Jakarta Kota Terkorup; Mahkamah Konstitusi Lumpuhkan Pemberantasan Korupsi
Setelah beberapa waktu lalu menyatakan Indonesia sebagai negara yang paling korup dari 133 negara, kali ini Transparency International Indonesia menilai Jakarta merupakan kota paling korup di Tanah Air, disusul Surabaya, Medan, Semarang, dan Batam. Penilaian tersebut berdasarkan hasil survei berbentuk Indeks Persepsi Korupsi untuk Indonesia Tahun 2004, dengan responden kalangan bisnis lokal hingga internasional.
Survei Transparency International (TI) Indonesia juga menemukan bahwa interaksi korupsi yang paling banyak dilakukan oleh pebisnis adalah dengan bea cukai, disusul kepolisian, militer, dan lembaga peradilan. Bahkan, jumlah suap yang dibayarkan kepada pemerintah pusat sekitar Rp 52 miliar per tahun. Paling banyak dibayarkan kepada bea cukai, yakni sebesar Rp 23 miliar, disusul pajak Rp 12,7 miliar.
Demikian hasil survei TI Indonesia yang disampaikan dalam peluncuran Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2004 di Jakarta, Rabu (16/2).
Survei berbentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2004 ini dilakukan oleh TI Indonesia bekerja sama dengan The Governance Access Learning Network (TIRI), didukung Delegasi Komisi Eropa di Indonesia dan Kedutaan Besar Denmark (DANIDA).
Survei dilaksanakan oleh Marketing Research Indonesia (MRI) di 21 kabupaten/kota di Indonesia pada bulan Oktober- Desember 2004, dengan responden dari kalangan bisnis lokal, nasional, dan internasional. Total responden berjumlah 1.305 orang.
Dalam peluncuran IPK Indonesia 2004 ini, tampil berbicara Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Sri Mulyani Indrawati, serta Ketua Dewan Pengurus dan Sekretaris Jenderal TI Indonesia Todung Mulya Lubis dan Emmy Hafild.
Survei dilakukan di 21 kabupaten/kota, yakni Wonosobo (Jawa Tengah), Banjarmasin, Makassar, Cilegon, Kota Baru, Manado, Tanah Datar, Padang, Solok, Palembang, Bekasi, Balikpapan, Tangerang, Yogyakarta, Denpasar, Pekanbaru, Batam, Semarang, Medan, Surabaya, dan Jakarta.
Paling korup
Berdasarkan hasil survei, Jakarta dianggap oleh pebisnis sebagai kota yang paling korup. Jumlah suap yang dibayarkan pebisnis mencapai Rp 10 miliar. Namun, yang mengejutkan, jumlah suap yang terbesar per interaksi korupsi dibayar pebisnis yang menangani proyek bantuan Bank Dunia dan lembaga asing lainnya, masing-masing sebesar Rp 23,6 juta dan Rp 22,7 juta.
Di tingkat daerah, total suap yang dibayarkan pebisnis kepada pemerintah daerah sebesar Rp 3,7 miliar per tahun, kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan partai politik Rp 2,4 miliar.
Dalam IPK Indonesia 2004, TI Indonesia membuat rentang indeks dengan peringkat 0-10, angka 0 menunjukkan sangat korup dan angka 10 menunjukkan bersih dari korupsi.
Selain survei soal korupsi, TI Indonesia juga melakukan pengukuran persepsi terhadap kinerja pelayanan kepada publik dari berbagai instansi pemerintah dan lembaga negara, yang dikeluarkan dalam bentuk Indeks Persepsi Pelayanan.
Pengadilan terburuk
Untuk instansi pemerintah pusat, institusi yang dinilai paling buruk kinerjanya adalah lembaga peradilan, diikuti kepolisian dan bea cukai. Persepsi masyarakat mengenai jumlah pejabat yang korup dan besarnya suap dalam tiga tahun terakhir cenderung meningkat.
Todung Mulya Lubis menegaskan, selama ini Transparency International mengeluarkan IPK yang mencakup banyak negara di dunia, dan Indonesia termasuk negara paling korup. Kita betul-betul malu, apalagi dari tahun ke tahun peringkat Indonesia tidak mengalami perbaikan. Artinya, korupsi di negeri ini tetap dianggap sebagai endemic, systemic, dan widespread, ujarnya.
