Kampanye Dini Calon Presiden
Luky Djani ? Wakil Koordinator ICW
Saat perayaan imlek kemarin, kita berulangkali menyaksikan para calon presiden menghiasi layar kaca, berlomba-lomba memberi ucapan selamat Imlek. Dilihat dari penampilan mereka, kita pun mafhum betapa bersemangatnya para calon presiden itu berpromosi, mencuri perhatian publik. Mari kita simak iklan tersebut satu persatu.
Calon A mendesain iklan ?kampanye?-nya dengan sederhana, hanya menampilkan gambar sekelompok orang berkerumun di bawah pohon besar. Ia mengucapkan : ?Semoga keberuntungan menyertai kita semua (mengatupkan kedua tangannya), Bersatu untuk maju? (mengacungkan kepalan tangannya).
Lain lagi dengan calon B. Latar belakangnya, kerumunan orang, dan anak-anak kecil yang menandak-nandak senang, dibawah rintik-rintik hujan. Di tengah kegembiraan itu, muncul tulisan ?semoga hujan sehari membawa rejeki di tahun ini?. Lalu, muncullah B, berdiri dengan tenang dan tanpa banyak tutur kata mengucapkan ?Selamat tahun baru Imlek, Gong Xi Fa Cai?.
Ada lagi, calon C yang tampil dengan narasi yang sangat panjang. Intinya, ia menganjurkan untuk menghargai perbedaan dan menjadikannya sebagai modal untuk berkembang. Tentunya disertai ucapan selamat Imlek.
Yang menarik, iklan ucapan selamat itu mengatasnamakan pribadi. Tak ada embel-embel kedudukannya sebagai pejabat tinggi negara ataupun ketua umum partai.
Lantas, apakah iklan layanan dari para calon presiden ini bisa kita kategorikan sebagai kampanye dini?
Kita tahu, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di berbagai daerah sangat tegas menindak peserta pemilu. Baik partai politik, maupun calon Dewan Perwakilan Daerah, yang berkampanye sebelum waktunya. Di Banjarmasin, misalnya. Tujuh belas pemimpin partai dijadikan tersangka karena berkampanye di luar jadwal. Di Serang, Panwaslu mencurigai adanya kampanye terselubung partai dalam bentuk pengajian (Kompas, 13 Januari 2004).
Agar terpilih, sudah sewajarnya jika kandidat berpromosi untuk mengkomunikasikan visi dan programnya kepada pemilih. Beragam strategi, dan medium untuk berkampanye digunakan, demi menarik perhatian pemilih. Tapi, politikus umumnya terjebak dalam pandangan bahwa yang lebih populer, pasti akan menang dalam pemilu. Akibatnya, kampanye dilakukan dengan jor-joran. Poster, bendera dan spanduk terpampang di mana-mana, blocking time di media elektronik dan cetak sesering mungkin, bahkan kalau perlu mengerahkan massa yang membludak.
Padahal, kepopuleran bukan jaminan untuk menang. Faktor penentu adalah platform dan isu kebijakan dari kandidat, kinerjanya-terutama yang memegang jabatan publik (incumbent), track records serta jaringan dan infrastruktur dari mesin politik kandidat. Faktor-faktor inilah yang membentuk preferensi pemilih terhadap kandidat.
Dalam political marketing, terdapat beberapa tahapan kampanye (Hrebenar, dkk. 1999). Tahap pertama adalah keberadaan atau eksistensi partai atau kandidat di publik. Setidaknya, pemilih harus tahu tentang partai atau kandidat itu. Kedua, kedekatan atau image development. Pemilih harus paham dan dapat membedakan platform dan program masing-masing partai politik atau kandidat.
Tahap ketiga adalah kedekatan. Pemilih harus merasa bahwa partai ataupun kandidat memiliki kesamaan ideologi dan atau akan mengakomodir aspirasi mereka. Inilah yang akan ?menggerakkan? pemilih untuk menjatuhkan pilihannya.
Dalam pasal 1 ayat (11) UU Nomor 22 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden disebutkan kampanye adalah kegiatan untuk menyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi dan program pasangan presiden-wakil presiden. Sedangkan definisi Iklan Kampanye (Keputusan KPU no 701 tahun 2003 pasal 1 ayat (8)) adalah penyiaran pesan-pesan melalui media cetak dan elektronik secara berulang-ulang berbentuk tulisan, gambar, animasi, suara, peragaan, sandiwara, debat dan bentuk lainnya yang berisi ajakan, imbauan untuk memberikan dukungan kepada peserta pemilihan umum.
Iklan layanan masyarakat yang ditayangkan pada hari-hari raya (Lebaran, Natal, Tahun Baru dan Imlek) sebenarnya bisa dikategorikan sebagai kampanye untuk mempromosikan keberadaan calon presiden kepada publik. Pasalnya, iklan itu mengatasnamakan pribadi calon, dan ditayangkan berulang-ulang. Biasanya, sebagai pejabat tinggi Negara, ucapan selamat ditayangkan dalam bentuk pidato resmi dan mencantumkan jabatannya. Selain itu, iklan layanan dibuat hanya akir-akhir ini, menjelang pemilu, dan tidak ada pada tahun-tahun sebelumnya.
Dari Mana Dana Kampanyenya?
Pertanyaan kedua yang tak kalah pentingnya perihal pendanaan dari iklan adalah darimana dananya dan bagaimana akuntabilitasnya kepada otoritas pemilu?
Secara sederhana, kita dapat mengkalkulasi berapa dana yang dikeluarkan untuk iklan tersebut. Jika biaya tayang (run on screen) untuk durasi 30 detik, yang membutuhkan rata-rata Rp 1,5 juta, maka total biaya tayangan selama 20 kali per hari adalah Rp 30 juta. Jika ditayangkan di lima stasiun televisi maka biayanya menjadi Rp 150 juta. Dan jika iklan ucapan selamat itu ditayangkan pada hari raya Idul Fitri, Natal, Tahun Baru dan Imlek, maka biayanya bisa mencapai Rp 600 juta. Walau angka ini adalah nilai estimasi minimal, nominalnya cukup besar, lebih dari setengah milyar.
Kampanye memerlukan sumber daya yang tidak sedikit. Faktor-faktor penting dalam kampanye pemilu, yaitu kandidat, platform dan program kerja, organisasi kampanye dan dana. Dana merupakan faktor yang sangat berpengaruh, sebab tanpa dana, ketiga faktor lainnya menjadi tak berguna.
?Money is not sufficient, but it is necessary for successful campaign. Money is necessary because campaigns do have impact on election results and campaign cannot be run without it? (Jacobson, 1980)
Pendanaan politik merupakan fondasi bagi demokrasi (Nassmacher, 2001,). Dana adalah sarana utama untuk memenangkan atau mempertahankan kekuasaan politik. Karena itu, aturan mengenai pemilihan presiden sudah mengatur mengenai sumber dana, batasan sumbangan serta kewajiban memiliki rekening khusus dana kampanye (pasal 43). Ayat 5 pasal itu menyatakan, sumbangan yang lebih dari Rp 5 juta, baik dalam bentuk uang atau bukan, wajib dilaporkan ke KPU mengenai jumlah dan identitas pemberi sumbangan.
Karena itu, dana untuk iklan seharusnya juga dilaporkan jumlah dan asal muasalnya. Ketentuan ini bertujuan mencegah donasi menjadi investasi politik, yang dapat mempengaruhi kebijakan publik.
Ketidaksetaraan Politik
Bagaimanapun maraknya praktek curi start kampanye belakangan ini jelas akan mencederai prinsip kesetaraan dalam kampanye yang kompetitif (political equality). Karena kampanye dini tentu akan berpengaruh terhadap pemilih.
Selain itu, akuntabilitas dana kampanye pun harus ditegakkan. Agar pengaruh berlebihan dari sumbangan yang dapat mempengaruhi kebijakan publik (abusive influence) bisa dicegah. Peserta pemilu wajib mencatat asal dan jumlah sumbangan serta tidak akan menerima sumbangan yang melebihi batas donasi, atau datang dari penyumbang yang tidak jelas identitasnya maupun institusi publik (pemerintahan, BUMN, dan sebagainya).
Karena itu, baik KPU maupun Panwaslu, harus segera mengingatkan peserta pemilu agar mentaati aturan tentang kampanye dan dana kampanye. Penting bagi KPU dan Panwaslu untuk mengikat komitmen dari media massa untuk tidak menayangkan iklan kampanye sebelum waktunya.
Jika tidak, maka curi start kampanye membuat kompetisi pemilu menjadi tidak berimbang. Walau kampanye jor-joran bukan satu-satunya jaminan, tapi kandidat yang sudah lebih dulu berkampanye, akan lebih unggul. Pasalnya, kandidat itu akan lebih dikenal pemilih sejak dini. Akibatnya, pemilu bisa jadi hanya menjadi formalitas, karena pemenangnya sudah dapat ditebak.