Izin Usaha Pebisnis Peluang Suap Tinggi
Korupsi di Indonesia sudah sistemik dan menggurita, ibarat kanker menggerogoti hampir semua lini kehidupan. Sulit membayangkan dari mana harus mulai membersihkan 'penyakit' yang sudah berakar ini.
Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) baru-baru ini di 21 kota/kabupaten menyebutkan, Jakarta sebagai kota terkorup disusul kemudian oleh Surabaya dan Medan. Responden survei ini meliputi kalangan pebisnis lokal dan multinasional yang berinteraksi dengan 21 sektor layanan umum.
Diharapkan survei ini dapat memberikan semacam shock therapy bagi seluruh elemen bangsa, sekaligus menyadarkan kita semua dari tidur panjang yang melenakan.
Cap sebagai negara terkorup dari 133 negara (hasil survei TII sebelumnya) bukanlah sebuah prestasi. Meski hasil survei TII disebut sebagai 'persepsi', hasil survei ini seakan memperkuat legitimasi bahwa negara kita adalah memang sarang koruptor.
Survei berbentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2004 ini dilakukan oleh TII bekerja sama dengan The Governance Access Learning Network (TIRI), didukung Delegasi Komisi Eropa di Indonesia dan Kedutaan Besar Denmark (DANIDA).
Survei dilaksanakan oleh Marketing Research Indonesia (MRI) berlangsung pada Oktober-Desember 2004 dengan total responden berjumlah 1.305 orang ini, untuk sektor layanan umum dibagi menjadi tiga jenis yaitu di tingkat pemerintah pusat, daerah, dan legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan partai politik.
Para pebisnis yang diwawancarai menyebutkan mereka kerap dimintai suap untuk layanan yang diberikan. Tetapi ada juga pengusaha yang menawarkan suap untuk memperoleh kemudahan. Jumlah suap yang diminta atau diberikan berkisar Rp375 ribu sampai dengan Rp150 juta setiap transaksi.
Gambaran korupnya Kota Jakarta disajikan lewat data-data berikut. Pada tingkat pemda, pengurusan izin usaha menjadi tempat peluang korupsi paling tinggi, yakni sebesar Rp1,8 miliar. Urutan berikutnya adalah penempatan tenaga kerja di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Perputaran uang haram di sektor ini mencapai Rp1,2 miliar.
Sementara pada tingkat pemerintah pusat, Bea Cukai dinilai sebagai institusi yang paling korup. Jumlah suap yang dibayar pebisnis atau diminta aparat Bea Cukai sebesar Rp27 miliar. Ditjen Pajak, urusan pajak, dan fiskal merupakan institusi terkorup kedua dengan nilai transaksi suap sebesar Rp18,5 miliar. Dalam temuan TII tersebut responden mengakui terlibat suap menyuap dengan TNI dan Polri. Jumlah suap yang dibayarkan per interaksi masing-masing sebesar Rp2,1 juta dan Rp2,7 juta, sedangkan jumlah keseluruhannya untuk lingkungan TNI dan Polri masing-masing mencapai Rp1,13 miliar dan Rp4,7 miliar.
Jika wajah aparat keamanan kita carut-marut karena dugaan korupsi maka wajah pengadilan pun tidak jauh berbeda. Dalam lampiran hasil survei TII tersebut pelaku bisnis merogoh kocek untuk aparat pengadilan (pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung), kejaksaan, maupun kehakiman sebesar Rp567 juta.
Wajah buram parlemen baik DPRD maupun partai politik juga tidak luput dari urusan suap. Dugaan money politics mencuat pada pemilu lalu. Dugaan itu juga berasal dari TII yang bersama ICW menemukan praktik politik uang saat kampanye. Pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dilansir TII perputaran uang panas di lingkungan DPRD dan partai politik dalam berinteraksi dengan pebisnis masing-masing sebesar Rp10 miliar dan Rp76 juta.
Proyek-proyek luar negeri yang didanai oleh Bank Dunia dan lembaga asing lainnya, meskipun jumlah proyek tidak banyak tapi pebisnis yang menangani proyek membayar cukup besar, masing-masing sebesar Rp23,6 juta dan Rp22,7 juta.
Pakar Kriminolog UI, Adrianus Meliala berpendapat karena hasil survei TII merupakan 'persepsi' maka lebih bersifat subjektif bahkan bisa mengandung bias. ''Persepsi DKI sebagai kota paling korup bisa menurun (berubah) sesuai dengan waktu. Jadi, ini (IPK) bukan alat ukur yang baik apalagi untuk dijadikan dasar pengambilan kebijakan,'' kata pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini.
Masih menurut Adrianus, korupsi sifatnya lintas batas teritorial, maksudnya hal yang sama juga bisa ditemukan di kota-kota lain. ''Jika disebutkan Jakarta merupakan kota paling korup, itu karena landasannya adalah pendekatan teritorial. Di Jakarta ada banyak orang, kegiatan ekonomi maka tak heran jika kemudian lebih disorot. Lebih mengherankan lagi jika di kota kecil ditemukan kasus korupsi yang besar. Intinya hasil penelitian TII perlu diperdebatkan, tukas kriminolog UI itu. (Lng/M-5)
Sumber:Media Indonesia, 27 Februari 2005