Jaksa Perdata Teliti Kekurangan Pembayaran Sjamsul Nursalim
Jaksa bidang perdata meneliti kekurangan utang obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim yang belum dibayarkan sebesar Rp 4,7 triliun. "Sedang dipelajari untuk membuat legal opinion (pendapat hukum)," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Bonaventura Daulat Nainggolan kepada Tempo, Jumat lalu.
Dia menjelaskan, pendapat hukum itu akan disampaikan ke Departemen Keuangan untuk menentukan penyelesaiannya. "Apakah diselesaikan melalui jalur perdata dengan membuat surat kuasa khusus Menteri Keuangan, itu terserah mereka (Departemen Keuangan)," katanya.
Dalam pendapat hukum tersebut, Nainggolan menjelaskan, terdapat masukan dan saran kepada Departemen Keuangan. Dia mengaku tak tahu apa saran yang akan diberikan. "Kan masih dipelajari," ujarnya.
Kekurangan pembayaran Sjamsul Nursalim terungkap dalam persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa Urip Tri Gunawan. Dalam kesaksiannya, seorang jaksa penyelidik kasus BLBI Hendro Dewanto menyebutkan ada kekurangan pengembalian kewajiban sebesar Rp 4,7 triliun.
Nainggolan tak tahu pasti dari mana nilai Rp 4,7 triliun itu diperoleh. "Pasti ada hitung-hitungannya," katanya.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Marwan Effendy mengatakan kekurangan itu adalah kewajiban di luar utang BLBI Sjamsul sebesar Rp 41 triliun yang hanya dikembalikan Rp 4 triliun.
"Menurut penyelidik, (Rp 4,7 triliun) itu di luar kewajiban yang sudah ditetapkan pemerintah," katanya. "Mungkin ada bunga (utangnya) yang belum terhitung kemarin."
Marwan mengaku tak tahu detail perhitungan kekurangan tersebut. "Itu semua kan menurut penyelidikan, bukan menurut saya," katanya. "Laporannya sudah saya teruskan ke perdata."
Adapun kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail, sebelumnya juga membantah kliennya masih menanggung kekurangan dalam pemenuhan kewajiban sebesar Rp 4,758 triliun dalam kasus BLBI II. Menurut dia, Sjamsul sudah tak memikul pemenuhan kewajiban apa pun karena sudah mengantongi surat keterangan lunas. RINI KUSTIANI
Sumber: Koran Tempo, 28 Juli 2008