Jaksa dan Hakim Diduga Terima Duit Suap BI
Untuk memuluskan perkara hingga pesan ruang tahanan.
Duit suap Rp 100 miliar dari Bank Indonesia rupanya tak hanya mengalir ke anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Oknum jaksa, hakim, dan pejabat penjara disebut-sebut juga menerima bagian.
Aksi bagi-bagi duit haram itu terungkap dalam kesaksian Oey Hoey Tiong, mantan Deputi Direktur Hukum BI yang ditahan, di depan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada 5 Mei lalu. Tempo memperoleh salinan dokumen pemeriksaan itu.
Dari hulunya--kas Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI)--dana hanya mengalir ke dua jurusan. Sekitar Rp 68,5 miliar mengucur ke lima orang mantan anggota Dewan Gubernur dan direksi BI yang terbelit kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sisanya, sekitar 31,5 miliar, mengalir ke anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR periode 1999-2004.
Dana lalu bocor ke mana-mana melalui tangan para mantan pejabat BI, di antaranya melalui Soedradjad Djiwandono, yang menerima dana BI Rp 25 miliar, Iwan R. Prawiranata (Rp 13,5 miliar), Hendro Budiyanto serta Paul Sutopo dan Heru Supraptomo (masing-masing Rp 10 miliar).
Menurut Oey, pada 2003 para bekas pejabat itu meminta bantuan dana kepada BI dengan alasan kurang lebih sama: mengaku telah dan masih akan mengeluarkan uang banyak untuk perkara mereka.
Oey menyebut contoh Soedrajad yang saat itu sudah jadi tersangka. Dia, menurut Oey, minta bantuan dana, antara lain, "agar tak dilakukan penahanan". Adapun Iwan yang saat itu bolak-balik diperiksa sebagai saksi, "Berupaya agar tak dijadikan tersangka."
Saat diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi pada 4 Februari lalu, Iwan mengaku pernah menyerahkan sejumlah uang tunai (dolar Amerika) kepada Salman Mahyadi, yang saat itu Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Namun, dua pekan kemudian, Iwan mencabut pengakuannya. "Saat itu saya rancu atau salah dalam berpikir," kata Iwan dalam dokumen.
Kepada Tempo, Salman membantah pernah menerima uang dari Iwan. "Tidak tahu, ya sudah, sudah, terima kasih," katanya sambil menutup telepon.
Di persidangan Rabu lalu, bendahara YLPPI Ratnawati Prasodjo mengungkapkan, uang yayasan sekitar Rp 13,5 miliar juga dikirim ke Kejaksaan Agung. "Untuk diseminasi kasus BLBI dan menangkal isu negatif tentang BI," kata Ratna. "Uang diberikan kepada Oey atas persetujuan Aulia Pohan."
Adapun Hendro, saat diperiksa penyidik Komisi, mengaku meminta dana BI ketika kasus BLBI masuk tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Saat itu, Mahkamah sedang menyusun majelis hakim perkara tersebut. "Makin cepat mengetahui susunan majelis, makin baik guna penyusunan dan pendekatan," kata Hendro dalam dokumen.
Setelah Mahkamah Agung memvonis Hendro, Heru, dan Paul 15 bulan penjara, upaya menyuap aparat berlanjut. Dalam rapat khusus yang dipimpin Gubernur BI Burhanuddin Abdullah pada 20 Juni 2005, disetujui "biaya eksekusi": setiap terpidana diusulkan mendapat uang tambahan Rp 50 juta.
"Itu biaya koordinasi dengan kejaksaan dan kepala LP (lembaga pemasyarakatan)," kata Oey dalam dokumen, "agar bisa memesan kamar khusus di penjara."
Dedi Sutardi, kepala penjara Cipinang saat Hendro dan kawan-kawan ditahan, membantah menerima dana dari BI. "Tidak ada itu," kata Dedi saat dihubungi kemarin.Jajang | Famega Syafira | Anton Septian
Uang Sukses untuk Punggawa
Dana Bank Indonesia mengalir hingga ke aparat penegak hukum. Selain ke Dewan Perwakilan Rakyat, seperti diungkap Hamka Yandhu, anggota DPR yang menjadi tersangka, dana juga sampai ke sejumlah pengacara untuk membayar bantuan hukum bagi para petinggi BI yang tersandung kasus. Lantas terungkap pula dana Rp 13,5 miliar yang mengalir ke kejaksaan.
A. Rp 31,5 miliar mengalir ke DPR
B. Rp 68,5 miliar untuk bantuan hukum para mantan petinggi BI.
Masing-masing:
* mantan Direktur BI Hendro Budiyanto Rp 10 miliar
* mantan Direktur BI Heru Supraptomo Rp 10 miliar
* mantan Direktur BI Paul Sutopo Rp 10 miliar
* mantan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono Rp 25 miliar
mantan Deputi Gubernur BI Iwan R. Prawiranata Rp 13,5 miliar
C. Rp 13,5 miliar ke Kejaksaan Agung
KESAKSIAN
Roswita Roza, Direktur Hukum BI, saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rabu lalu.
"Realisasi Rp 1,5 miliar. Untuk biaya Albert Hasibuan, pengacara Soedrajad, sebesar Rp 500 juta. Sisanya, success fee, ke Kejaksaan Agung untuk keluarnya SP3 bagi Soedrajad senilai Rp 1 miliar."
Ratnawati Prasodjo, bendahara Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI).
"Uang YPPI senilai Rp 13,5 miliar diberikan ke Kejaksaan Agung untuk diseminasi BLBI dan menangkal isu negatif tentang BI."
APA KATA MEREKA
Johan Budi, juru bicara KPK, Jumat lalu
"Informasi itu belum kami terima. KPK masih mengusut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan perihal dana Rp 100 miliar dari YPPI, yang sebagian untuk pembahasan Undang-Undang BI dan sisanya untuk bantuan hukum."
B.D. Nainggolan, juru bicara Kejaksaan Agung
"Silakan KPK memeriksa pegawai kejaksaan yang diduga menerima uang dari BI."
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Marwan Effendi
"SP3 kasus Soedrajad Djiwandono bisa dicabut jika terbukti SP3 itu rekayasa."
KATA PENGACARA
Maiyasyak Johan, pengacara para mantan direktur BI
"Memang saya terima fee, tapi soal jumlah, itu rahasia kantor kami."
Indriyanto Seno Aji, pengacara para mantan direktur BI
"Kurang dari Rp 1 miliar karena dipotong pajak."
Luhut M.P. Pangaribuan, pengacara Soedrajad Djiwandono
"Saya terima Rp 1,4 miliar sampai keluarnya SP3 bagi Soedrajad."
Albert Hasibuan, pengacara Soedrajad Djiwandono
"Saya menerima professional fee Rp 1,4 miliar untuk membela Soedrajad sampai terbitnya SP3. Uang itu diterima jauh sebelum munculnya SP3. Jadi uang itu bukan success fee atas terbitnya SP3."
Naskah: Sukma | Aqida | Anton S. | Eko Ari W. | Famega S. | Cheta N. | Titis S.
Bahan: Berita Acara Pemeriksaan | Keterangan sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi | Berbagai sumber yang diolah
Sumber: Koran Tempo, 11 Agustus 2008