'Jeruk Makan Jeruk Memang Ada di Polri Ha...ha...ha...'
Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar, Senin (21/2), mengakui masih adanya pungutan liar terhadap masyarakat yang dilakukan polisi maupun pungutan dari polisi ke polisi.
Kapolri mencontohkan pungutan liar kepada masyarakat yang melaporkan kasus tertentu dan pungutan liar di jalan-jalan terhadap pengemudi kendaraan bermotor.
Sedangkan pungutan terhadap sesama polisi di antaranya terlihat dengan masih adanya perdagangan jabatan, dan membayar biaya tinggi ketika memasuki sekolah polisi.
Media yang sehari-hari meliput di kepolisian, melihat masih banyaknya pungutan liar di instansi aparat penegak hukum ini baik yang dilakukan anggota Polri terhadap masyarakat maupun yang dilakukan terhadap sesama polisi.
Seorang perwira menengah Polri, misalnya, pernah menanyakan kepada Media apakah kenal dekat dengan Kapolri. Dia berharap Media membantu untuk melobi Kapolri agar dia bisa masuk ke Sekolah Perwira Tinggi tanpa membayar uang yang nilainya bisa ratusan juta rupiah.
Saya kan perwira menengah dari kalangan kebanyakan, sehingga tidak punya uang cukup. Kalau begini terus, saya tidak pernah punya kesempatan untuk menjadi perwira tinggi. Tolong mas, harapnya.
Adanya perdagangan jabatan seperti diakui Kapolri, juga ditemui Media. Sekitar dua bulan lalu, seseorang yang mengaku penghubung seorang perwira pertama meminta tolong dihubungkan dengan seorang jenderal. Tujuannya, agar rekannya perwira pertama itu yang kini menduduki posisi 'kering', direkomendasikan untuk dipindahkan ke tempat 'basah'.
Kita ada dananya, bisa diaturlah, katanya.
Istilah jeruk makan jeruk juga disematkan kepada polisinya polisi (anggota Provost atau Pusat Pengamanan Internal/Puspaminal) yang meminta uang kepada polisi yang melakukan pelanggaran. Jeruk makan jeruk memang ada (di Polri), hahaha..., ungkap seorang anggota Puspaminal dalam sebuah obrolan dengan Media.
Pungutan terhadap masyarakat juga masih terjadi di lingkungan Polri. Tiga orang mantan tahanan Rutan Mabes Polri mengaku pernah dimintai Rp100 juta oleh seorang penyidik agar penahanannya bisa ditangguhkan.
Kita sempat tawar-menawar, tetapi karena menjelang hari Raya Idul Fitri, kita tidak memberi uang sebanyak itu. Ya, cukup untuk THR saja, kata seorang dari tiga tahanan itu yang kini tengah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Seorang istri tahanan kasus perbankkan di Mabes Polri juga pernah meminta saran bagaimana caranya agar suaminya ditangguhkan penahanannya, tetapi tidak membayar sampai Rp100 juta. Biaya Rp100 juta untuk penangguhan penahanan diketahuinya dari seorang tahanan yang berhasil ditangguhkan dengan membayar Rp100 juta.
Uang kita tidak sampai Rp150 juta, kalau dibayarkan Rp100 juta, bagaimana di pengadilan nanti? Kita jadi tidak punya uang, tuturnya.
Pungutan liar juga terjadi di Rutan Mabes Polri. Seorang pria di Mabes Polri mengaku sering membantu tahanan di rutan tersebut agar memiliki fasilitas seperti telepon seluler yang dalam aturannya dilarang.
Harus bayar Rp5 juta per bulan kepada petugas tahanan, katanya.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Aryanto Anang Budiarjo ketika dimintai konfirmasi kemarin tidak membantah adanya kemungkinan pungutan liar seperti yang pernah ditemui Media. Ya, tetapi itu kan baru sebatas dugaan, karena belum ada data-data yang detail. Fakta-fakta itu kan harus dikemukakan oleh orang yang dirugikan, tuturnya.
Anang mengakui jika fakta-fakta itu benar, memberantas pungutan liar bukan persoalan mudah, karena jarang sekali ada pihak yang berani mengungkapkan secara terbuka. Keengganan itu, tutur Anang, bisa dimaklumi karena jika dikemukakan secara terbuka, orang yang memberikan sejumlah dana kepada polisi bisa dikenai tuduhan suap.
Nah, jika demikian, mungkinkah pungutan liar bakal hilang di tubuh Polri? (Fud/J-3)
Sumber: Media Indonesia, 23 Februari 2005