah. Namun, hingga saat ini ketentuan itu belum diubah atau diamandemen.

Di sisi lain ia mengklaim, selama ini Kejaksaan tidak mengalami kendala lain dalam upaya pemberantasan korupsi. Tidak ada kendala. Pola penanganan korupsi, yaitu target lima kasus korupsi untuk kejaksaan tinggi, tiga kasus untuk kejaksaan negeri, dan satu kasus untuk cabang kejaksaan negeri, berjalan dengan baik, semua tercapai, tuturnya.

Bahkan, ia menyebutkan, gencarnya upaya penanganan kasus korupsi membuat banyak orang takut menjadi pemimpin proyek. Korupsi, tuturnya, harus ditangani dengan tindakan luar biasa.

Disebutkan dalam sambutan tertulis Jaksa Agung Hendarman Supandji, pada tahun 2004 Kejaksaan sendiri telah menyidik 529 perkara korupsi. Kemudian berturut-turut pada tahun 2005 mereka menyidik 463 perkara dan pada tahun 2006 mereka menyidik 788 perkara. Hingga bulan April 2007 ini kami tengah menyidik 133 perkara korupsi, kata Kemas lagi.

Dalam sambutan itu juga disebutkan, pada tahun 2004, kasus korupsi yang sampai pada tahap penuntutan mencapai 186 perkara. Pada tahun 2005 sebanyak 700 perkara dan pada tahun 2006 sebanyak 615 kasus diselesaikan. Hingga bulan April 2007 tercatat 123 kasus korupsi telah sampai pada tahap penuntutan.

Banyak persoalan

Menyikapi pernyataan Kemas Yahya yang mengatakan pola kerja penanganan kasus korupsi telah berjalan dengan baik, dosen Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Saldi Isra mengatakan, Kejaksaan sebenarnya masih dihadapkan pada banyak persoalan.

Penanganan kasus korupsi tidak sebatas penerapan pola itu. Penanganan korupsi juga berkaitan dengan bagaimana mengeksekusi perkara yang telah diputuskan oleh pengadilan. Dan dalam catatan saya, sebagian kasus yang telah diputus itu hingga saat ini belum dieksekusi, tutur Saldi.

Baginya, persoalan itu merupakan keanehan. Ini ada kejahatan dan telah diputuskan oleh pengadilan, tetapi tidak dieksekusi, tambah Saldi.

Ia menyebutkan, dalam kasus korupsi yang terjadi dalam tubuh DPRD Sumatera Barat tahun 2002, hingga saat ini hanya terdakwa dari kalangan legislatif yang telah dieksekusi. Sebaliknya terdakwa dari kalangan eksekutif hingga saat ini belum tersentuh.

Selain itu, dalam diskusi tersebut, Saldi juga menyoroti kolusi antara eksekutif dan legislatif dalam persoalan pembuatan kebijakan strategis seperti laporan pertanggungjawaban, pemilihan kepala daerah, dan penyusunan anggaran. Dia menyatakan, jika kasus itu terbongkar, kedua lembaga tersebut cenderung saling melindungi. Kejaksaan, menurut dia, harus jeli. (JOS)

Sumber: Kompas, 20 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan