Jaksa Agung: Putusan Mahkamah Sulitkan Pemberantasan Korupsi

Pendapat yang mengandalkan hukum formal sudah lama ditinggalkan.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan hak uji materi atas Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan menyulitkan pemberantasan korupsi. Kami sedih dengan adanya pendapat seperti itu, ujar Abdul Rahman Saleh di Kejaksaan Agung kemarin.

Menurut dia, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan hari besar bagi para koruptor. Namun, Arman--panggilan akrab Abdul Rahman Saleh--meminta para koruptor tidak cepat-cepat gembira. Ajaran sifat melawan hukum materi dalam fungsinya sudah ada jauh sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disahkan, katanya.

Dua hari lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan hak uji materi atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Permohonan itu diajukan karyawan PT Jasa Marga, Dawud Djatmiko, yang ditahan sejak 28 Juni karena menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road.

Mahkamah menyatakan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, penjelasan pasal 2 ayat 1 undang-undang itu tidak sesuai dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 tentang Perlindungan dan Jaminan Kepastian Hukum.

Dengan adanya putusan itu, bisa dianggap bahwa pelaku korupsi hanya dapat dijerat jika melawan hukum secara formal atau hanya berdasarkan ketentuan yang ada.

Arman mengatakan, meski Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan hak uji tersebut, beberapa putusan perkara korupsi yang dibuat Mahkamah Agung sudah menganut penafsiran hukum materi sejak 1977. Bahkan beberapa putusan perkara korupsi sudah menjadi yurisprudensi (rujukan) tetap, ujarnya.

Arman mencontohkan kasus Direktur Bank Bumi Daya Natalegawa. Putusan itu tidak hanya berlandaskan asas hukum formal, tapi juga materiil, yakni asas hukum tak tertulis dan bersifat umum menurut kepatutan masyarakat.

Karena itu, Arman yakin putusan Mahkamah Konstitusi itu tidak akan diikuti Mahkamah Agung. Ia optimistis, yurisprudensi akan tetap diikuti para hakim yang memutus perkara korupsi. Kami percaya Mahkamah Agung tetap berpendapat seperti yurisprudensi. Karena inilah pendapat yang modern, ujar Arman.

Pendapat yang hanya mengandalkan hukum formal, kata Arman, sudah lama ditinggalkan orang. Dia berharap putusan Mahkamah Konstitusi tidak berdampak pada penanganan korupsi yang ditangani Kejaksaan.

Koordinator bidang monitoring peradilan Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi itu merupakan langkah mundur dalam pemberantasan korupsi. Ia menilai putusan itu bisa digunakan para koruptor meloloskan diri dari jerat hukum saat mengajukan upaya hukum, seperti kasasi. FANNY FEBIANA | TITO SIANIPAR | SUKMA LOPPIES

Sumber: Koran tempo, 27 Juli 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan