Kala Korporasi Terjerat Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan dua korporasi, PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati, sebagai tersangka korupsi, dua pekan lalu. Mereka disangka terlibat korupsi proyek pembangunan dermaga bongkar di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang, Aceh, selama 2006-2011. Dari nilai proyek sebesar Rp 793 miliar, nilai kerugian negara mencapai Rp 313 miliar. Dugaan penyimpangan yang dilakukan adalah penunjukan langsung, rekayasa dalam penyusunan harga perkiraan sendiri, dan penggelembungan harga. KPK juga memblokir rekening bank PT Nindya Karya berisi Rp 44,68 miliar, yang merupakan laba dari proyek tersebut.
Penetapan PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati pada akhirnya menambah panjang daftar korporasi yang dijerat KPK. Pada Juli 2017, KPK menetapkan PT Duta Graha Indah, yang berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE), sebagai tersangka dalam proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus di Universitas Udayana pada 2009 dan 2010. Dari nilai proyek sekitar Rp 138 miliar, negara dirugikan sekitar Rp 25 miliar. Pada November 2017, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum PT NKE membayar uang pengganti sebesar Rp 14,4 miliar.
Penetapan korporasi sebagai tersangka korupsi sangat dimungkinkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Regulasi ini menegaskan bahwa subyek hukum pelaku korupsi tidak hanya orang, tapi juga badan hukum atau korporasi. Dalam hal korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Namun, berbeda dengan subyek orang, pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanyalah pidana denda.
Upaya menjerat korupsi korporasi pada dasarnya sudah umum dilakukan di beberapa negara. Cina pada 2013 menjatuhkan denda kepada perusahaan farmasi Inggris, GlaxoSmithKline, sebesar US$ 490 juta (sekitar Rp 4,9 triliun dengan kurs saat itu) setelah dinyatakan bersalah menyuap dokter dan pejabat rumah sakit. Pada 2014, Amerika Serikat menghukum perusahaan energi raksasa Alstom dengan membayar denda US$ 700 juta (sekitar Rp 8 triliun) karena menyuap berbagai pejabat negara, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia, kejaksaan bahkan lebih dulu menjerat korupsi yang dilakukan korporasi. Pada 2010, kejaksaan menyeret PT Giri Jaladhi Wana (GJW) ke meja hijau karena terlibat dalam korupsi pengelolaan Pasar Sentra Antasari, Banjarmasin. Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin, yang diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Banjarmasin, akhirnya menyatakan GJW terbukti korupsi dan menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 1,3 miliar serta penutupan sementara GJW selama enam bulan. Mahkamah Agung kemudian menguatkan putusan tersebut pada 2013.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, terdapat lima pola korupsi yang melibatkan atau untuk kepentingan korporasi, yaitu suap untuk mendapatkan proyek, suap untuk mempengaruhi kebijakan, suap untuk penanganan perkara hukum atau perpajakan, suap berkaitan dengan proses pengurusan perizinan atau pemberian rekomendasi, dan korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara.
Berbeda dengan kejaksaan, KPK baru berani menetapkan korporasi sebagai tersangka setelah lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Peraturan ini menetapkan syarat sebuah korporasi dapat dijerat dengan tindak pidana, yaitu korporasi mendapatkan keuntungan dari sebuah tindak pidana, membiarkan terjadinya tindak pidana, dan tidak mencegah terjadinya tindak pidana. Untuk mencegah korporasi menghindar dari proses hukum, maka penegak hukum dapat menyita korporasi sejak awal penyidikan dan melelang aset sebelum putusan hakim dijatuhkan.
Jumlah korporasi yang akan menjadi tersangka dipastikan bertambah mengingat KPK telah menyatakan akan terus mengejar keterlibatan korporasi yang melakukan korupsi. ICW mencatat, 25 kasus yang ditangani oleh KPK seharusnya tidak hanya dapat menjerat individu selaku pegawai, direktur, atau pengendali, tapi juga menjerat korporasi sebagai badan hukum.
Sejumlah kasus korupsi korporasi ini harus menjadi momentum bagi korporasi lain untuk membangun pakta integritas atau sistem pencegahan korupsi di lingkungan internal mereka agar korporasi atau jajaran pejabatnya tidak tersangkut kasus korupsi. Sistem anti-korupsi yang dibangun setidaknya dapat memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh direksi maupun komisaris tidak mengandung unsur penyimpangan (fraud) atau konflik kepentingan. Proses pengambilan keputusan korporasi harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan tidak menyalahi undang-undang. Korporasi juga harus melarang adanya alokasi dana khusus untuk suap atau gratifikasi kepada penyelenggara negara.
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
-----------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 23 April 2018, dengan judul "Kala Korporasi Terjerat Korupsi".