Kabinet Antikorupsi?
Kontrak jabatan politik dari enam menteri yang dilantik dalam kaitan dengan perombakan kabinet terbatas pada 6 Desember juga mencantumkan agenda pemberantasan korupsi.
Kontrak jabatan politik dari enam menteri yang dilantik dalam kaitan dengan perombakan kabinet terbatas pada 6 Desember juga mencantumkan agenda pemberantasan korupsi. Artinya, kalau mereka melakukan atau terlibat dalam praktek korupsi atau membiarkan praktek korupsi berlangsung dalam instansi yang dipimpinnya, bukan saja mereka harus dipecat, melainkan juga harus dihukum. Jelas itu merupakan bagian dari agenda reformasi yang secara bersemangat hendak terus diwujudkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama setahun terakhir memimpin negeri ini.
Sebagai komandan pemerintah, SBY dalam konteks ini sudah dan terus berupaya menginstruksikan secara tertulis kepada para anak buahnya untuk memerangi salah satu musuh utama bangsa ini, yakni korupsi. Atau, sebagai pembantu kepala rumah tangga, para menteri diminta untuk sekaligus bertugas membersihkan rumah dari kotoran yang sudah berbau busuk itu. Maka, untuk para menteri yang baru saja dilantik itu, yang sudah pasti juga akan dijadikan acuan dalam menilai keberhasilan para menteri lainnya, dengan mudahlah publik menilai indikator kinerjanya, yakni keberhasilannya memberantas korupsi dalam departemen yang dipimpinnya.
Agenda ini sudah pasti akan selalu didukung oleh umumnya masyarakat bangsa. Namun, tak sedikit pula yang bersikap skeptis, menganggap itu lebih sebagai retorika kekuasaan untuk memperoleh simpati dari rakyat. Soalnya, secara teoretis, seseorang yang ditugasi membersihkan atau menyucikan sesuatu bisa mewujudkannya apabila yang bersangkutan terlebih dulu bebas dari najis. Dalam analogi lain, sapu pembersih kotoran haruslah terlebih dulu bersih karena sapu yang kotor justru akan mengotori lantai yang disapunya.
Tapi SBY tentu juga memiliki argumen yang bisa meyakinkan dirinya untuk percaya terhadap perwujudan dari agenda itu melalui para menterinya. Dalam konteks ini, menurut saya, setidaknya ada dua asumsi dasar yang menjadikan SBY bisa mempercayai para pembantunya itu untuk mengemban amanah mulia ini. Pertama, SBY memposisikan atau menganggap para pembantunya ini sebagai orang-orang bersih, bebas dari najis korupsi, serta memiliki kemampuan untuk melakukan agenda strategis itu.
Barangkali sebelum memastikan mereka menjadi pembantunya, SBY sudah terlebih dulu mendeteksi latar belakang mereka dan selanjutnya yakin betul bahwa para pembantunya itu memang layak menjadi teladan pemberantasan korupsi. Kalau latar belakangnya politikus, pastilah mereka dianggap politikus bersih--bukan sebaliknya, politikus busuk--termasuk sudah diidentifikasi bebas dari praktek percaloan di Senayan. Kalau mantan pejabat, pastilah bersih, dan sebagainya.
Kedua, SBY berprasangka baik (husnudzon) bahwa kalaupun para pembantunya itu pernah terlibat atau terkontaminasi najis korupsi, saatnyalah melakukan tobat nasuha untuk selanjutnya bersama-sama memberantas korupsi. Anggapan kedua ini sekaligus melakukan penolakan terhadap teori sosial label (labeling theory) yang menyatakan bahwa orang yang terbiasa berbuat jahat akan sulit meninggalkan kejahatannya. Tampaknya, bagi SBY, semua manusia, apalagi para menteri yang ditugasi, pastilah akan berupaya menjadikan diri mereka lebih terpuji dengan memberikan contoh dan sekaligus berjihad melawan korupsi.
Bagi mereka yang mau berprestasi, memang menjabat sebagai menteri atau berada pada posisi jabatan apa pun merupakan kesempatan untuk mewujudkan perbaikan terhadap bangsa ini. Apalagi dalam masyarakat yang budayanya berwatak paternalistik seperti Indonesia ini. Kebijakan, praktek, atau contoh-contoh dari para elite yang sedang berada pada kekuasaan sangat berpengaruh dan dijadikan acuan oleh masyarakat. Tepatnya, perubahan untuk perbaikan seharusnyalah dimulai dari atas, untuk selanjutnya diarahkan untuk menjadi agenda bersama masyarakat.
