Jaksa Nakal, Pilih Sanksi Disiplin atau Dipidanakan...?
Kejaksaan kembali terguncang. Rekaman percakapan jaksa Ratmadi Saptondo menjadi penyebabnya. Kepala Kejaksaan Negeri Boalemo, Provinsi Gorontalo, itu lantas dicopot dari jabatannya per 15 Oktober 2008.
Dalam rekaman percakapan yang beredar di masyarakat, Ratmadi berbincang melalui telepon dengan Subandrio, anggota staf Pemerintah Kabupaten Boalemo. Ratmadi, dengan nada suara tinggi, menyebutkan nama Bupati Boalemo Iwan Bokings, uang berjuta-juta rupiah, dan menyebut polisi bodoh dalam menangani korupsi.
Belum reda kasus itu, seorang jaksa kembali membuat geger. Efendy Panjaitan, jaksa fungsional di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, ditangkap polisi di Medan karena diduga memeras, Selasa (21/10).
Disiplin pegawai
Berkaitan dengan tingkah laku Ratmadi, Jaksa Agung Muda Pengawasan Darmono menggelar jumpa pers di teras Gedung Pengawasan Kejagung. ”Pimpinan Kejaksaan Agung menjatuhkan hukuman, membebaskan yang bersangkutan dari jabatan jaksa, sesuai Pasal 6 Ayat 4 Huruf (b) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 1980,” kata Darmono, Selasa (28/10).
Pasal 6 Ayat 4 PP No 30/1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) menyebutkan hukuman disiplin berat bagi PNS. Mengacu pada aturan itu, Ratmadi tak lagi menjadi jaksa. Namun, ia masih berstatus PNS.
Perihal dugaan perbuatan pidananya, Darmono menjelaskan, Jaksa Agung Hendarman Supandji memerintahkan Kepala Kejati Gorontalo mendalami pemeriksaan. Bila ditemukan unsur pidana khusus, korupsi, maka ditangani lebih lanjut oleh jaksa. Apabila yang ditemukan tindak pidana umum, diserahkan kepada penyidik Polri.
Persoalannya, cukupkah sanksi bagi Ratmadi? Benarkah hanya pelanggaran disiplin, atau sudah masuk ke wilayah pidana?
Masyarakat menunggu kebenaran diungkapkan. Benar (atau tidak) ada pemerasan atau percobaan pemerasan? Jika ya, tentu pidanalah yang lebih tepat bagi jaksa yang bertindak demikian. Jika tidak, berikan keterangan kepada masyarakat, apa yang sebenarnya terjadi.
Bukan sekali ini kejaksaan menjatuhkan sanksi administrasi kepada jaksa, tetapi tak berlanjut pada kemungkinan tindak pidananya. Misalnya, pencopotan sejumlah pejabat di Kejati Papua yang diduga berbuat tercela saat menangani kasus penangkapan ikan secara ilegal.
Kejaksaan membantah kasus jaksa nakal di Gorontalo itu sebagai bentuk kegagalan pembinaan jaksa. ”Kami, kan, instruksikan agar sikap moral dibenahi. Kalau memperbaiki watak, ini proses,” kata Hendarman, Jumat (17/10) di Jakarta.
Illian Deta Artasari, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), menyoroti, selama ini ada kecenderungan kejaksaan menyelesaikan suatu laporan masyarakat terhadap jaksa dan pegawai kejaksaan dari sisi administratif. Padahal, penyelesaian dari sisi administratif tidak menyelesaikan masalah.
”Sampai kapan pun akan muncul Urip-urip lain apabila kejaksaan tak berniat serius menghukum jaksa atau pegawai kejaksaan yang melanggar hukum. Kalau masih memiliki semangat melindungi korps, tidak akan ada efek jera bagi jaksa dan pegawai kejaksaan untuk melanggar hukum dan aturan,” kata Deta.
Dalam catatan Kompas, dua jaksa pernah diajukan ke pengadilan dengan dakwaan memeras terdakwa. Cecep Sunarto dan Burdju Ronni Alan Felix didakwa memeras mantan Direktur Utama PT Jamsostek Ahmad Djunaidi sebesar Rp 550 juta. Dalam persidangan kemudian terungkap fakta, uang itu justru mengalir karena penyuapan. Burdju dan Cecep, yang terbukti menerima suap, dihukum penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Perkara itu ditangani polisi dari unsur Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tim bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2005, yang dipimpin Hendarman Supandji. Tim itu bubar pada tahun 2007, tak lama sebelum Hendarman diangkat menjadi Jaksa Agung menggantikan Abdul Rahman Saleh.
Kasus Urip
Mengambil contoh kasus jaksa Urip Tri Gunawan, yang menerima suap dari Artalyta Suryani, berkaitan dengan penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang ditangani Kejaksaan Agung. Kebetulan, Urip sebagai Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Ekonomi dan Lainnya pada Direktorat Penyidikan Bagian Tindak Pidana Khusus Kejagung menjadi Ketua Tim Kasus BLBI berkaitan dengan penyerahan aset Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, suap itu berkaitan dengan penghentian penyelidikan kasus BLBI berkaitan dengan BDNI. Bahkan, dengan pemberian uang suap 660.000 dollar AS dari Artalyta, Urip menuruti permintaan Artalyta agar mengarahkan hasil penyelidikan sesuai keinginan Artalyta.
Dalam perkara yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, ada rekaman percakapan yang bisa membuat tubuh meremang dan penasaran, yakni percakapan telepon Untung Udji Santoso (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara saat itu) dengan Artalyta dan Kemas Yahya Rahman (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus saat itu) dengan Artalyta.
Percakapan Udji terjadi saat Artalyta akan ditangkap KPK di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. Percakapan Kemas terjadi setelah ia mengumumkan kepada wartawan dalam jumpa pers di Kejagung pada 29 Februari 2008 bahwa penyelidik kasus BLBI tak menemukan perbuatan melawan hukum dalam penyerahan aset kepada BPPN.
Kemas dan Direktur Penyidikan pada Bagian Tindak Pidana Khusus M Salim (saat itu) lalu diberhentikan dari jabatan mereka. Alasan Jaksa Agung ketika itu, untuk menjaga kredibilitas kejaksaan dan penanganan perkara di Gedung Bundar. Udji juga diberhentikan. Namun, sebelum diberhentikan, Udji mengundurkan diri dari jabatan Jamdatun.
Sebagaimana dijelaskan Hendarman saat mengumumkan pemberhentian itu, Kemas, Udji, dan Salim belum dijatuhi sanksi. Sanksi baru akan dijatuhkan setelah putusan pidana atas Urip dan Artalyta dibacakan hakim, meskipun Kemas, Salim, dan Udji sudah diperiksa Bagian Pengawasan Kejagung. Alasannya, menunggu Bagian Pengawasan memperoleh salinan putusan Pengadilan Tipikor dan memeriksa Artalyta.
Lalu, standar apa yang sebenarnya digunakan kejaksaan dalam menangani perkara yang berkaitan dengan jaksa dan pegawai kejaksaan? (Dewi Indriastuti)
Sumber: Kompas, 6 November 2008