Kabinet Pepesan Kosong
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid kedua dalam rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan memasuki tahun ketiga pada Oktober 2011. Namun hampir tak ada catatan peningkatan kinerja pemerintahan selama periode KIB kedua ini. Evaluasi yang disampaikan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mengungkapkan bahwa hanya kurang dari 50 persen instruksi presiden yang dilaksanakan oleh kementerian (7 Juli). Diakui atau tidak, hal ini membuktikan kabinet yang dibentuk Presiden tidak berjalan efektif.
Jika ditelisik ke belakang, evaluasi UKP4 pada Januari 2011 juga memperlihatkan hal yang kurang-lebih sama. Dari 47 kementerian dan lembaga yang dievaluasi oleh UKP4, setidaknya sekitar 10 persen dari kementerian dan lembaga tersebut mendapat rapor merah. Artinya, tidak ada prestasi atau pencapaian signifikan yang diraih oleh kabinet.
Kabinet yang dibentuk pemerintahan SBY jilid kedua ini sebetulnya telah diramalkan akan menemui kebuntuan dalam menjalankan agenda pemerintah karena dibangun di atas fondasi koalisi yang sangat rapuh. Akibatnya, pemerintahan berjalan terseok-seok tanpa agenda yang jelas. Kabinet dibentuk bukan atas dasar kebutuhan riil, melainkan hanya untuk mengakomodasi keinginan politik "bagi-bagi kursi" anggota koalisi. Akibatnya, secara kuantitas kebutuhan kursi kabinet hanya untuk memenuhi "jatah" bagi koalisi, sedangkan kualitas kabinet sebagian besar diisi oleh orang yang tidak memiliki kompetensi dan kapabilitas yang memadai. Dampaknya akan mudah ditebak, kinerja kementerian tertentu akan terlihat biasa-biasa saja atau bahkan mengalami kemunduran. Hal ini tentu membahayakan bagi keberlangsungan pemerintahan, yang seharusnya mampu menyokong kerja pemerintah.
Dalam konteks penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, selama 2011 Presiden telah mengeluarkan setidaknya tiga instruksi presiden untuk mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus-kasus Hukum dan Penyimpangan Pajak; kedua, Inpres Nomor 2 Tahun 2011 tentang Percepatan Penanganan Kasus Bank Century; serta ketiga, Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011. Ketiga instruksi ini tentu di luar inpres yang diucapkan secara langsung di hadapan publik, yang berkaitan dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Inpres Nomor 1 dan 2 Tahun 2011 secara spesifik memberikan penugasan kepada empat institusi untuk mempercepat penanganan kasus korupsi mafia pajak dan kasus Bank Century, yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Keuangan, kepolisian, serta kejaksaan. Dalam kurun waktu enam bulan sejak inpres dikeluarkan, penanganan terhadap kedua kasus tersebut hampir tidak menunjukkan perkembangan apa pun. Kasus mafia pajak mengalami stagnasi karena hanya menjerat pelaku kecil, dan seakan melupakan pelaku yang sesungguhnya (big fish). Termasuk dalam penanganan kasus Bank Century, yang justru mengalami kemunduran karena dianggap bukan merupakan tindak pidana korupsi.
Inpres yang secara langsung menugasi wakil presiden melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian atas percepatan penyelesaian kasus-kasus hukum serta penyimpangan pajak tidak berdampak apa pun terhadap pelaksanaannya. Ada banyak fakta yang memperlihatkan kondisi pemerintah yang seolah kehilangan arah dalam upaya memberantas korupsi.
Pertama, Inpres Nomor 9 Tahun 2011 yang dijadikan dasar bagi pemerintah melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi pada 2011 ini justru mengalami keterlambatan dalam pengesahannya (Mei 2011). Padahal seharusnya inpres tersebut sudah disahkan pada 2010 sebagai keberlanjutan dari Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009.
Kedua, keterlambatan pengesahan inpres ini berlanjut pada banyaknya kementerian/lembaga yang tidak mengetahui keberadaan inpres, padahal instruksi ini ditujukan kepada hampir semua institusi, yakni jajaran Menteri KIB jilid II, kepolisian, kejaksaan, TNI, lembaga nonkementerian, dan para kepala daerah.
Minimnya pencapaian kabinet dalam menjalankan inpres sesungguhnya telah menunjukkan bahwa kabinet yang dibentuk tak ubahnya seperti pepesan kosong. Maka tidak mengherankan jika inpres yang diterbitkan hanya menjadi macan kertas tapi miskin dalam implementasi.
Kinerja pemerintahan SBY sesungguhnya telah terlihat dari pencapaian kinerja para pembantunya. Presiden sebagai pemimpin tentu akan mengambil alih semua kesalahan dan kekeliruan yang terjadi, bukan justru mengambil sikap menghindar dan mengambil posisi aman. Kesalahan karena menempatkan orang-orang yang tidak kapabel di sekitar Presiden telah menunjukkan kelemahan dan kepengecutan Presiden sendiri. Presiden harus berani mengambil posisi untuk memecat para pembantunya yang memiliki kinerja buruk. Sebab, sebagai pemimpin negara, Presiden seharusnya mampu bersikap tegas terhadap tekanan politik dalam pengisian kabinet hingga pada tataran implementasi kebijakan.
Karakter pemimpin yang lemah justru akan membuat pemerintahan mandul atau bahkan mengalami kemunduran. Situasi ini tentu saja sangat merisaukan semua pihak yang concern dalam upaya menuntaskan amanat reformasi, terutama dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Jika Presiden tidak peka terhadap situasi ini, dikhawatirkan akan memancing gerakan-gerakan untuk menggulingkan pemerintahan sebagaimana yang pernah dilakukan pada 1998 oleh kelompok reformis, termasuk mahasiswa, karena dianggap telah melenceng dari cita-cita reformasi dan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Reza Syawawi, PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 27 Juli 2011