Jangan Kompromi Dengan “Pengemplang” Pajak
- Asian Agri harus bayar tunai denda Pajak dan Penegak Hukum harus jerat “Pengemplang Pajak” dengan UU Korupsi dan UU Pencucian Uang -
Pernyataan Pers Bersama
Asian Agri Group (AAG) pada akhirnya menyatakan sanggup membayar denda pajak senilai Rp 2,5 triliun. Namun proses pembayaran denda dilakukan secara mencicil. Cicilan pertama Asian Agri dilakukan sebesar Rp 719 miliar. Sedangkan kekurangan denda pajak akan dibayarkan dengan dicicil setiap bulan Rp 200 miliar hingga bulan Oktober 2014. Atas dasar kelangsungan usaha, pihak Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan telah menyetujui sistem pembayaran denda yang dilakukan oleh Asian Agri.
Proses pembayaran denda Asian Agri merupakan bagian dari Putusan MA No.2239K/PID.SUS/2012 tanggal 18 Desember 2012, Asian Agri dinyatakan kurang membayar pajak pada periode 2002-2005 senilai Rp 1,25 triliun dan denda Rp 1,25 triliun. Jadi total yang harus dibayarkan Asian Agri kepada negara adalah sebesar Rp 2,5 triliun. Jika tidak dibayar hingga tenggat 1 Februari 2014, aset Asian Agri yang di antaranya 14 perusahaan kelapa sawit terancam disita.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari proses hukum dalam perkara skandal pajak Asian Agri.
1. Terkesan Kompromi terhadap “Pengemplang” Pajak
Langkah Kejaksaan Agung yang memberikan persetujuan terhadap cicilan pembayaran denda Asian Agri merupakan langkah yang keliru, gegabah dan dapat diartikan upaya kompromi kejaksaan dan juga negara terhadap pelaku “pengemplang” pajak. Aset atau kekayaan yang dimiliki Asian Agri Group sesungguhnya mampu untuk membayar denda secara tunai tanpa harus membayar secara mencicil. Kami juga mengkhawatirkan bahwa pembayaran cicilan denda pajak ini dimaksudkan sebagai upaya mengulur-ulur waktu karena saat ini Asian Agri sedang mengajukan keberatan/banding ke Pengadilan Pajak. Jika putusan Pengadilan Pajak memenangkan gugatan Asian Agri maka bukan tidak mungkin menghilangkan kewajiban Asian Agri membayar denda pajak kepada negara.
Langkah kompromi kejaksaan juga dapat menjadi preseden buruk bagi upaya penegakan hukum dan mengurangi efek jera terhadap para pelaku “pengemplang” pajak. Para pengemplang pajak lainnya nantinya juga akan meminta perlakuan yang sama dengan perlakuan khusus pihak Kejaksaan terhadap Asian Agri.
2. Kejaksaan masih belum proses tersangka yang lain
Selain Suwir Laut yang telah diputus bersalah oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung, tim penyidik pajak juga telah menetapkan 9 tersangka lain yanng terlibat skandal pajak ini. Tersangka itu antara lain, Eddy, Linda, Kelvin Tio, Wilihar Tamba, Laksamana Adiyaksa, Semion Tarigan, Direktur PT. Tunggal Yunus Estate, PT. Mitra Unggul Perkasa serta Andrian. Dari daftar 9 tersangka tersebut menurut Direktorat Jenderal Pajak 7 orang menjabat sebagai Direktur di berbagai perusahaan Asian Agri Group sedangkan sisanya hanya menjabat sebagai staf perusahaan.
Namun proses hukum 9 tersangka itu hingga kini terkesan lamban dan mengambang. Sejak Gelar perkara yang diadakan 3 April 2009 antara Kejaksaan, Direktorat Pajak dan Kementrian Keuangan, hingga kini berkas perkara ke-9 tersangka hanya mondar-mandir kantor Ditjen Pajak – Kejaksaan. Padahal upaya gelar perkara itu dilangsungkan demi kelancaran berkas sehingga tidak perlu bolak-balik penyidik pajak dengan jaksa. Disamping itu gelar perkara juga menyetujui penyidikan Asian Agri dilakukan bersama antara Aparat Kejaksaan dan Direktorat Pajak. Seharusnya kerja sama ini mempercepat proses penyidikan.
Sudah hampir 4 tahun semenjak 9 karyawan Asian Agri ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik pajak namun hingga kini mereka belum juga ditahan dan di-meja hijaukan.
Asian Agri secara institusi yang seharusnya dapat dijerat pidana perpajakan juga belum diproses secara hukum. Lambatnya proses hukum dalam kasus Asian Agri Publik akan menganggap Kejaksaan tidak serius dalam mengusut tuntas penggelapan pajak terbesar yang tercatat dalam sejarah republik ini.
