Jangan Pilih Sdr. Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung
Pada hari Senin, 19 Oktober 2009 Pukul. 16.30, ICW mengirimkan surat penolakan ICW terhadap keberlanjutan jaksa agung. Untuk lengkapnya, silahkan lihat surat dibawah ini.
Jakarta, 19 Oktober 2009
No: /SK/BP/ICW/X/2009
Kepada
Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden Republik Indonesia
Di Jakarta
Perihal: Jangan Pilih Sdr. Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung
Dengan Hormat,
Salah satu agenda prioritas dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama dalam periode 2004-2009 dan periode 2009-2014 mendatang adalah pemberantasan korupsi. Dalam hal ini ujung tombak pemerintah dalam pemberantasan korupsi adalah insititusi Kejaksaan. Artinya berhasil tidaknya upaya pemerintah sangat ditentukan oleh figur seorang Jaksa Agung selalu pimpinan tertinggi institusi kejaksaan.
Namun demikian dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) kinerja pemberantasan korupsi oleh Kejaksaaan selama dijabat oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji (2007-2009) kenyataannya tidak optimal dan belum mendukung sepenuhnya upaya pemerintah untuk membersihkan korupsi di Indonesia.
Penilaian ini didasarkan pada sejumlah alasan, antara lain:
1.
Penanganan Kasus Korupsi
Kasus korupsi yang ditangani oleh kejaksaanselama era Hendarman Supandji, meskipun terjadi peningkatan secara kualitas, namun secara kualitas patut diragukan. Karena tidak banyak kasus korupsi dengan nilai kerugian negara besar dan aktor kelas kakap dan menarik perhatian publik yang berhasil dituntaskan oleh kejaksaan. Dalam catatan ICW terdapat sedikitnya 7 kasus korupsi kelas kakap yang dihentikan penyidikannnya dan 40 kasus korupsi kelas kakap yang tidak jelas perkembangannya. Upaya untuk memburu uang milik Tommy Soeharto yang diduga hasil korupsi di Guersney Inggris juga mengalami kegagalan.
2.
Laporan Keuangan dan Pengembalian Asset Hasil Korupsi
Hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama Tahun Anggaran 2006-2008 menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan di institusi Kejaksaan Agung mendapat penilaian Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau dapat dikatakan sangat buruk. Selain itu terdapat temuan hasil Audit BPK semester I 2009 atas Kekurangan Penerimaan Negara pada Kejaksaan Agung uang pengganti senilai Rp8,15 triliun (termasuk Rp3,00 triliun ekuivalen dari USD293.85 juta berdasar nilai kurs tengah BI per 30 Juni 2009 USD1=Rp10.225,00) serta denda senilai Rp30,19 miliar di lingkungan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta belum berhasil ditagih atau masuk ke Kas Negara.
3.
Reformasi di Kejaksaan
Laporan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyebutkan terdapat sembilan titik evaluasi dan masalah mendasar dalam program pembaruan Kejaksaan. Diantaranya:
a.
Kesungguhan melaksanakan reformasi patut dipertanyakan dan rencana perampingan struktur organisasi belum dilakukan secara tegas;
b.
Tidak memiliki visi dan misi yang jelas dan homogen;
c.
Kinerja pengawasan meningkat namun jaksa yang ditindaklanjuti pada proses pidana sangat sedikit, itupun karena tertangkap tangan.
d.
Tidak konsisten dan transparan dalam melakukan pembinaan karir jaksa.
e.
Pengawasan dalam disreksi penyusunan rencana dakwaan dan penuntutan belum baik sehingga menimbulkan potensi penyimpangan;
f.
Dalam kebijakan pencekalan, bagian inteligen kejaksaan tidak bekerja optimal;
g.
Dalam penanganan kasus korupsi kejaksaan dinilai belum optimal, baik dari segi penanganan perkara maupun kinerja satsus PPTPK;
h.
Pengelolaan barang bukti masih lemah;
i.
Belum mampu berkoordinasi dengan baik dengan instansi penegak hukum lain
4.
Kriminalisasi terhadap pihak yang kritis terhadap kinerja Kejaksaan
Sikap kritis yang ditujukan oleh masyarakat terhadap kinerja kejaksaan seharusnya dibalas dengan memperbaiki kinerja menjadi lebih baik, bukan justru melaporkan kepada Kepolisian karena pencemaran nama baik.Tindakan yang dilakukan oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji melaporkan aktivis antikorupsi (Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari) ke Kepolisian dengan dakwaan pencemaran nama baik (karena mempersoalkan kinerja kejaksaan dalam hal uang pengganti hasil korupsi) dapat dikatakan sebagai bentuk antikritik dan menghambat peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Tindakan kriminalisasi oleh Kejaksaan justru memberikan citra negatif pemerintah secara keseluruhan.
Dari berbagai argumentasi tersebut, kami meminta kepada Presiden:
1.
Tidak memilih Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung untuk masa jabatan 2009-2014.
Presiden harus memilih Jaksa Agung yang memiliki kriteria yang jelas (berani, tegas, bersih, cerdas berkualitas, berintegritas, berani, bebas dari kepentingan politik dan bisnis dan mempunyai komitmen jelas dalam penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan reformasi di Kejaksaan)
2.
Memprioritaskan pembersihan praktek korupsi dan reformasi di tubuh Kejaksaan
Demikian permintaan ini kami sampaikan. Atas Perhatiannya diucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
Indonesia Corruption Watch
Danang Widoyoko
Koordinator Badan Pekerja