Jaksa yang Kebablasan
Apa yang terbayang di kepala pembaca ketika 8.479 jaksa yang tergabung dalam Persatuan Jaksa Indonesia meminta Jaksa Agung pengganti Hendarman Supandji berasal dari kalangan internal kejaksaan? Pasti ada banyak jawaban atas perilaku di luar kelaziman tersebut. Yang pasti, cara itu adalah bentuk manuver untuk menolak Jaksa Agung dari luar lingkungan kejaksaan.
Bahkan, ”permintaan” jaksa-jaksa yang tergabung dalam Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) ini seperti sudah dirancang (by design) guna menghadapi desakan mayoritas publik agar Presiden memilih Jaksa Agung dari luar kejaksaan. Penilaian seperti itu muncul karena langkah para jaksa tersebut merupakan kelanjutan manuver Hendarman yang terlebih dulu telah menyampaikan delapan nama calon penggantinya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Mendikte Presiden
Dibandingkan dengan Kepala Polri, posisi Jaksa Agung sangat mungkin diisi oleh kalangan luar kejaksaan. Dalam Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU No 16/2004) tidak satu pun ketentuan yang mengisyaratkan bahwa Jaksa Agung harus berasal dari kalangan internal kejaksaan. Bahkan, syarat menjadi Jaksa Agung lebih sederhana dibandingkan dengan jaksa biasa yang memerlukan syarat batas usia dan syarat pegawai negeri sipil.
Sekalipun lebih sederhana, calon Jaksa Agung sangat tergantung dari pertimbangan dan pilihan Presiden. Dalam hal ini, Pasal 19 Ayat (2) UU No 16/2004 menyatakan bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Karena tidak ada keharusan melibatkan institusi lain dalam proses pengisiannya, penentuan Jaksa Agung sepenuhnya menjadi hak prerogatif Presiden. Dalam pengertian itu, tindakan Hendarman dan 8.479 jaksa tersebut jelas mendikte Presiden. Dalam konteks yang lebih luas, langkah jaksa yang tergabung dalam PJI itu dapat dinilai sebagai langkah politik sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi politik.
Tindakan mendikte ini sulit dibantah karena langkah Hendarman dan 8.479 jaksa yang tergabung dalam PJI dilakukan setelah Presiden memberikan isyarat bahwa Jaksa Agung tidak harus dari pejabat karier. Bisa jadi, isyarat itu yang membuat sebagian kalangan internal kejaksaan merasa perlu melakukan manuver sehingga Presiden menimbang ulang keinginan memilih Jaksa Agung dari luar kalangan jaksa. Bahkan, dalam beberapa waktu belakangan mulai diembuskan bahwa Jaksa Agung yang berasal dari luar akan mengancam rencana renumerasi di kejaksaan.
Dalam pengertian itu, manuver yang dilakukan para jaksa dapat dikatakan sebagai bentuk pembangkangan terhadap Presiden. Padahal, secara hukum, isyarat Presiden untuk memilih Jaksa Agung dari luar punya dasar pijakan yang sangat kuat. Selain tidak dilarang dan dibatasi UU No 16/2004, Jaksa Agung yang berasal dari kalangan eksternal telah berkali-kali mengisi pos orang nomor satu di lingkungan Gedung Bundar. Bahkan, Jaksa Agung pertama pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono berasal dari luar kejaksaan.
Kebablasan
Dengan adanya manuver tersebut, pertanyaan besar sebagian kalangan yang concern terhadap kejaksaan: mengapa sebagian (besar) internal kejaksaan resistensi dengan Jaksa Agung dari luar?
Kemungkinan pertama, banyak kalangan elite kejaksaan merasa terganggu dan terancam dengan masuknya orang luar. Kelompok ini hampir dapat dipastikan mereka yang selama ini sangat menikmati perubahan yang bergerak lamban di kejaksaan. Bagaimanapun jika perubahan besar terjadi, akan menghancurkan segala ”kenikmatan” yang mereka peroleh. Karena itu, kelompok ini akan lebih nyaman dengan Jaksa Agung dari internal.
Berikutnya, kelompok yang berkepentingan agar segala macam kebobrokan yang terjadi selama ini tidak terkuak ke permukaan. Setidaknya sampai saat ini sejumlah skandal yang terjadi di Gedung Bundar belum terselesaikan secara tuntas. Sebut saja, misalnya, keterkaitan sejumlah petinggi kejaksaan dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani. Skandal yang benar-benar menampar wajah kejaksaan ini hanya berhenti sampai jaksa Urip. Padahal, melihat spektrum skandalnya, sulit diterima akal sehat bahwa jaksa Urip bergerak sendiri.
Begitu juga dengan skandal rekayasa dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang melibatkan Anggodo Widjojo. Sampai saat ini penetapan Bibit dan Chandra sebagai tersangka masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Kepentingan untuk menutup segala macam kebobrokan itu pasti makin besar jika ditambahkan dengan kemungkinan keterlibatan pihak kejaksaan dalam skandal mafia pajak yang melibatkan penyidik pajak Gayus Tambunan.
Terakhir, kelompok mafia hukum yang amat nyaman bermain dengan kalangan internal. Bagaimanapun, sejak pencanangan antimafia hukum, kelompok ini mulai terusik dan mereka yang selama ini bermain di lingkungan kejaksaan pasti akan mendapat kesulitan besar jika Jaksa Agung berasal dari luar kalangan eksternal.
Begitu urgennya reformasi total di kejaksaan, manuver Hendarman dan permintaan 8.479 jaksa yang tergabung dalam PJI adalah sebuah kebablasan yang tidak boleh ditoleransi. Caranya, Presiden tidak boleh tertakluk oleh manuver jaksa-jaksa yang kebablasan itu.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 20 September 2010