Joko Tjandra Tak Hadir

Terpidana dua tahun penjara dalam perkara korupsi pengalihan hak tagih piutang (cessie) Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, untuk kedua kalinya tidak memenuhi panggilan kejaksaan. Senin (22/6), justru pengacara Joko, OC Kaligis, yang datang ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Kaligis menjelaskan, mewakili kliennya, ia mengajukan permintaan penundaan eksekusi terhadap putusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung selama sebulan. Kliennya meminta eksekusi ditunda dengan alasan sedang menyelesaikan bisnisnya di beberapa negara.

Diwartakan, tanggal 10 Juni 2009 malam, Joko Tjandra terbang ke Papua Niugini menggunakan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta (Kompas, 19/6).

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, melalui layanan pesan singkat (SMS) kepada Kompas, menyebutkan, kejaksaan mengimbau keluarga dan penasihat hukum Joko untuk mendesak Joko Tjandra kembali ke Indonesia. ”Lalu melaksanakan putusan PK itu,” katanya, Senin di Jakarta.

Menanggapi permintaan Kaligis itu, Kepala Kejari Jaksel Setia Untung Arimuladi menyatakan akan mempelajarinya lebih dulu. ”Secepatnya kami akan bersikap,” katanya.

Kaligis menyatakan, kliennya juga siap mengajukan PK atas putusan PK MA yang terakhir. Apakah artinya PK akan diajukan atas putusan PK MA? ”Itu istilah Anda,” kata Kaligis.

MA pada 11 Juni 2009 mengabulkan permohonan PK Kejaksaan. Joko Tjandra dihukum dua tahun penjara dan denda Rp 15 juta. Barang bukti berupa uang yang ada di rekening penampungan Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.

Sebelumnya, dalam putusan kasasi MA, Joko Tjandra lepas dari dakwaan. Bahkan, barang bukti Rp 546 miliar dikembalikan kepadanya.

Menurut Kaligis, pengajuan upaya hukum luar biasa, berupa PK, merupakan hak terpidana atau ahli warisnya. Hal itu mengacu pada Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Secara terpisah, Senin, Kuasa Hukum Bank Permata, Luhut MP Pangaribuan dan Pradjoto, datang ke Kejari Jaksel. Mereka menemui Kepala Kejari Jaksel untuk menyampaikan permintaan perlindungan hukum terhadap Bank Permata, terkait hak Bank Permata atas uang Rp 546 miliar yang tersimpan di rekening penampungan. Bank Permata adalah bank hasil merger beberapa bank, termasuk Bank Bali.

Menurut Pangaribuan dan Pradjoto, ada putusan perdata dan pidana yang kontradiktif mengenai kepemilikan uang itu. Saat kasasi MA memutuskan uang itu dikembalikan kepada Joko S Tjandra, Bank Permata meminta fatwa MA. Fatwa tanggal 28 Juli 2004 menyatakan, uang itu milik Bank Bali. Kini, putusan PK MA menyatakan uang itu dirampas untuk negara. ”Kami menunggu kejaksaan untuk berkoordinasi dengan Departemen Keuangan, menentukan siapa sebenarnya pemilik uang itu,” kata Pangaribuan. (idr)

Sumber: Kompas, 23 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan