Jokowi Harus Batalkan Rencana Revisi PP N0 99/2012
Jakarta, antikorupsi.org (30/10/2015) – Polemik penegakan hukum dalam pemerintahan satu tahun Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) seolah terus menjadi perdebatan yang kontroversial. Mulai dari isu kriminalisasi dua mantan komisioner non aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), praperadilan, sampai terakhir desakan DPR untuk melakukan revisi UU No 30/2002 tentang KPK.
Kali ini wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 99.2012 tentang Hak Warga Binaan kembali mencuat. Demikian diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Lalola Easter dalam diskusi ‘Satu Tahun Jokowi dan Masa Depan KPK’ di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Kamis (29/10/2015).
Menurut Lola, PP No 99/2012 merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang merupakan regulasi yang progresif dalam hal pemberantasan korupsi. Sebab menurut PP tersebut ada beberapa syarat yang ditetapkan untuk pemberian remisi kepada narapidana. Yaitu kewajiban untuk membayar denda dan uang pengganti, bersedia menjadi saksi pelaku yang bekerjasama, dan mendapatkan pertimbangan tertulis dari lembaga terkait yang menangani perkara.
Saat ini muncul wacana untuk menghapus salah satu syarat tersebut yaitu keharusan menjadi saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator). Padahal syarat ini sangat penting untuk mengungkap pelaku utama perkara korupsi,” jelas lola.
Faktanya juga selama ini tidak sedikit koruptor yang mendapatkan remisi lebih dari dua kali masa hukumannya. Bahkan ada juga koruptor yang mendapatkan masa bebasnya tanpa melewati setengah masa pidananya.
Lola menegaskan, korupsi adalah masalah krusial, maka untuk mengungkapnya dibutuhkan orang-orang yang kooperatif dan mampu memberikan informasi dalam masa penyidikan ataupun sebelum surat tuntutan dibacakan. Maka jika syarat ini dihapuskan, pengungkapan kasus-kasus besar atau koruptor kakap hanya akan menjadi mimpi. “Kita hanya akan bermimpi untuk menangkap aktor-aktor dibalik korupsi yang dapat dijerat lagi,” tegasnya.
Akhirnya, timbul pertanyaan, apakah presiden Jokowi mampu untuk mengontrol kestabilan hukum dan jajaran aparat dibawahnya. Maka presiden harus memastikan bahwa revisi PP No 99/2012 tidak akan terjadi atau tidak akan dilakukan. Pasalnya bila revisi tersebut dilakukan maka hanya akan menimbulkan kontraproduktif dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Bukti kontraproduktifnya rencana revisi PP tersebut, adalah rendahnya vonis untuk koruptor sepanjang tahun 2014. Dari 479 terdakwa, sebanyak 372 terdakwa (77,6 %) divonis dibawah 4 tahun. Sedangkan rerata vonis untuk koruptor adalah 2 tahun 8 bulan penjara,” tutup Lola. (Ayu-Abid)