Joko Tjandra Kabur Sehari Sebelum Vonis
Naik pesawat carteran dari Cengkareng ke Papua Nugini menggunakan paspor asli.
Joko Soegiarto Tjandra alias Joker, yang kini dicari untuk dijebloskan ke penjara, dipastikan berada di Kota Port Moresby, Papua Nugini. Hal tersebut disampaikan oleh juru bicara Kejaksaan Agung, Jasman Pandjaitan, tadi malam.
Menurut Jasman, terpidana dua tahun penjara dalam kasus pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali itu meninggalkan Jakarta melalui Bandar Udara Halim Perdanakusuma pada 10 Juni lalu. Itu artinya, ia kabur hanya satu hari sebelum vonis dijatuhkan oleh majelis hakim peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
“Joko terbang sekitar pukul 20.00 WIB,” kata Jasman. “Dia pakai pesawat carteran CL-604 dengan nomor penerbangan N720AS.” Pemilik PT Era Giat Prima itu diketahui meninggalkan Tanah Air bersama dua rekannya, yakni IG dan HS. Ia keluar menggunakan paspor asli atas namanya sendiri dengan nomor P806888.
Keterangan Jasman itu bertolak belakang dengan pernyataan resmi sebelumnya yang dikeluarkan oleh Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, R. Muchdor. Menurut dia, keberadaan Joko Tjandra tidak terdeteksi sama sekali oleh pihak Keimigrasian.
“Tidak terdeteksi keluar dari pintu mana pun,” ujarnya, Rabu lalu. “Sebelum dan sejak cekal diberlakukan pada 11 Juni, semua data dan laporan pintu keluar imigrasi tidak menemukan adanya nama Joko Tjandra.”
Bahkan Jaksa Agung Hendarman Supandji pun sempat mengatakan bahwa Joko Tjandra sudah meninggalkan Indonesia sejak lima bulan yang lalu. “Kami panggil sekali tidak datang. Kami cari ke rumahnya tidak ada,” katanya.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Marwan Effendy mengatakan, meski tak terdeteksi aparat Imigrasi, sangat mungkin Joko bisa lolos ke luar negeri. “Dia punya bisnis di perbatasan Papua,” ujarnya. “Dia juga punya saudara di Papua Nugini.” Di Singapura pun, Joko memiliki usaha dan kerabat.
Selain masih harus menguber Joko, Kejaksaan Agung kini dihadapkan pada sikap Bank Permata yang tak bersedia mencairkan duit cessie senilai Rp 546 miliar yang tersimpan di bank tersebut. Sesuai dengan putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung, uang itu harus dirampas dan menjadi hak negara.
Ketua Mahkamah Agung Harifin Andi Tumpa mengingatkan semua pihak agar mematuhi dan melaksanakan putusan itu. “Kalau menolak, dianggap menghalangi eksekusi,” kata Harifin di Mahkamah Agung kemarin. “Kejaksaan bisa mengajukan gugatan perdata atas Bank Permata.”
Kuasa hukum Bank Permata, Luhut M.P. Pangaribuan, menolak rencana eksekusi tersebut. Sebab, menurut dia, ada kenyataan (fakta) hukum lain yang menyatakan dana itu adalah milik Bank Bali, yang kemudian merger bersama beberapa bank lain menjadi Bank Permata.
Menurut Luhut, fatwa Mahkamah Agung pada 2 Maret 2001 menyatakan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional berhak membatalkan perjanjian cessie. Ini menjadi dasar bahwa dana tersebut bukan lagi milik PT Era Giat Prima, melainkan hak Bank Permata. SUTARTO | ANTON SEPTIAN | CORNILA DESYANA
Sumber: Koran Tempo, 19 Juni 2009