Jaminan Universal Coverage untuk Pasien Miskin
Pasien miskin yang mengandalkan kartu jaminan sosial berupa Jamkesmas, Gakin atau SKTM, acap kali mendapatkan pelayanan diskriminatif dari rumah sakit. Kasus terakhir yang terungkap di media, pasien terlantar yang terlantar berbulan-bulan di emperan rumah sakit. Mereka akhirnya mendapatkan fasilitas kamar setelah kisah mereka menjadi headline media massa.
Pelayanan rumah sakit masih dirasakan diskriminatif oleh para pasien miskin. Dalam riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2010, 70 persen pasien pemegang kartu jaminan sosial mengaku pelayanan rumah sakit buruk. Mereka mengeluhkan panjangnya alur administrasi, beragam pungutan, biaya obat, serta fasilitas yang buruk.
Menanggapi masalah itu, Jumat (4/3/2011), ICW bersama pasien pemegang Jamkesmas mengadakan aksi di depan Kantor Kementerian Kesehatan di Kuningan, Jakarta. Dalam aksi teatrikal, digambarkan pasien kaya yang mampu mendapatkan fasilitas rumah sakit bertaraf internasional, sementara pasien miskin yang ditolak rumah sakit hanya mampu berobat di dukun.
Yaya Sunarya, Kepala Urusan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Merak, Kecamatan Sukamulya, Kabupaten Tangerang, mengatakan, dirinya merasa kecewa dengan sistem pelayanan jaminan kesehatan masyarakat. Menurut Yaya, pemerintah belum siap memberlakukan jaminan sosial bagi rakyat miskin karena praktik yang terjadi di lapangan sangat buruk. "Kalau memang pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan, janganlah masyarakat miskin diiming-imingi dengan kartu-kartu," ujar Yaya.
Yaya mencontohkan, dia seringkali mengalami penolakan oleh rumah sakit saat sedang mengantarkan pasien ke rumah sakit dengan membawa kartu jaminan sosial.
Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Febri Hendri menyatakan pemerintah harus segera mengesahkan RUU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dan membentuk Peraturan Pemerintah tentang BPRS (Badan Pengawas Rumah Sakit). Dua badan ini dinilai penting guna meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit bagi pasien tidak mampu.
BPJS akan menjamin biaya pengobatan seluruh rakyat Indonesia (universal coverage) diberbagai layanan kesehatan pada penyedia layanan kesehatan termasuk rumah sakit. Dengan sistem universal coverage, seluruh masyarakat terjamin dalam pembiayaan kesehatan. "Tidak akan ada lagi pasien terlantar, mengalami diskriminasi, ataupun ditolak rumah sakit karena tidak mampu membayar pengobatan," tukas Febri.
Selain itu, pembentukan BPJS diharapkan mampu mendorong perbaikan pada sistem kesehatan Indonesia terutama pada upaya preventif dan promotif kesehatan, sistem rujukan kesehatan berjenjang serta pengendalian harga dan ketersediaan obat. BPJS diharapkan bersinergi dengan pengelola rumah sakit dalam penetapan tarif berobat sehingga pembiayaan rumah sakit tidak mengganggu sustainabilitas pembiayaan rumah sakit.
Dipihak lain, BPRS diharapkan mampu menjadi lembaga kontrol kualitas pelayanan rumah sakit. Kontrol BPRS dijalankan dengan membangun mekanisme komplain serta menerima pengaduan pasien rumah sakit. Pengaduan pasien rumah sakit dijadikan dasar untuk mendesak rumah sakit memperbaiki pelayanannya pada pasien.
ICW merekomendasikan Kemeskes untuk segera menyelesaikan Rancangan PP tentang BPRS sebagaimana diamanatkan UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. "Segera sahkan RUU BPJS, jangan lagi berdebat soal untung rugi dan bisnis," kata Febri. Farodlilah