3. Perlu ada terobosan hukum menjerat skandal Pajak Asian Agri dan “Pengemplang” Pajak lainnya
Pada sisi lain seharusnya penegak hukum juga lebih progresif menjerat Skandal pajak Asian Agri dan juga “pengemplang” pajak lainnya , tidak hanya dijerat dengan UU Perpajakan namun juga dijerat dengan UU Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini untuk menghindari pelaku pengemplang pajak lolos dari proses hukum.
Dalam Undang Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang khususnya Pasal 2 ayat (1) Huruf V pada intinya menyebutkan pencucian tindak pidana di bidang perpajakan termasuk dalam kategori tindak pidana pencucian uang.
Undang Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menempatkan tindak pidana di bidang perpajakan sebagai salah satu tindak pidana asal yang dapat dijerat pencucian uang.
Direktorat Jenderal Pajak pun jangan ragu untuk menggunakan Pasal 6 UU TPPU dan menjerat Asian Agri. Pasal 6 menyebutkan:
“dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 dilakukan korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendali korporasi”
Ada beberapa keuntungan menjerat pelaku pengemplang pajak dengan UU TPPU, keuntungan tersebut, dari sisi aktor atau pelaku akan banyak yang terjerat, bukan hanya subyek hukum atau orang, namun juga badan hukum atau korporasi, tentunya pengendali korporasi yang dapat dijerat. Dari aspek penjeraan hukuman yang diterima pelaku (dari korporasi) lebih menjerakan. Pasal 7 UU TPPU, pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda maksimal Rp 100 miliar, pencabutan izin usaha, pembubaran korporasi, perampasan aset, pengambilalihan korporasi oleh negara.
Dalam posisi kasus Asian Agri, Kejaksaan dan Direktorat Jenderal Pajak mestinya dapat berpijak dari putusan Kasasi terhadap Suwir Laut. Majelis Kasasi yang menyatakan Suwir bersalah berarti memang telah terjadi tindak pidana perpajakan dan karenanya Tindak Pidana Asal / Predicate Crime telah terbukti. Sehingga mempermudah penegak hukum (KPK atau Kejaksaan) menggunakan Pasal pencucian uang, Kejaksaan bekerja sama dengan PPATK dapat mengikuti aliran uang kotor itu bermuara (follow the money) untuk membuktikan pencucian uang dilakukan oleh Korporasi.
Berdasarkan uraian tersebut maka kami meminta:
- Kejaksaan sebagai eksekutor putusan pengadilan jangan berkompromi dengan Asian Agri. Kejaksaan harus memaksa Asian Agri untuk membayar denda secara langsung atau tunai (tanpa dicicil). Jika pihak Asian Agri tidak bersedia membayar denda secara langsung maka Kejaksaan harus segera sita aset-aset milik Asian Agri Group
- Pengadilan Pajak harus menolak upaya banding pajak yang diajukan oleh Asian Agri.
- Kejaksaan dan Ditjen Pajak sebagai penyidik Kasus Asian Agri harus mempercepat proses penuntutan 9 tersangka dan melakukan proses penahanan terhadap tersangka sekaligus menjerat Asian Agri secara korporasi.
- Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang membawahi Kejaksaan dan Direktorat Jenderal Pajak mesti menginstruksikan percepatan penuntasan kasus hukum Asian Agri dan pidana pajak lainnya. Pada 17 Januari 2011, Presiden telah memberikan 12 instruksi tentang Percepatan Penyelesaian KAsus-kasus Hukum dan penyimpangan pajak (Inpres No1 Tahun 2011). Namun hingga saat ini perkembangan penuntasan kasus tersebut tidak jelas.
- Komisi Pemberantasan Korupsi atau Kejaksaan harus menjerat Pengemplang Pajak dengan UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian uang.
Jakarta, 30 Januari 2014
Indonesia Corruption Watch
Firdaus Ilyas
Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran
(Hp. 082125113199)
Indonesian Legal Resource Center
Uli Parulian Sihombing
Direktur
(Hp. 08176683013)
KRONOLOGIS ASIAN AGRI
2006
Nama Vincentius Amin Sutanto, Mantan Financial controller Asian Agri Group, mendadak tenar di akhir tahun 2006. Vincent kala itu sedang dalam pelarian di Singapura. Skandal ini dimulai dari aksi Vincent yang “membobol” uang perusahaan (Asian Agri) eks tempatnya bekerja senilai US$ 3,1 juta, hingga akhirnya ia berani membocorkan rahasia Asian Agri kepada Tempo. Yang kemudian oleh Vincent juga dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Atas nyanyian Vincent itu
29 November 2006
petugas KPK mendatangi Vincent di Singapura guna meneliti data dan dokumen yang dimiliki Vincent.
