Jaksa Tuntut Ibrahim Hukuman 12 Tahun Penjara
Ibrahim, hakim nonaktif Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) yang menjadi terdakwa penerima suap, menghadapi sidang tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, kemarin (19/7). Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut dia hukuman 12 tahun penjara.
''Kami meminta majelis hakim menjatuhkan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan,'' tegas jaksa Malino Pranduk saat membacakan tuntutan.
Jaksa menyatakan, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dengan menerima uang pelicin perkara dari terdakwa lain, Adner Sirait, pengacara pengusaha D.L. Sitorus.
Seperti diberitakan, dalam posisinya sebagai ketua majelis hakim yang menangani perkara sengketa tanah di kawasan Cengkareng Barat, Jakarta, antara penggugat PT Sabar Ganda dan tergugat Pemprov DKI Jakarta, Ibrahim menerima duit suap Rp 300 juta dari Dirut PT Sabar Ganda D.L. Sitorus melalui pengacara Adner Sirait. Uang suap itu diberikan agar Ibrahim menguatkan putusan perkara No 86/G/2009/PT TUN-JKT dari PT TUN Jakarta terkait dengan kontra memori banding kasus sengketa tanah tersebut.
Atas perbuatannya itu, Ibrahim dianggap secara sah memenuhi pasal 12 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jaksa menilai ada beberapa hal yang memberatkan terdakwa. Salah satunya, sebagai penegak hukum terdakwa justru mencederai upaya penegakan hukum. Yang meringankan, kata jaksa, terdakwa bersikap sopan selama sidang dan memiliki iktikad untuk bertobat. ''Terdakwa juga telah berbakti kepada negara 25 tahun. Selain itu, terdakwa sakit ginjal dan membutuhkan perawatan,'' papar Malino.
Meski terancam mendekam di penjara cukup lama, Ibrahim terlihat tenang. Saat ditanya soal pengajuan pleidoi atau nota pembelaan oleh majelis hakim, lewat kuasa hukumnya, Junimart Girsang, dia minta waktu satu minggu.
Dua terdakwa lain, Darianus Lungguk (D.L.) Sitorus dan kuasa hukumnya, Adner Sirait, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor kemarin. Keduanya didakwa melakukan tindak korupsi dengan memberikan suap Rp 300 juta kepada Ibrahim terkait perkara sengketa tanah yang ditangani hakim nonaktif PT TUN itu.
''Terdakwa satu, Adner Sirait, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan terdakwa dua, D.L. Sitorus, pada Selasa 30 Maret 2010, bertempat di Cempaka Putih Barat XXVI, Jakarta Pusat, telah memberikan hadiah atau janji berupa uang Rp 300 juta kepada pegawai negeri, yaitu hakim PT TUN,'' urai JPU Agus Salim.
Dalam surat dakwaannya, Agus menguraikan bahwa pemberian tersebut diduga kuat menyangkut upaya pemenangan perkara PT Sabar Ganda melawan Pemprov DKI Jakarta. Mengawali upaya pemberian suap tersebut, Adner bertemu Ibrahim di kantornya PT TUN. Tujuannya meminta petunjuk Ibrahim selaku hakim ketua untuk membuat kontra memori banding.
Namun, terhadap maksud tersebut, Ibrahim justru meminta dana pelicin perkara. "Tidak usah buat kontra memori banding, saya akan menangani perkara ini. Mana dananya?'' ujar Agus menirukan ucapan Ibrahim.
Lantas, Adner memberitahukan permintaan dana tersebut kepada kliennya. D.L. Sitorus setuju. Lalu, pada 29 Maret 2010 D.L. Sitorus menyerahkan cek senilai Rp 300 juta kepada Yokover Mokoagow di Hotel Dharmawangsa untuk diserahkan kepada Adner dalam bentuk tunai. Esok harinya, 30 Maret 2010, Adner menyerahkan tas kresek hitam berisi uang Rp 300 juta kepada Ibrahim di Cempaka Putih Barat XXVI, Jakarta Pusat.
Setelah menyerahkan duit suap tersebut, Adner menuju Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur. Di tempat itu Adner dibekuk petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak lama kemudian, giliran Ibrahim ditangkap petugas KPK di depan SMP Mardani, Cempaka Putih Barat. Petugas KPK menemukan barang bukti berupa tas kresek berisi Rp 300 juta.
Atas perbuatannya, baik Adner maupun Sitorus dikenai pasal 6 ayat 1 huruf a UU subsider pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kedua terdakwa terancam hukuman 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 750 juta.
Klarifikasi KY
Komisi Yudisial (KY) mulai menindaklanjuti ''nyanyian'' Ibrahim, hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) DKI Jakarta. Pekan depan komisi pimpinan Busyro Muqoddas itu memanggil terdakwa suap Rp 500 juta tersebut untuk dikonfirmasi mengenai kebenaran informasi yang dia paparkan saat sidang.
''Jelas akan kami panggil. Tapi, masih harus kami rapatkan dulu untuk mematangkannya. Paling tidak, minggu depan sudah bisa kami panggil,'' kata anggota KY Zainal Arifin di Jakarta kemarin (19/7).
Dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Ibrahim membantah keterlibatan dirinya dalam kasus suap tersebut. Dia mengaku dijebak Santer Sitorus, rekan Ibrahim yang menjadi hakim anggota dalam kasus sengketa tanah itu.
Ibrahim adalah ketua majelis hakim yang menangani sengketa tanah antara PT Sabar Ganda dan Pemprov DKI Jakarta. Dia dibantu hakim anggota Arifin Marpaung dan Santer Sitorus. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap basah Ibrahim saat menerima duit suap Rp 500 juta di kawasan Mardani Raya, Jakarta Pusat, dari pengacara Adner Sirait.
Zainal mengatakan, tak hanya Ibrahim yang akan dikonfirmasi. Santer Sitorus dan Arifin Marpaung juga dipanggil. Tiga hakim itu bakal dikonfrontasi. ''Pokoknya, semua anggota majelis yang menangani kasus itu diperiksa,'' tegas Zainal yang juga koordinator bidang pelayanan masyarakat dan koordinator bidang pengawasan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim itu.
Sejak awal KY mengendus potensi keterlibatan hakim anggota rekan Ibrahim dalam kasus penerimaan suap itu. Sebab, kalau ingin memenangkan kasus, tidak cukup hanya ''mengondisikan'' satu hakim. Paling tidak dua hakim agar apabila terjadi dissenting opinion (perbedaan pendapat), kasus tetap bisa dimenangkan.
Lelaki kelahiran Bondowoso itu mengatakan, KY akan meminta izin PT TUN untuk memanggil Santer dan Arifin. ''Kami harus memeriksa mereka secepatnya. Informasi dari Ibrahim, kalau memang itu benar, akan dikonfrontasi ke Santer dan Arifin,'' jelasnya. (ken/aga/c2/c7dwi/iro)
Sumber: Jawa Pos, 20 Juli 2010