Menanggapi penilaian bahwa Jakarta merupakan kota terkorup, Gubernur DKI Sutiyoso tercenung sejenak. Dasarnya disebut kota terkorup itu apa? Saya kira, kalau soal korupsi, itu kan terjadi di seluruh Indonesia. Apakah provinsi lain itu enggak? kata Sutiyoso, Rabu malam.
Saya enggak mau comment banyaklah. Itu (maksudnya, penilaian TI Indonesia) adalah informasi yang harus memicu saya untuk melakukan evaluasi dan introspeksi diri, katanya. Menurut Sutiyoso, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sudah jadi komitmennya sejak awal ia menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Dilumpuhkan MK
Kemarin putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikeluarkan hari Selasa lalu, yang menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berwenang mengambil alih kasus-kasus korupsi sebelum 27 Desember 2002, kembali mendapat kritikan. Putusan itu dinilai menunjukkan tidak adanya semangat pemberantasan megakorupsi di dalam diri para hakim konstitusi.
Putusan MK tersebut kembali melumpuhkan aksi pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika pada 30 Maret 2004, MK telah membubarkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) selaku lembaga pencegah korupsi, kini giliran KPK selaku lembaga pemberantas korupsi dilumpuhkan oleh MK.
Kritik keras dilontarkan oleh Mas Achmad Santosa dari Partnership for Governance Reform in Indonesia, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munarman, Sekretaris Jenderal TI Indonesia Emmy Hafild, dan hakim Pengadilan Negeri Medan Binsar Gultom.
MK telah melumpuhkan agenda dan aksi pemberantasan korupsi. Dengan MK memutuskan KPK tidak berwenang mengambil alih perkara sebelum Desember 2002, hal itu telah menjadikan KPK sebagai macan ompong, karena kekuatan KPK justru pada kewenangan mengambil alih perkara yang ditangani kejaksaan dan kepolisian, kata Munarman.
Menurut catatan Kompas, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dengan adanya desakan dari para mahasiswa dan tragedi berlumuran darah mahasiswa pada era awal reformasi tahun 1998, melahirkan Ketetapan (Tap) MPR Nomor XI/MPR/1998. Tap MPR yang telah memakan korban para mahasiswa itu berisikan kehendak reformasi untuk menyelenggarakan sebuah pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.
Solusi dari Tap MPR itu adalah membentuk dua undang- undang (UU), yakni UU Nomor 28 Tahun 1999 yang melahirkan KPKPN dan UU yang melahirkan lembaga pemberantas korupsi, dalam perkembangan selanjutnya adalah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Pada 31 Maret 2004 MK telah menolak permohonan anggota KPKPN yang mengajukan gugatan uji materi (judicial review) UU No 30/2002 tentang KPK, yang terkait dengan kewenangan KPKPN. Artinya, sejak diputuskan oleh MK, KPKPN secara resmi bubar.
Kalau dulu yang dimatikan adalah lembaga pencegah korupsi, kini MK melumpuhkan institusi lembaga pemberantas korupsi, kata Munarman.
Menurut Mas Achmad, majelis hakim konstitusi jelas-jelas tidak memiliki semangat memberantas megakorupsi yang merugikan aset negara yang sungguh sangat banyak. Kita semua sama sekali tidak terpikir bahwa MK justru menjadi lembaga yang berpotensi menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia, katanya.
Saya tidak tahu suasana kebatinan apa yang ada pada majelis hakim konstitusi sehingga cara berpikirnya menjadi sangat legalistik dan sama sekali tidak mempertimbangkan suasana kebatinan saat pembentukan UU KPK. Kalau kita lihat, kasus-kasus megakorupsi terjadi justru sebelum Desember 2002, tutur Mas Achmad.
Putusan MK ini justru menjadi celah baru bagi para koruptor. Ini kesalahan besar MK yang justru melakukan interpretasi atas sesuatu yang tidak diminta oleh pemohon. Ini kesalahan besar MK, kata Emmy menambahkan.
Keputusan MK itu memang langsung dijadikan bukti baru oleh penasihat hukum Abdullah Puteh, terdakwa korupsi dalam pengadaan helikopter MI-2 buatan Rostov, Rusia, untuk diajukan kepada majelis hakim.
Menurut penasihat hukum terdakwa-antara lain Mohammad Assegaf, OC Kaligis, dan Juan Felix Tampubolon-dengan putusan MK tersebut berarti proses persidangan kasus korupsi Puteh tidak sah. (son/vin/osa/IDR)
Sumber: Kompas, 17 Februari 2005