Jateng Tak Pernah Pakai PP 110

Aparat penegak hukum baik kepolisian maupun kejaksaan di seluruh kabupaten/kota se-Jateng, tidak pernah memakai PP 110/2000 untuk menyidik dan mendakwa anggota DPRD dan kepala daerah.

Kepala Kejaksaan Tinggi Muhammad Ismail melalui Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Slamet Wahyudi, menegaskan hal itu, menanggapi tudingan diskriminatif yang diarahkan kepada penegak hukum yang ada di daerah oleh DPR RI.

Slamet mengemukakan, sejak awal, pihaknya sudah mengetahui dibatalkannya PP 110/2000 lewat Keputusan Mahkamah Agung No 04/G/HUM/2001 tanggal 9 September 2002.

Setahu kami tidak ada aparat penegak hukum daerah di Jateng ini yang memakai PP 110 itu lagi. Berkas penyidikan maupun penuntutan oleh polisi dan kejaksaan didaerah kan selalu dikoreksi di sini (Kejati), jadi kalaupun ada penyidik atau penuntut yang memakai PP 110 itu sebagai acuan, pasti kami tiadakan. Tapi setahu kami tidak ada yang pakai PP itu, kata dia.

Aspidsus menekankan, dalam mengungkap kasus pidana korupsi, acuan hukumnya bukanlah PP 110, melainkan sifat melawan hukum, yang berpijak pada pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi.

Jadi yang kami gunakan adalah sifat melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan. Tapi yo ben wae DPR-DPR itu ngributke. Wong kami sudah tahu kalau itu (PP 110/2000) sudah dicabut kok, ucapnya.

Aspidsus juga menampik bahwa aparat tebang pilih dalam penegakan hukum. Di samping hanya anggota DPRD dari parpol yang terkena, aparat di Jateng selama ini banyak menyidik perkara korupsi dari eksekutif.

Persoalannya bukan tebang pilih. Kan memang ada laporan perkara korupsi yang dilakukan anggota dewan yang total nilainya milyaran. Masak ya mau didiamkan laporan itu. Justru kalau didiamkan, itu yang namanya tebang pilih, kilahnya.

Sekjen Masyarakat Antikorupsi (MAKs) Jateng Boyamin secara terpisah menjelaskan, memang sejak pelaporan pertama kali perkara dugaan korupsi APBD yang dilakukan anggota DPRD mulai dari DPRD Jateng hingga DPRD kabupaten/kota, sudah tidak lagi memakai PP 110.

Sewaktu saya di KP2KKN Jateng, kami melapor perkara korupsi APBD Jateng 2003 yang dilakukan anggota DPRD Jateng. Itu yang pertama kalinya, kemudian melebar ke berbagai kabupaten/kota. Pelapor pun dalam melakukan pelanggaran sudah tak pakai PP 110, paparnya.

Boyamin menuding balik, langkah DPR RI dalam membuat rekomendasi DPR RI mengenai penghentian penanganan hukum kasus korupsi dana APBD oleh anggota DPRD dan kepala daerah, terutama yang dijerat dengan PP No 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD, sebagai langkah politis yang terlalu mengada-ada.

Kami yakin DPR sudah tahu kalau PP 110 itu sudah tidak dipakai lagi. Namun karena politis, mereka (DPR) kemudian menutup mata, memakai alasan PP itu untuk membuat rekomendasi ke presiden, tudingnya.

Anggota Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, secara terpisah mengungkapkan, langkah DPR tersebut merupakan upaya intervensi lembaga peradilan.

Data yang kami peroleh, DPR juga menyebarkan edaran ke pengadilan-pengadilan di Jawa Tengah terkait soal PP 110 ini. Nampaknya gerakan mereka (DPR) memang massif. Hal mungkin karena dibanding provinsi lain, Jateng merupakan daerah yang paling sukses dalam mengungkap korupsi di tubuh legislatif, ujarnya.

Ketua Komisi III DPR RI Trimedia Panjaitan, belum dapat dimintai keterangan secara terpisah. Berusaha dihubungi melalui telepon selulernya beberapa kali, tidak pernah diangkat.( yunantyo adi s/cn09 )

Sumber: Suara Merdeka Online, Kamis, 12 Oktober 2006 : 21.39 WIB

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan