Jajak Pendapat "Kompas"; Citra Buruk pada Profesi Hukum
Sejumlah kasus korupsi yang mencuat belakangan ini menguakkan adanya kemelut hukum yang parah. Masihkah profesi di bidang hukum menarik minat orang untuk menggelutinya?
Jika mengacu pendapat ahli teori hukum dari Belanda, AM Hol dan MA Loth (2001), seorang profesional hukum yang ideal adalah mereka yang mampu menjadi penghubung antardua pihak yang bertikai. Selain itu, dia juga harus dapat menjadi jembatan antara pihak-pihak itu dan masyarakat serta dapat menimbang beragam kepentingan, norma, serta nilai yang ada di dalam masyarakat.
Dalam rumusan tentang profesional hukum yang ideal itu, sangat terasa nuansa untuk mengedepankan kepentingan pihak lain di luar sosok profesi hukum itu. Pengacara, hakim, jaksa, juga polisi, hanya jembatan atau penengah antarpihak yang berkonflik untuk menghasilkan sebuah solusi terbaik. Namun, jika rumusan itu dikaitkan dengan kasus yang terjadi di Indonesia, terasa sulit menemukan sisi profesional hukum yang ideal di negeri ini.
Nama baik kalangan profesional di bidang hukum sedang diuji. Terkuaknya sejumlah skandal yang melibatkan profesional hukum pada pemberitaan media, terlepas apakah terbukti bersalah atau tidak, mengindikasikan ketidakberesan dalam sistem organisasi kelembagaan hukum.
Belum lama ini media mengabarkan penangkapan seorang pengacara yang diduga menyuap hakim yang sedang menangani kasus kliennya. Sebelumnya, sejumlah oknum polisi diduga melakukan rekayasa terhadap seseorang yang menjadi tersangka kasus narkoba. Seperti belum lengkap, seorang jaksa ditengarai ”bermain-main” dalam kasus suap yang melibatkan uang miliaran rupiah milik seorang mantan pegawai pajak.
Kasus yang menjerat profesional di bidang hukum itu mencoreng dunia peradilan Indonesia. Profesi yang seharusnya bertugas memberikan keadilan seluruh golongan disalahgunakan untuk memenuhi ambisi dan kepentingan pribadi.
Ketidakpuasan dan stempel negatif pun dicapkan pada profesional hukum. Gambaran ini terekam dalam hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, pekan lalu. Secara merata, sebagian besar responden menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja penegak hukum dalam menegakkan supremasi hukum. Penilaian publik terhadap hakim, jaksa, pengacara, dan polisi juga kurang menggembirakan. Sekitar tujuh dari 10 responden menilai, keempat profesi itu memiliki citra yang buruk.
Publik pantas merasa kecewa terhadap kemampuan negeri ini dalam memberikan keadilan dan kepastian hukum yang sesungguhnya. Penggawa hukum adalah sosok yang berkewajiban menjunjung tinggi keadilan. Namun, terhadap kekuasaan dan uang, ternyata hukum dapat dipermainkan.
Perkara yang melibatkan oknum aparat di pengadilan yang terbukti mempermainkan hukum terus bermunculan. Kode etik profesi terkalahkan dengan kepentingan dan kebutuhan pribadi. Mafia hukum diduga melibatkan dari pejabat tinggi hingga karyawan rendahan. Berkaca dari kejadian itu, jelas jika profesi aparat hukum rawan godaan, uang, dan kekuasaan.
Munculnya kasus mafia peradilan membuat masyarakat skeptis terhadap aparat hukum, siapa lagi yang bisa memberikan perlindungan? Kesangsian ini tetap muncul meski sudah ada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk Presiden pada Desember 2009 dengan tugas menemukan dan mengikis praktik mafia hukum.
Terhadap budaya korupsi yang merambah hingga ke dunia peradilan ini, sempat timbul wacana lustrasi, yakni menghapuskan satu generasi yang sekarang duduk di birokrasi. Wacana yang pernah digagas pada awal reformasi ini bermaksud untuk membangun satu sistem birokrasi baru yang dipegang oleh generasi baru.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang kembali mengusulkan hal ini, beberapa waktu lalu, beralasan, pembenahan birokrasi setelah reformasi tak pernah berhasil meski sudah empat kali negeri ini berganti pemimpin. Meski terasa revolusioner, gagasan ini masuk akal, mengingat masalah kronis yang menerpa dunia peradilan Indonesia. Namun, siapkah generasi muda membangun budaya hukum yang bersih?
Minat publik
Apabila masyarakat terus memiliki antipati terhadap profesi hukum, negeri ini terancam kekurangan tenaga profesional berkualitas di bidang ini. Padahal, melihat pada statistik mahasiswa selama bertahun-tahun dari Kementerian Pendidikan Nasional, bidang studi hukum adalah pilihan keempat favorit pendaftar setelah ekonomi, teknik, dan kedokteran. Bahkan, pada 2007/2008, posisinya naik menjadi favorit ketiga, menggusur kedokteran, dengan meraih sekitar 139.000 pendaftar atau 8 persen dari seluruh pendaftar ke perguruan tinggi. Namun, dengan beragam kasus yang menyelimuti dunia hukum Indonesia, masih tertarikkah publik mempelajari atau berkarier di bidang hukum?
Sembilan dari 10 responden yang ditanyakan cita-citanya mengaku tidak pernah berkeinginan menjadi hakim, jaksa, pengacara, atau polisi. Bahkan, jika saat ini dibuka kesempatan atau lowongan untuk berkarier sebagai aparat hukum, lebih dari 80 persen responden menyatakan tak berminat mencoba.
Selain lebih minat di bidang lain (47,8 persen), alasan mereka segan masuk dalam profesi ini karena citra buruk yang melekat pada pekerjaan ini (23,2 persen). Terbukanya peluang besar untuk berbuat salah, ketakutan menggadaikan kejujuran, dan terjebak untuk melakukan hal yang buruk membuat publik merasa pekerjaan yang satu ini harus dihindari.
Memang bukan mustahil hal yang ditakutkan itu terjadi. Ingat kasus jaksa Ester Thanak dan Dara Veranita yang menggelapkan barang bukti obat terlarang. Juga oknum polisi yang merekayasa kasus kepemilikan narkoba. Jika aparat yang seharusnya menegakkan keadilan justru bertindak kriminal, sinisme masyarakat tak terelakkan.
Terlepas dari ketertarikan publik untuk menggeluti ilmu atau profesi yang berkaitan dengan hukum, nada optimisme masih terdengar. Sekitar 80 persen responden menyatakan keyakinannya bisa menjauhkan diri dari segala hal berbau korupsi apabila mereka menjalani karier itu. Dua pertiga responden juga yakin mampu memperjuangkan rasa keadilan untuk masyarakat. (Litbang Kompas - Oleh PALUPI PANCA ASTUTI)
Sumber: Kompas, 26 April 2010