Tapi harapan seperti itu kerap hanya berupa mimpi belaka. Tak bisa dimungkiri, berbagai bukti selama ini menunjukkan, dan ini pulalah yang merusak cara pandang dan moralitas bangsa ini, bahwa menjadi pejabat adalah kesempatan untuk memperoleh sesuatu dari jabatannya dengan berbagai cara. Mereka selalu merasa tidak cukup dengan imbalan yang diberikan secara resmi dengan istilah gaji, tunjangan, serta berbagai fasilitas dan kemudahan lainnya. Mereka terus menunjukkan keserakahan untuk kian memperkaya diri, keluarga, dan konco-konco-nya. Menjadi pejabat penting, apalagi setingkat menteri, pun dijadikan kesempatan untuk memberdayakan keluarga dan teman-temannya, baik melalui distribusi jabatan-jabatan yang berada dalam wilayah kekuasaannya maupun lewat proyek-proyek yang berada di bawah kendalinya.
Maka tidak mengherankan kalau semasih dan setelah menjadi pejabat, gaya hidup mereka berubah dan hartanya bertambah banyak, jauh melampaui batas-batas gaji dan berbagai tunjangan yang diberikan secara resmi. Cara-cara perolehan dan penempatan hartanya pun sering tak bisa terdeteksi, sehingga sulit untuk menyatakan bahwa yang bersangkutan telah menyalahgunakan jabatan atau kekuasaannya untuk memperkaya diri, keluarga, dan konco-konco-nya. Fenomena seperti itu kemudian dianggap sebagai hal yang biasa, sehingga menjadi pejabat dianggap sebagai impian bukan saja bagi yang bersangkutan, melainkan juga bagi keluarga, para teman, dan kelompoknya.
Para pihak yang sudah berjuang atau merasa berjasa dalam menjadikan seseorang sebagai pejabat, termasuk partai politik, pastilah akan berharap sesuatu kepada yang bersangkutan yang, jujur saja, akan selalu terkait dengan materi. Soalnya, siapa pun tahu bahwa seorang pejabat memiliki kewenangan untuk mengatur atau menyiasati sesuatu yang dapat memberikan keberuntungan materi terhadap pendukungnya.
Kalangan masyarakat pun tampaknya selalu merasa aneh kalau ternyata seorang pejabat, apalagi menteri dan/atau kepala daerah, ternyata tidak bergelimang kekayaan. Yang bersangkutan pun harus siap-siap dikritik atau diintrik untuk dijatuhkan oleh kelompok pendukungnya kalau tidak berhasil memberikan keberuntungan materi, dengan anggapan tidak berhasil mengemban amanah atau dianggap hanya makan sendiri. Maka tidak mengherankan kalau tak sedikit elite partai politik yang kecewa terhadap kadernya di parlemen sekarang ini seraya berupaya atau mengusulkan untuk menggantinya.
Apa yang mau dikatakan di sini adalah harapan terhadap para menteri untuk melakukan pemberantasan korupsi masih akan berhadapan dengan persoalan conflict of interest, yang ketegangannya tidak hanya berada dalam diri pejabat yang bersangkutan, tapi juga berkaitan dengan harapan dari kelompok atau kekuatan yang berada di belakang pejabat yang bersangkutan. Sedangkan SBY sendiri sudah pastilah tak akan pernah mampu mendeteksi apa-apa yang dilakukan oleh para pembantunya dalam mengelola lembaga yang dipimpinnya sehari-hari. SBY pun, pada tingkat tertentu, sulit dikatakan memiliki instrumen atau orang-orang di intern birokrasi kementerian untuk memastikan bahwa pembantunya itu sudah menjalankan amanah pemberantasan korupsi.
Justru yang terjadi hingga saat ini, harus diakui, di intern birokrasi pemerintahan, di dalam lingkungan instansi atau departemen, praktek-praktek berdasarkan kebiasaan lama, dengan jaringan-jaringan konspirasi yang sudah mapan, masih terus berlangsung. Para menteri yang hadir dan/atau berganti niscaya berada dalam kondisi seperti itu dan memiliki kecenderungan untuk larut atau menikmatinya. Dalam kaitan dengan hal itu, barangkali yang bersangkutan tidak melakukan korupsi, tapi praktek korupsi, kolusi, dan konspirasi yang terjadi di lingkungannya bukan saja sulit diberantas, melainkan juga terbuka kemungkinannya untuk dimanfaatkan dalam rangka mencapai tujuan yang terselubung, termasuk yang diharapkan oleh kelompok (partai) pendukungnya.
Lalu? Ya, sudahlah, anggap saja berita kontrak politik para menteri untuk memberantas korupsi itu hanya sekadar penghibur publik di tengah reshuffle kabinet terbatas yang masih belum memuaskan banyak pihak. Atau, kalau SBY sungguh-sungguh berkeinginan memberantas korupsi, dia harus mau lebih terbuka untuk memberikan kesempatan kepada kelompok independen, baik kalangan lembaga swadaya masyarakat, peneliti, maupun orang-orang kampus yang masih idealistis, untuk melakukan pemantauan, pengawalan, atau pengawasan secara langsung di dalam instansi-instansi pemerintah. Tentu ia harus terlebih dulu menjamin adanya transparansi pengelolaan pemerintahan. Bila tidak, lagi-lagi, tak perlu heran kalau kontrak politik menteri baru itu hanya menjadi semacam lip service.
La Ode Ida, Sosiolog dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 12 Desember 2005