Desember 2006.
Atas beberapa pertimbangan dalam rangka penyelidikan KPK akhirnya menjemput Vincent dan membawanya kembali ke tanah air pada
Januari 2007
Penelusuran data menghasilkan kesimpulan bahwa kasus ini tidak berada di ranah gerak KPK, melainkan Direktorat Jenderal Pajak. Proses panjang pengusutan dugaan penggelapan pajak Asian Agri pun dimulai Ditjen pajak. Dugaan pengggelapan pajak ini ditelusuri Ditjen Pajak, pada Januari 2007 Aparat Pajak melakukan penggeledahan tempat Asian Agri menyembunyikan dokumen perusahaan. Dari bekal hasil penggeledahan ini tim penyidik pajak menganalisa dan mecari bukti kejahatan Asian Agri.
Mei 2007
Direktorat Jenderal Pajak mengumumkan hasil pemeriksaan atas bukti permulaan. Atas hasil pemeriksaan ini Penyidik Pajak menetapkan 5 tersangka setingkat direktur di unit bisnis Asian Agri (LA, WT, ST, TBK, An).
Januari 2008
Penyidik Pajak memanggil Sukanto Tanoto sebagai saksi atas kasus yang membelit Asian Agri. Namun hingga 3 kali dipanggil penyidik Sukanto tak kunjung hadir.
Maret 2008
Presiden RI memerintahkan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak segera menyelesaikan kasus hukum Asian Agri.
Asian Agri melayangkan gugatan Pra-peradilan tentang keabsahan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan Penyidik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
1 Juli 2008
Hakim mengabulkan gugatan Asian Agri dan menyatakan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan penyidik tidak sah dan tak berkekuatan hukum.
15 September 2008
melakukan penyitaan ulang dokumen Asian agri. Selanjutnya, proses penyidikan oleh Drektorat Jenderal Pajak terus berjalan.
Oktober 2008
Menyerahkan 14 berkas hasil pemeriksaan kepada kejaksaan.
maret 2009
Kejaksaan mengembalikan ke-14 berkas pemeriksaan ke penyidik pajak. Atas permasalahan tersebut maka disepakati untuk diadakan gelar perkara antara Kejaksaan, Ditjen Pajak dan Kementrian Keuangan guna menghindari bolak-balik berkas perkara. Dari hasil gelar tersebut disepakati untuk perampungan berkas dua tersangka untuk masuk proses penuntutan.
Pada 16 Februari 2011
Suwir Laut, salah satu tersangka kasus penggelapan pajak Asian Agri menjalani sidang perdana.
15 Maret 2012
Pengadilan Negeri membebaskan Suwir laut, dan mengabulkan eksepsi Suwir Laut. Hakim menilai dakwaan Jaksa Prematur.
23 Juli 2012.
Putusan PN ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan tinggi yang menjatuhkan putusan pada 23 Juli 2012 Atas putusan tersebut Jaksa mengajukan Kasasi dan menilai Hakim PN dan PT telah salah menerapkan hukum.
18 Desember 2012
Majelis Hakim Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Djoko Sarwoko mengabulkan kasasi Penuntut Umum dan menyatakan Suwir Laut bersalah melanggar Pasal 39 ayat (1) Huruf C UU KUP. Tidak hanya itu Majelis Hakim juga memrintahkan Asian Agri untuk melunasi pajak terutang dengan dendanya senilai Rp. 2,5 T.
1 Februari 2013
Kejaksaan dan Suwir Laut menerima salinan putusan kasasi Mahkamah Agung. Atas diterimanya salinan putusan maka Kejaksaan bertanggung jawab untuk melaksanakan putusan sesegera mungkin.
Agustus 2013
PPATK bantu kejaksaan menelusuri aset Asian Agri yang ada di luar negeri.
6 Desember 2013
Jaksa Agung Basrief Arief akan memanggil Asian Agri saat eksekusi pada Maret 2014.
Januari 2014
Dahlan Iskan, Menteri BUMN, menunjuk PTPN untuk mengelola aset Asian Agri yang akan di eksekusi Kejaksaan. Asian Agri mengajukan Banding ke Pengadilan Pajak
30 Januari 2014
Asian Agri Group (AAG) menyatakan sanggup membayar denda pajak senilai Rp 2,5 triliun. Namun, atas dasar kelangsungan usaha, Kejaksaan Agung pun telah menyetujui pembayaran pertama Asian Agri sebesar Rp 719.955.391.304. Jaksa Agung RI Basrief Arief di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (30/1/2014), mengatakan, kekurangan denda pajak akan dibayarkan dengan dicicil setiap bulan Rp 200 miliar. Yang Rp 1,8 triliun lagi itu dibayar per bulan Rp 200 miliar dan akan berakhir bulan Oktober 2014.