Jelaskan Status Aset Tanker Pertamina [23/06/04]
Departemen Keuangan harus menjelaskan soal status aset PT Pertamina agar kontroversi menyangkut penjualan tanker Pertamina menjadi jelas. Secara prinsip hukum, aset Pertamina (termasuk tanker) merupakan aset dari Pertamina sebagai korporat yang sudah dipisahkan dari aset pemerintah secara umum.
Dengan demikian, penjualannya tidak harus melalui izin Menteri Keuangan (Menkeu) seandainya revaluasi terhadap aset tersebut sudah selesai dilakukan. Persoalannya, revaluasi aset belum dilakukan pada saat penjualan tanker dilakukan.
Demikian diungkapkan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan (Depkeu) Darmin Nasution seusai rapat kerja dengan Panitia Anggaran DPR, Selasa (22/6) di Jakarta.
Menurut Darmin, terlalu jauh untuk mengaitkan izin penjualan kapal tanker raksasa milik Pertamina dengan Undang-Undang (UU) Perbendaharaan Negara yang selama ini dijadikan dasar untuk melihat masalah penjualan tanker tersebut.
Karena aset yang dimaksud dalam UU Perbendaharaan Negara itu adalah harta kekayaan yang belum dipisahkan. Kalau yang ada di Pertamina, itu di dalam peraturan pemerintah (PP) mengenai pendirian Pertamina, yaitu Pasal 3. Di sana disebutkan bahwa pemerintah menanamkan modalnya di Pertamina yang terdiri atas seluruh aset dan kekayaan yang ada di Pertamina. Namun, kemudian dikatakan, jumlah persisnya atau nilainya akan ditetapkan dulu oleh Menkeu setelah dilakukan penilaian oleh Menkeu serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, katanya.
Jadi, sebenarnya, secara prinsip itu adalah aset dari korporat yang sudah dipisahkan. Hanya nilainya memang belum ditetapkan, ujarnya menambahkan. Ditanya apakah sebagai aset korporat yang sudah dipisahkan berarti penjualannya tidak harus lewat izin Depkeu, Darmin menjawab, Iya, seandainya nilainya itu sudah pasti.
Mengenai apakah kalau belum ada revaluasi aset, tanker Pertamina itu belum bisa dijual, Darmin mengatakan, Saya hanya membacakan aturannya. Saya belum bisa mengatakan bisa atau tidaknya itu dilakukan. Akan tetapi, itulah adanya PP tersebut.
Saat dipertegas lagi, apakah itu berarti ada pelanggaran karena tanker dijual tanpa izin Menkeu, padahal revaluasi aset belum dilakukan, Darmin menjawab, Saya tidak berani mengatakan itu. Kita harus baca baik-baik dulu ketentuan PP-nya.
Seorang pejabat Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian mengatakan, harus dibedakan antara keputusan di tingkat korporasi dan keputusan di tingkat departemen atau pemerintah. Apa benar, dalam setiap keputusan BUMN (badan usaha milik negara) yang begitu teknisnya, semua harus ikut campur. Apa itu namanya tidak kembali ke birokrasi dan sentralisasi masa lalu, di mana semua ingin mengacak-acak dan campur tangan dalam urusan BUMN, ujarnya.
Ditegaskan, sebagai korporasi, sudah ada pemisahan aset BUMN dengan aset pemerintah secara umum. Untuk aset departemen, misalnya, memang harus ada izin dari Menkeu untuk bisa menjual aset yang dimiliki. Namun, tidak demikian dengan BUMN sebagai korporasi.
Untuk BUMN sudah ada mekanismenya sendiri. Menteri pun tak bisa intervensi. Untuk pertanggungjawabannya, mekanismenya adalah melalui rapat umum pemegang saham. Demikian juga kalau ada yang tak beres dengan keuangannya, juga ada mekanisme audit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), akuntan publik, atau BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), ujar pejabat tersebut.
Campur tangan dari pihak luar, menurut dia, justru akan memunculkan persoalan baru, yakni membuat BUMN bersangkutan tidak bisa bergerak dan tidak leluasa mengambil keputusan bisnis dan komersial dalam rangka memperbaiki kinerja dan profitabilitasnya sebagaimana dituntut dalam kebijakan korporatisasi.
Mengenai ketentuan dalam UU Perbendaharaan Negara yang mengharuskan penjualan aset dengan nilai hingga Rp 10 miliar mendapatkan persetujuan dari Menkeu lebih dulu dan di atas Rp 10 miliar hingga Rp 100 miliar dengan persetujuan presiden, serta di atas Rp 100 miliar dengan persetujuan DPR, ia mengatakan, pihaknya masih mengkaji UU mana yang mendasari aturan kerja Pertamina.
Harus transparan
Secara terpisah, anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P), Ramson Siagian, mendesak pihak Pertamina mulai menjelaskan secara transparan kepada publik menyangkut keputusan bisnis yang diambil berkaitan dengan penjualan dua tanker raksasa (very large crude carrier) itu. Terutama hal-hal yang mendasari pengambilan keputusan tersebut, seperti rencana perbaikan struktur keuangan.
Penjelasan tersebut, menurut Ramson, dapat dilakukan Pertamina pada rapat dengar pendapat terbuka dengan Komisi VIII.
Menurut Ramson, direksi Pertamina perlu menjelaskan secara transparan posisi struktur keuangan Pertamina di rapat terbuka dengan DPR. Terutama dengan skenario-skenario perbaikan struktur keuangan Pertamina, agar publik mengetahui, keputusan bisnis yang dilakukan Pertamina memang merupakan keputusan yang harus diambil.
Selain itu, Pertamina juga harus membuka kondisi yang tidak menguntungkan karena masih dibebani tugas pengadaan bahan bakar minyak (BBM) meskipun UU Migas tahun 2001 sudah menyerahkan urusan itu ke mekanisme pasar.
Dengan beban itu, struktur keuangan Pertamina tak boleh terganggu karena bisa mengganggu keamanan pasokan BBM di negeri ini. Terutama, pasokan dari impor yang persentasenya 30 hingga 40 persen dari total kebutuhan dalam negeri.
Ramson mengatakan, anggota DPR dapat meminta BPK untuk segera melakukan audit jika mereka memiliki kecurigaan dalam proses penjualan tanker raksasa. Dengan demikian, dalam menyikapi penjualan tanker raksasa milik Pertamina itu, tidak hanya terkesan retorika.
Secara konstitusional, DPR bisa meminta BPK melakukan audit. Selanjutnya, hasil tersebut dapat diketahui publik. Jika benar ada kesalahan direksi, maka langsung bisa diusulkan diganti, ujar Ramson.
Ia juga meminta kepada pihak pemerintah untuk menempatkan posisi Pertamina dengan aset yang jelas sebagai konsekuensi perubahan status menjadi perseroan. Setelah posisi itu jelas, pemerintah sebagai pemegang saham bisa menentukan target marjin atau keuntungan yang jelas. (BOY/har/fey/tat)
Sumber: Kompas, 23 Juni 2004