Jajak Pendapat Kompas; Belenggu Hukum dalam Ruang Gelap Politik
Perseteruan di antara institusi penegakan hukum di negeri ini mempertontonkan kisah suram pemberantasan korupsi di negeri ini. Aparat yang seharusnya bersatu melawan korupsi malah sibuk bersilang sengketa. Dalam situasi semacam ini, mayoritas publik semakin bersikap pesimistis pada upaya pemberantasan korupsi.
Kesimpulan semacam inilah yang tergambar dalam jajak pendapat Kompas kali ini. Pupusnya kepercayaan publik terhadap berbagai upaya pemberantasan korupsi ini tergambar dari begitu besarnya proporsi responden yang menilai ketidakkonsistenan upaya penegakan hukum yang berlangsung selama ini.
Sedikitnya hal itu disuarakan oleh 70 persen dari 887 responden yang berhasil terjaring dalam jajak pendapat ini.
Di sisi lain, enam dari setiap sepuluh responden yang terjaring menyuarakan ketidakpercayaan mereka terhadap sistem pengadilan di negeri ini dalam menangani kasus-kasus korupsi.
Bahkan, mayoritas responden (73 persen) menganggap tidak ada satu lembaga pun di Indonesia, termasuk lembaga penegakan hukum, yang bersih dari korupsi.
Semakin terpuruknya persepsi publik terhadap upaya penegakan hukum ini tidak lepas dari kemelut yang berlangsung secara terbuka di antara institusi penegakan hukum di negeri ini.
Perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga kepolisian saat ini, yang diikuti oleh penahanan dua pimpinan KPK (nonaktif), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, seolah menjadi titik klimaks problematika pemberantasan korupsi di negeri ini.
Pelemahan institusi
Penggalan persoalan bermula saat Ketua KPK Antasari Azhar ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Persoalan ini melahirkan perdebatan terhadap efektivitas penyidikan dan penuntutan lembaga ini.
Di sisi lain, diperdebatkan pula aturan terkait penyadapan telepon yang kerap dilakukan KPK. Departemen Hukum dan HAM pun menggodok Peraturan Pemerintah soal Penyadapan.
Tidak berhenti sampai di sini, drama perseteruan terjadi antara KPK dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Gesekan dua lembaga penegak hukum itu semakin terasa saat keduanya seolah saling beradu memeriksa pejabat di tiap-tiap lembaga.
KPK yang memeriksa kasus Bank Century, yang diduga melibatkan pejabat Polri, seperti disambut ”serangan balik” dengan ditetapkannya dua pejabat KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang.
Semakin kisruh dengan beredarnya transkrip percakapan yang diduga mengaitkan beberapa nama pejabat kepolisian dan kejaksaan, semakin memperumit kemelut.
Hingga pada babak penahanan dua pejabat KPK, respons negatif sontak disuarakan publik. Sedikitnya 52,8 persen responden lebih percaya bahwa penangkapan dua pejabat KPK itu dilatarbelakangi oleh upaya merusak citra KPK.
Tampaknya pemberitaan yang memaparkan salinan percakapan telepon itu, sepekan terakhir, menguatkan keyakinan publik bahwa ada upaya rekayasa dari kelompok tertentu untuk melemahkan lembaga KPK.
Lebih jauh lagi, di tengah kontroversi yang berkembang mengenai eksistensi KPK, beberapa kelompok masyarakat mempertanyakan, akan dibawa ke mana KPK pada periode pemerintahan mendatang.
Tudingan upaya pelemahan yang ditunjukkan dengan anggapan ada rekayasa dan kriminalisasi terhadap KPK ini dibantah langsung oleh Presiden Yudhoyono saat memberikan keterangan kepada pers, Jumat (30/10). ”Kalau di negeri ini ada upaya untuk membubarkan KPK, saya akan berdiri di depan untuk melawan itu,” ujar Yudhoyono.
Peran KPK
Konflik antarlembaga yang dipertontonkan saat ini, bagaimanapun, mempertaruhkan arah dan eksistensi KPK pada masa depan. Tidak heran jika Presiden Yudhoyono pun tampak mempertegas sikap politiknya terhadap proses pemberantasan korupsi pada periode kedua pemerintahannya.
Tidak bisa dimungkiri, selama periode pemerintahan sebelumnya, salah satu faktor utama yang berhasil mengangkat citra pemerintahan Yudhoyono di bidang hukum adalah pemberantasan korupsi.
Saat itu, tingkat kepuasan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya. Tingkat kepuasan publik terhadap upaya penegakan korupsi mencapai angka 75 persen pada bulan ke-54 pemerintahan lalu.
Tingkat kepuasan yang tinggi tersebut tidak lepas dari berbagai upaya pembongkaran kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Menjadi sesuatu yang wajar jika kala itu kepuasan publik terhadap kinerja KPK selalu berada di atas tingkat kepuasan mereka terhadap lembaga-lembaga penegak hukum yang lainnya (lihat grafis). Dengan demikian, sesungguhnya KPK memiliki peran atas keberhasilan dalam menjaga citra pemerintahan secara keseluruhan.
Harapan publik
Dalam pidato sambutan saat membuka acara National Summit, Kamis, Presiden Yudhoyono menyatakan bahwa pemerintahannya akan memfokuskan pada langkah pencegahan korupsi. ”Bagi saya, yang terpenting adalah mencegah, jangan menjebak,” kata Yudhoyono.
Pernyataan yang sama sempat diungkapkan Presiden saat memimpin rapat koordinasi pemberantasan korupsi, Juli lalu. Presiden saat itu menegaskan, pencegahan korupsi bisa dilakukan dengan reformasi birokrasi menuju tata kelola pemerintahan yang baik, sosialisasi, dan pendidikan. ”Jangan menjebak,” ujar Presiden saat itu.
Pernyataan-pernyataan Presiden tampaknya menjadi penegasan atas sikap politik pemerintahan terkait pemberantasan korupsi pada masa mendatang, yang bisa jadi ditafsirkan akan berbeda dengan apa yang menjadi pola pendekatan yang selama ini diandalkan KPK.
Apa pun yang akan dijadikan pola strategi pendekatan pemberantasan korupsi, sesungguhnya bagian terbesar publik masih menaruh harapan besar pada pemerintahan yang sedang berkuasa saat ini.
Namun, di tengah merosotnya kepercayaan publik terhadap upaya penegakan hukum ataupun institusi penegakan hukum, yang terjadi saat ini menjadi lebih ideal jika berbagai upaya penegakan hukum tidak tersamarkan dalam ruang gelap politik. (LITBANG KOMPAS) Oleh SUWARDIMAN
Sumber: Kompas, 2 November 2009